1 dari 3 kaum muda rentan kena gangguan mental, tapi kenapa sedikit yang ke psikolog?
- Written by Hasna Fikriya, Peneliti di Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada, Universitas Gadjah Mada

● Satu dari tiga kaum muda Indonesia mengalami gangguan mental.
● Rasa skeptis hingga malu karena dicap punya gangguan mental jadi alasan kaum muda enggan ke psikolog.
● Lingkungan terdekat perlu mengenali gejala dan mencegah stigma gangguan mental kaum muda.
Merasakan sedih terus-menerus hingga kehilangan minat terhadap aktivitas yang disukai merupakan beberapa tanda gangguan mental. Kondisi ini rentan dialami kaum muda Milenial[1] maupun Gen Z[2].
Survei Kesehatan Mental Remaja Nasional[3] (I-NAMHS) menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia usia 11-17 tahun (sekitar 15,5 juta orang) mengalami gangguan mental dalam kurun 2021-2022. Masalah mental paling umum[4] yang dialami kaum muda adalah kecemasan, gangguan perhatian, hiperaktivitas, dan depresi.
Sayangnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan hanya 10,4%[5] kaum muda yang mendapatkan pengobatan formal. Ini menunjukkan lebarnya kesenjangan antara kebutuhan psikologis kaum muda dengan jumlah mereka yang mengakses layanan kesehatan mental.
Enggan ke psikolog karena skeptis dan malu
Kondisi mental kaum muda rentan terganggu akibat berbagai perubahan biologis dan psikososial yang signifikan[6], misalnya pubertas, kemampuan berpikir abstrak, pembentukan identitas diri, hingga tuntutan orang tua agar mereka hidup mandiri.
Selain itu, kondisi mental kaum muda kian rentan terganggu akibat paparan media sosial[7], bullying (perundungan), kekerasan seksual, pola asuh keras, hingga kesulitan ekonomi[8].
Meskipun sangat rentan mengalami gangguan mental, banyak kaum muda enggan mengakses layanan psikologis[9] akibat sejumlah hal berikut:
1. Minim literasi kesehatan mental
Rasa skeptis terhadap tenaga profesional[10] menghambat kaum muda mencari pengetahuan memadai tentang penanganan gangguan mental.
Rasa skeptis ini membuat mereka cenderung merasa lebih nyaman untuk menyelesaikan masalah mental sendiri[11] ataupun dengan bantuan orang terdekat (seperti teman dan keluarga).
Media sosial memperburuk kecenderungan kaum muda dalam mengenali kondisi mentalnya. Studi dalam Qualitative Health Research[12] mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial yang intensif bisa meningkatkan praktik self diagnose (diagnosis sendiri) yang membuat kaum muda kian enggan ke profesional.
Read more: Butuh terapi psikologi? Inilah cara memilih terapi yang paling sesuai untukmu[13]
2. Rasa malu akibat stereotip negatif
Beberapa kaum muda merasa malu[14] untuk mengakses layanan mental. Hal ini disebabkan oleh pemahaman keliru mengenai stereotip negatif terhadap orang dengan gangguan mental[15], seperti dianggap lemah, berbeda, dan kurang kontrol diri.
3. Akses layanan mental terbatas
Keterbatasan akses layanan kesehatan mental turut memengaruhi keputusan kaum muda dalam mencari pengobatan. Minimnya informasi layanan kesehatan mental[17], keterbatasan ketersediaan tenaga profesional (terutama di daerah kecil dan pedesaan[18]), lokasi yang jauh dan mahal, serta waktu tunggu terlalu lama, bisa mengurangi keinginan mereka untuk mencari pertolongan.
4. Respons negatif tenaga kesehatan
Respons negatif dari tenaga kesehatan[19] bisa menyebabkan kaum muda menunda atau berhenti berobat. Hal ini terungkap dalam sebuah penelitian[20] yang melibatkan 90 kaum muda dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Papua.
Riset tersebut mengambil responden yang mengalami depresi, kecemasan, dan gangguan bipolar. Saat hendak berobat, salah seorang responden yang enggan disebutkan namanya mengaku menemukan banyak tenaga kesehatan (nakes) yang belum memahami kesehatan mental.
“Saya dianggap orang gila ketika meminta surat rujukan ke fasilitas kesehatan pertama. Pun saat dirawat di rumah sakit, nakes menghujat dan meremehkan gejala depresi yang saya rasakan.”
Seorang responden lain yang juga peserta BPJS Kesehatan bahkan mengaku kesulitan memperoleh rujukan[21] untuk mendapatkan layanan psikiater di rumah sakit.
