Asian Spectator

.
Business Advice

.

Masalah tranformasi digital yang tidak inklusif: pentingnya melayani orang yang tidak bisa akses internet

  • Written by Angsana A. Techatassanasoontorn, Associate Professor of Information Systems, Auckland University of Technology
Masalah tranformasi digital yang tidak inklusif: pentingnya melayani orang yang tidak bisa akses internet

Istilah “transformasi digital” sering terdengar akhir-akhir ini. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan proses pergantian fungsi dan layanan yang pernah dilakukan secara tatap muka dengan interaksi online yang lebih cepat, nyaman, dan “memberdayakan” pengguna[1].

Namun, apakah transformasi digital benar-benar memenuhi janji-janji tersebut? Atau apakah digitalisasi kehidupan yang terlihat tanpa henti malah meningkatkan kesenjangan sosial yang ada?

Sebagai contoh, lihatlah sektor perbankan. Dulu nasabah melakukan transaksi dengan teller di cabang-cabang terdekat, tetapi sekarang mereka terdorong untuk melakukan semuanya secara daring. Saat cabang tutup, banyak orang, terutama lansia[2], kesulitan untuk menjalankan tugas sehari-hari yang dulunya mudah mereka lakukan.

Atau coba lihat pengalaman dengan call centre (pusat aduan) yang sekarang banyak melibatkan suara elektronik, opsi menu, bot obrolan[3], dan fasilitas yang bertujuan mendorong pelanggan untuk melakukan semuanya secara online.

Ketika banyak organisasi dan lembaga pemerintah di Aotearoa Selandia Baru dan wilayah lain berjuang untuk menjadi lebih “digital,” kami telah meneliti konsekuensinya pada orang-orang yang menganggap proses ini menyulitkan atau mengabaikan mereka.

Sejak 2021, kami telah bekerja sama dengan Citizens Advice Bureau[4] (CAB) Selandia Baru dan berbicara dengan organisasi-organisasi sektor publik yang menggunakan saluran digital dalam pemberian jasa. Temuan kami menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara digital dan non-digital.

Non-pengguna yang “bermasalah”

Pandangan yang dominan sekarang menunjukkan bahwa tujuan untuk mencapai masyarakat yang berkemampuan digital akan memungkinkan semua orang untuk menjalani kehidupan yang “mulus.” Dokumen kebijakan pemerintah Selandia Baru, Towards a Digital Strategy for Aotearoa[5] (Menuju Strategi Digital untuk Aotearoa), menyatakan

Alat dan layanan digital memungkinkan kita untuk mempelajari keterampilan baru, bertransaksi dengan mudah, serta menerima bantuan kesehatan dan kesejahteraan pada waktu yang tepat dan tanpa perlu meninggalkan rumah.

Tentu saja, kita telah berada di dunia baru ini. Banyak layanan publik dan swasta semakin tersedia secara digital secara otomatis[6]. Akibatnya, alternatif non-digital menjadi terbatas atau bahkan tidak ada.

Read more: The digital divide leaves millions at a disadvantage during the coronavirus pandemic[7]

Ada dua asumsi yang mendasari pandangan bahwa setiap orang dapat dan harus berinteraksi secara digital.

Pertama, ini mengimplikasikan bahwa orang-orang yang tidak dapat mengakses layanan digital (atau lebih memilih opsi non-digital) merupakan orang-orang yang bermasalah atau memiliki kekurangan – dan ini hanya dapat diatasi melalui penyediaan teknologi, pelatihan, atau mendorong non-pengguna untuk bersedia menggunakan layan digital.

Kedua, melalui peningkatan penyediaan layanan digital, ini berasumsi bahwa inklusi digital akan secara otomatis meningkatkan inklusi sosial.

Kedua asumsi ini belum tentu benar.

‘Paksaan digital’

CAB (yang sebagian besar memiliki cabang tatap muka di seluruh Selandia Baru) telah mendokumentasikan peningkatan yang signifikan dalam jumlah orang yang menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan pemerintah karena kanal digital adalah pilihan satu-satunya.

CAB menerangkan bahwa akses layanan publik merupakan hak asasi manusia[8] dan, implikasinya, perpindahan ke layanan publik digital yang tidak dapat diakses secara universal membuat sebagian orang kehilangan hak mereka.

Pada penelitian sebelumnya, kami menyebut bentuk perampasan ini sebagai “digital enforcement”[9] (“paksaan digital”) – yang didefinisikan sebagai proses perampasan yang mereduksi pilihan individu.

Read more: Digital inequality: why can I enter your building – but your website shows me the door?[10]

Melalui penelitian kami saat ini, kami menemukan bahwa realita yang dihadapi masyarakat berkemampuan digital ternyata jauh dari sempurna dan mulus. Temuan awal kami memperlihatkan pentingnya memahami dampak transformasi digital pada tingkat individu yang lebih kompleks.

