Asian Spectator

.
Business Advice

.

Bagaimana ‘marketplace’ jadi ladang subur perdagangan satwa ilegal, dan Shopee paling digemari

  • Written by Robby Irfany Maqoma, Environment Editor
Bagaimana ‘marketplace’ jadi ladang subur perdagangan satwa ilegal, dan Shopee paling digemari

Di tengah lesunya kondisi perekonomian karena pandemi dan gangguan rantai pasokan, ada satu sektor yang tetap perkasa: perdagangan satwa ilegal.

Data dari Kepolisian Internasional (Interpol) menyebutkan perniagaan haram ini tetap bertumbuh 5-7% saban tahun.[1] di seluruh dunia.

Salah satu biang tertuduh moncernya aktivitas ini adalah perdagangan daring melalui lokapasar atau marketplace. Kajian yang dilakukan organisasi lingkungan hidup Wildlife Conservation Society Indonesia Program bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menemukan ada hampir seribu iklan dari 421 akun penjual yang menawarkan satwa liar ataupun bagian tubuhnya di Indonesia.

“Ada 45 dari 60 jenis satwa yang termasuk kategori dilindungi,” ujar anggota tim kajian, Krismanko Padang, dalam webinar Penguatan Kajian Pencegahan Perdagangan & Peredaran Satwa Liar di Indonesia Berbasis Daring[2] yang diadakan Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, beberapa waktu lalu. Di Indonesia, perdagangan satwa liar yang dilindungi merupakan tindak pidana.

Kajian yang dilakukan selama Maret 2021-April 2022 ini menelaah aktivitas perdagangan satwa di enam platform daring yaitu Facebook, Kaskus, Bukalapak, Tokopedia, Shopee, dan Lazada.

Hasilnya, menurut Krismanko, Shopee menjadi platform favorit para pelapak satwa ilegal. Ini terbukti dari analisis degree centrality (untuk melihat aktor-aktor inti) kajian tersebut yang memperlihatkan kebanyakan penjual memiliki lebih dari satu akun platform lokapasar. Shopee tidak pernah lepas dari pilihan mereka.

Ketika dikonfirmasi The Conversation Indonesia, manajemen Shopee Indonesia menyatakan bahwa perusahaan telah memiliki kebijakan perdagangan hewan yang dilarang.[3] Pemilik akun[4] yang melanggar dapat dikenakan sanksi penangguhan, penghapusan akun, hingga tindakan hukum.

Contoh gelang dari sisik penyu yang marak diperdagangkan di lokapasar. Author provided

Dalam konteks media sosial, jumlah konten perdagangan satwa di Facebook jauh lebih banyak dibandingkan platform lokapasar lainnya. Lebih dari 300 konten dari lebih dari 100 akun yang dianalisis berasal dari Facebook.

Terkait hal ini, Facebook bersama 41 perusahaan teknologi lainnya menyatakan[5] telah bermitra dengan sejumlah organisasi lingkungan pada 2021 untuk memantau serta menghapus akun-akun yang terlibat penyelundupan satwa di Filipina dan Indonesia.

“Kami merasa bangga untuk bekerja sama dengan TRAFFIC Southeast Asia (lembaga pegiat konservasi) untuk mendisrupsi aktivitas penyelundupan (satwa) lokal di Filipina dan Indonesia,” ujar Jan Edward Lim, Public Policy Associate Manager Facebook.

Adapun sebagian besar satwa yang diperdagangkan berasal dari kelompok burung, disusul dengan kelompok mamalia dan reptil. Bukan hanya satwa utuh, konten perdagangan juga menawarkan produk seperti gading gajah.

Taksa unggas merupakan satwa yang paling banyak diiklankan di platform lokapasar. (Paparan kajian KLHK dan WCS)

Kajian ini juga menemukan sebagian besar akun terdeteksi di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Namun, kata Krismanko, temuan ini belum tentu mencerminkan keadaan sebenarnya karena pelaku kejahatan bisa saja menggunakan akun palsu.

Memanfaatkan celah

Menurut Krismanko, demi memuluskan perdagangan, para pelaku menyamarkan satwa yang ditawarkan dengan kata sandi tertentu. Misalnya, ‘A13’ adalah kode untuk kakatua paruh bengkok. Ada juga ‘gg’ yang merupakan singkatan dari gading gajah. Ini acap terjadi di Facebook.

Contoh penggunaan kata sandi untuk menyamarkan deteksi. (Paparan kajian KLHK dan WCS)[6]

Sedangkan di platform lokapasar, penjualan dilakukan secara terang-terangan. Ini terjadi karena pengawasan dari pengelola lokapasar masih sangat lemah. Algoritma platform bahkan mendorong terpajangnya konten perdagangan satwa-satwa liar.