“Setelah dua kali ditolak, dokter umum di puskesmas akhirnya memberikan surat rujukan saat saya menunjukkan bekas luka akibat melukai diri sendiri. Apakah saya harus mati dulu, baru mereka percaya bahwa saya sangat tertekan?”
Respons negatif nakes berbahaya karena berisiko memperberat gejala gangguan mental pasien, serta meningkatkan kecenderungan menyakiti diri sendiri[22], hingga percobaan bunuh diri.
4. Mahalnya biaya terapi non-BPJS
Pelayanan kesehatan mental tergolong mahal, khususnya jika kaum muda tidak memiliki BPJS Kesehatan.
Konsultasi psikologis di rumah sakit pemerintah berkisar antara Rp100 ribu-Rp500 ribu tergantung daerahnya. Adapun konsultasi kesehatan mental di klinik ataupun rumah sakit swasta berkisar Rp300 ribu-Rp1 juta.
Keanggotaan BPJS Kesehatan sangat penting untuk menjamin berbagai macam terapi kesehatan mental[23] kaum muda secara gratis.
Literasi kesehatan mental[28] bisa kita peroleh lewat berbagai upaya pembelajaran dan pelatihan dari jurnal kesehatan dan sumber valid yang terferifikasi oleh profesional. Penelitian membuktikan, peningkatan literasi kesehatan mental[29] bisa mengubah perilaku kaum muda dalam mencari pertolongan psikologis.
Lewat literasi kesehatan mental yang baik, kaum muda dan lingkungan terdekatnya bisa saling berperan aktif dalam mengenali, memberikan pengetahuan, menghindari stigma, serta mendeteksi dini tanda-tandanya.
Read more: Data Bicara: gangguan kesehatan jiwa di Indonesia naik dalam 30 tahun terakhir, perempuan dan usia produktif lebih tinggi[30]
Deteksi gratis secara digital juga bisa dilakukan menggunakan fitur “Kesehatan Mental” di aplikasi SatuSehat Mobile milik Kemenkes. Jika kamu mengalami gejala yang mengarah ke gangguan mental, segera cari bantuan ke psikolog, psikiater, atau konselor.
Semakin cepat gejalamu mendapat penanganan, semakin kecil dampak lanjutannya, dan kian besar pula peluangmu untuk pulih.
Fiddina Mediola, dokter spesialis psikiatri, turut berkontribusi menulis artikel ini.
References
- ^ rentan dialami kaum muda Milenial (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ Gen Z (www.sciencedirect.com)
- ^ Survei Kesehatan Mental Remaja Nasional (qcmhr.org)
- ^ Masalah mental paling umum (qcmhr.org)
- ^ 10,4% (www.badankebijakan.kemkes.go.id)
- ^ perubahan biologis dan psikososial yang signifikan (www.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ media sosial (www.thelancet.com)
- ^ kesulitan ekonomi (www.who.int)
- ^ banyak kaum muda enggan mengakses layanan psikologis (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ Rasa skeptis terhadap tenaga profesional (scholarhub.ui.ac.id)
- ^ menyelesaikan masalah mental sendiri (scholarhub.ui.ac.id)
- ^ Qualitative Health Research (dx.doi.org)
- ^ Butuh terapi psikologi? Inilah cara memilih terapi yang paling sesuai untukmu (theconversation.com)
- ^ kaum muda merasa malu (dx.doi.org)
- ^ stereotip negatif terhadap orang dengan gangguan mental (bmchealthservres.biomedcentral.com)
- ^ SeventyFour / Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Minimnya informasi layanan kesehatan mental (scholarhub.ui.ac.id)
- ^ daerah kecil dan pedesaan (aisyah.journalpress.id)
- ^ Respons negatif dari tenaga kesehatan (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ sebuah penelitian (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ kesulitan memperoleh rujukan (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ meningkatkan kecenderungan menyakiti diri sendiri (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ untuk menjamin berbagai macam terapi kesehatan mental (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ dari mengganggu keseharian (edoc.rki.de)
- ^ mengurangi capaian akademis dan karier (dx.doi.org)
- ^ garda terdepan dalam menciptakan lingkungan suportif (dx.doi.org)
- ^ Chay_Tee / Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Literasi kesehatan mental (dx.doi.org)
- ^ peningkatan literasi kesehatan mental (journals.plos.org)
- ^ Data Bicara: gangguan kesehatan jiwa di Indonesia naik dalam 30 tahun terakhir, perempuan dan usia produktif lebih tinggi (theconversation.com)
Authors: Hasna Fikriya, Peneliti di Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada, Universitas Gadjah Mada