Sebagian besar orang merasa sulit untuk mengakses dan menavigasi layanan online karena berbagai alasan. Sering kali, alasan mereka merupakan perpaduan dari berbagai penyebab yang terkait dengan kondisi finansial, pendidikan, budaya, bahaya, kepercayaan, atau kesejahteraan.

Bahkan ketika diberi akses teknologi dan keterampilan digital, banyaknya persyaratan online yang rumit dan situasi kehidupan yang sedang berantakan dapat membatasi kemampuan mereka untuk menggunakan layanan digital secara produktif dan bermakna.

Faktor manusia

Rasa kehilangan hak dan kendali akibat transformasi digital sangat disesalkan, tetapi ini tidak dapat dihindari. Beberapa organisasi sedang mencari alternatif untuk fokus pada transfer layanan online.

Mereka tidak sepenuhnya menghapus pusat aduan atau staf yang membantu klien, melainkan menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan penyediaan layanan yang berpusat pada manusia. [11]

Read more: 'Sorry, I don’t understand that' – the trouble with chatbots and how to use them better[12]

Organisasi-organisasi lain sedang mempertimbangkan kemitraan dengan perantara yang dapat bekerja dengan individu yang kesulitan dalam menggunakan layanan digital. Sebagai contoh, Kementerian Kesehatan Selandia Baru mendukung penyedia layanan kesehatan dan sosial Māori berbasis komunitas untuk mendirikan pusat kesehatan digital[13] untuk meningkatkan akses perawatan kesehatan bagi warga lokal.

Penelitian kami terus berlanjut, tetapi kami sudah dapat melihat bukti – dari CAB dan organisasi besar lainnya – mengenai manfaat yang didapatkan dengan beralih dari fokus pada transformasi digital yang timpang.

Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendorong inklusi sosial di era digital, bukan menghilangkan kesenjangan antara yang dilibatkan dengan yang dikecualikan. Dengan ini, organisasi masih dapat berkembang secara teknologi tanpa merugikan orang-orang[14] yang mereka layani.

References

  1. ^ “memberdayakan” pengguna (www.mckinsey.com)
  2. ^ terutama lansia (www.stuff.co.nz)
  3. ^ bot obrolan (theconversation.com)
  4. ^ Citizens Advice Bureau (www.cab.org.nz)
  5. ^ Towards a Digital Strategy for Aotearoa (www.digital.govt.nz)
  6. ^ secara otomatis (www.theguardian.com)
  7. ^ The digital divide leaves millions at a disadvantage during the coronavirus pandemic (theconversation.com)
  8. ^ akses layanan publik merupakan hak asasi manusia (inclusioncampaign.cab.org.nz)
  9. ^ “digital enforcement” (onlinelibrary.wiley.com)
  10. ^ Digital inequality: why can I enter your building – but your website shows me the door? (theconversation.com)
  11. ^ penyediaan layanan yang berpusat pada manusia. (deloitte.wsj.com)
  12. ^ 'Sorry, I don’t understand that' – the trouble with chatbots and how to use them better (theconversation.com)
  13. ^ pusat kesehatan digital (www.health.govt.nz)
  14. ^ merugikan orang-orang (www.theguardian.com)

Authors: Angsana A. Techatassanasoontorn, Associate Professor of Information Systems, Auckland University of Technology

Read more https://theconversation.com/masalah-tranformasi-digital-yang-tidak-inklusif-pentingnya-melayani-orang-yang-tidak-bisa-akses-internet-191142

Magazine

Disparitas pemidanaan: mengapa pelaku kekerasan seksual bisa mendapat hukuman berbeda-beda untuk kasus serupa?

Ilustrasi korban kekerasan seksual.Tinnakorn jorruang/ShutterstockPraktik hukum di Indonesia masih menunjukkan adanya disparitas pemidanaan, yakni ketika ada dua orang atau lebih melakukan tindak pida...

8 aspek penting untuk memastikan keberlanjutan industri nikel dari hulu ke hilir

Isu mengenai hilirisasi nikel Indonesia tengah panas beberapa tahun ke belakang. Ambisi Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sentra produksi baterai kendaraan listrik (EV) dunia membuat akt...

Gangguan dismorfik tubuh: apa yang perlu kita ketahui tentang kondisi kesehatan mental ini

Selebritas Megan Fox dalam sebuah wawancara dengan Sports Illustrated mengungkapkan bahwa dia memiliki dismorfik tubuh (body dysmorphia). Fox mengatakan: “Saya tidak pernah melihat diri saya sep...



NewsServices.com

Content & Technology Connecting Global Audiences

More Information - Less Opinion