“Jadi kalau seseorang mau, dia hanya punya satu barang, hanya punya kakatua – dia bisa jual di satu dua platform tanpa ada hambatan,” kata Krismanko.

Peminat dapat langsung memproses pesananannya, atau mengontak nomor WhatsApp yang biasanya tertera dalam konten tersebut. Pesanan dapat diproses jika peminat sudah mengirimkan uang ke rekening bersama.

Jika pembayaran terkonfirmasi, maka peminat dapat mengambil barangnya di tempat yang sudah ditentukan.

Maraknya perdagangan ini tak sebanding dengan pemberantasannya. Menurut Krismanko, satu hal yang menjadi penghalang adalah aparat hukum pada umumnya harus mencari keberadaan satwanya sebelum memulai penyidikan. Padahal, upaya mengiklankan konten-konten perdagangan satwa liar dilindungi sudah termasuk kejahatan, sehingga penegak hukum sudah bisa langsung memprosesnya.

“Ini menghabiskan energi sangat besar,” tutur dia.

Kejahatan terorganisasi

Kriminolog dari Universitas Indonesia, Kisnu Widagdo, menyatakan perdagangan satwa liar secara daring merupakan bagian dari rantai pasokan dari kejahatan yang terorganisasi. Pasalnya, berdasarkan data dari Kepolisian yang Kisnu dapatkan, kerugian negara akibat aktivitas ini sudah sangat besar: sekitar US$ 7,8-19 miliar (Rp 116-284 triliun) per tahun.[7]. Nilai ini dianggap mustahil muncul apabila perdagangan dilakukan secara sporadis (tidak terorganisasi).

“Pelakunya bukan cuma pedagang burung di Pasar Pramuka atau pedagang kucing liar di Jatinegara. Enggak mungkin mereka ngirim cuma satu ekor. minimal setengah kontainer mereka kirim,” kata Kisnu.

Jika ingin benar-benar memberantas perdagangan satwa liar (termasuk di ranah daring), Kisnu menyarankan pemerintah betul-betul memahami proses bisnis sektor ini. Siapa pedagang besar maupun pembelinya. Pemahaman yang benar diharapkan bisa membuat terang upaya penanganan yang harus dilakukan.

Moderasi konten tak kalah penting

Selain pemberantasan, pemerintah juga harus lebih agresif mencegah perdagangan satwa liar dilindungi bersama perusahaan teknologi dan ahli biologi konservasi. Peneliti di Fitzpatrick Institute of African Ornithology, University of Cape Town Afrika Selatan, Rowan O. Martin[8], mengatakan pemerintah dapat menerbitkan aturan khusus agar penyedia platform lokapasar lebih berhati-hati mengelola produk-produk yang diperdagangkan.

Penyedia platform dapat menyusun panduan moderasi konten perdagangan satwa liar bersama para pakar. Panduan ini juga termasuk merumuskan algoritma yang mengenali data kredibel seputar jenis-jenis spesies dilindungi, sehingga pemajangannya di suatu platform dapat dihindari.

Authors: Robby Irfany Maqoma, Environment Editor

Read more https://theconversation.com/bagaimana-marketplace-jadi-ladang-subur-perdagangan-satwa-ilegal-dan-shopee-paling-digemari-198327

Magazine

Jalan hantu: riset kami tunjukkan luasnya jalan ilegal yang membabat hutan Indonesia

Ilmuwan ternama asal Brasil, Eneas Salati, pernah mengatakan, “Yang terbaik yang bisa kamu lakukan untuk hutan hujan Amazon adalah meledakkan jalan-jalan.”Eneas tidak bercanda. Dia ada ben...

Melihat lebih dekat praktik berladang ramah lingkungan “Gilir Balik” masyarakat Ngaung Keruh (bagian 2)

Ladang Gilir Balik di antara rimbunan hutan dan kebun wanatani. Semuanya menjadi mozaik bentang alam yang turut menjaga kelestarian daerah tangkapan air Danau Sentarum.(Rifky/CIFOR), CC BY-NCBagian pe...

Ada apa dengan Manchester United? Memahami naik turunnya prestasi klub sepak bola dalam mitos ‘Sisifus’

Stadion Old Trafford di Manchester, Inggris.Nook Thitipat/ShutterstockSisifus adalah salah satu tokoh terkenal dalam mitologi Yunani kuno. Ia memiliki peran penting dalam sejarah, termasuk sebagai pen...



NewsServices.com

Content & Technology Connecting Global Audiences

More Information - Less Opinion