Yang viral yang berkuasa: Politik kini ditentukan oleh algoritme, bukan kebijakan substantif
- Written by Ilyas Akbar Almadani, Assistant lecturer, Government Studies at UMUKA | Master of Arts in Political studies at Universitas Gadjah Mada, Universitas Gadjah Mada

● Fenomena ‘Power Morph’ menandakan transformasi bentuk kekuasaan, dari struktur formal menuju digital.
● Kebenaran tidak lagi ditentukan oleh argumen, data, atau hukum, melainkan oleh jumlah likes, retweet, dan view di media sosial.
● Politikus memproduksi narasi emosional di media sosial alih-alih kebijakan substantif demi meraih simpati publik.
Di era ketika jempol lebih menentukan daripada parlemen, kekuasaan politik kini tak lagi bersandar pada institusi, konstitusi, ataupun kebijakan rasional, melainkan dalam bentuk algoritme, viralitas, dan resonansi emosional.
Hal ini menimbulkan berbagai macam objek studi yang belum mendapat tempat “resmi” dalam penelitian sosiologi dan politik. Dari fenomena ini saya mencetuskan istilah “Power Morph” (pergeseran kuasa digital), yaitu transformasi bentuk kekuasaan, dari struktur formal menuju jaringan afektif, yang dibentuk dan disebarluaskan oleh teknologi digital.
Istilah ini saya usulkan sendiri sebagai sintetis dari sebuah teori mengenai afektivitas politik[1] dan algoritmisasi[2] pengaruh publik[3].
Dalam ekosistem Power Morph, kekuasaan tidak lagi lahir dari struktur dan institusi, melainkan dari kemampuan membentuk resonansi (gema) emosional.
Dampak dari Power Morph terhadap kualitas pemerintahan adalah dapat mengaburkan kejernihan opini publik dan mengganggu sistem penegakan hukum.
Terlebih, aturan hukum kita saat ini belum didesain untuk menghadapi dinamika berbasis algoritme. Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan krisis demokrasi.
Maka dari itu, pemerintah perlu mendesain ulang tata kelola demokrasi digital yang lebih adaptif dan etis.
Dari kebenaran ke resonansi
Kita hidup di zaman ketika kebenaran tidak lagi ditentukan oleh argumen, data, atau prosedur hukum, melainkan oleh jumlah likes, retweet, view, dan fitur interaksi lain di media sosial.
Kekuatan tidak lagi bersumber dari bukti ilmiah, melainkan dari pengaruh emosional sebuah pesan[5].
Contohnya adalah figur politik seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, atau Dedi Mulyadi, yang viral bukan karena programnya, melainkan karena cuplikan-cuplikan naratif emosional mereka di media sosial masing-masing. Ini termasuk pidato penuh simpati, blusukan dramatis, hingga momen tangis mengharukan.
Dalam konteks global, contohnya adalah Donald Trump[6], yang juga menunjukkan bagaimana resonansi emosional bisa mengalahkan validitas data.
Dengan kata lain, politik hari ini telah bergeser dari kontestasi ide menjadi kompetisi atensi. Fakta kalah oleh afeksi. Emosi yang dibentuk melalui media sosial lalu diviralkan cenderung lebih memengaruhi opini publik[7] dibandingkan program kebijakan yang substantif.
‘Fictocracy’: Kekuasaan berbasis narasi, bukan data
Saya memunculkan istilah “fictocracy” sebagai konsekuensi dari fenomena “power morph”, yakni ketika persepsi kolektif dibentuk oleh rezim yang berkuasa melalui narasi emosional.
Istilah ini saya ambil dari gagasan fictional governmentality[8] dan teori symbolic power[9] dari sosiolog asal Prancis, Pierre Bourdieu.
Dengan adanya “fictocracy”, simbol kekuasaan modern[10] tidak lagi berbasis prosedur formal, regulasi, dan data.
Dalam konteks ini, tokoh-tokoh publik membangun citra dan kepercayaan bukan melalui program, tetapi melalui kemampuan menyentuh emosi publik.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, misalnya, kerap membagikan momen emosional bersama warga melalui vlog. Pendahulunya, Ridwan Kamil, pun merespons peristiwa publik dengan gaya naratif penuh empati.
KDM sedang berkunjung ke warga Jabar Selatan.Figur seperti Volodymyr Zelenskyy, Presiden Ukraina, juga menampilkan bagaimana kekuatan cerita dan simbol bisa menggalang dukungan lebih luas daripada prosedur diplomatik formal.
‘Nodicentrism’: Kekuasaan berpindah ke simpul digital
Kekuasaan negara secara formal memang masih diatur lewat hukum dan pemilu. Namun dalam praktiknya, sumber pengaruh paling kuat hari ini justru berada di tangan para platform digital seperti TikTok, YouTube, Instagram, dan X.
Saya menyebut fenomena ini sebagai “nodicentrism”, yakni situasi ketika simpul digital (node) menjadi pusat kendali kekuasaan, bukan lagi lembaga negara.
Istilah ini saya adaptasi dari konsep network power[11], yakni bagaimana platform digital kini berperan sebagai aktor politik baru[12] dalam mengatur visibilitas dan opini publik.
Negara bisa membuat undang-undang, tetapi algoritme bisa membungkam siapa pun lewat praktik seperti shadow banning (pembatasan sepihak), boosting (meningkatkan engagement), atau content framing (membingkai suatu peristiwa untuk tujuan tertentu).
Ini adalah bentuk baru dari kontrol politik[13] yang tidak terlihat, namun sangat menentukan ruang partisipasi publik.
Contohnya dapat ditemukan dalam berbagai kasus[14] ketika konten aktivisme atau kritik terhadap pemerintah mendadak “hilang” dari linimasa atau sulit ditemukan, sementara konten lain yang mendukung narasi dominan justru naik ke permukaan.
Affective simulation: Kekuasaan sebagai pertunjukan emosi
Istilah affective simulation merujuk pada praktik memproduksi emosi melalui performa digital—menggunakan ekspresi, narasi, musik, dan visual untuk menciptakan resonansi.
Gagasan ini berakar dari teori simulasi[16] Jean Baudrillard dan diperkuat oleh konsep affective publics[17] dari Zizi Papacharissi.
Politikus yang tidak cukup punya program, biasanya membuat dirinya harus terlihat peduli dan empatik sehingga dapat mengundang simpati publik. Sosiolog Paolo Gerbaudo menyebut politikus digital ini sebagai choreographers of affects[18] yang mengatur suasana, bukan ideologi.
Dedi Mulyadi, contohnya, dalam video pendeknya di YouTube kerap tampil bukan sebagai pejabat, tetapi sebagai sosok yang dekat dan emosional.
Kekuasaan kini bukan lagi dominasi fisik, tetapi kendali atas mood publik.
Urgensi kesadaran naratif
Fenomena Power Morph seharusnya memantik kesadaran kita bahwa dunia sudah tidak lagi dikendalikan oleh ruang sidang atau lembaga formal, melainkan oleh ruang digital.
Kita tidak bisa melawan kekuasaan digital ini hanya dengan menyebar data atau membantah hoaks. Kita harus mampu mengenali simulasi, membaca narasi palsu, dan memahami logika emosi kolektif.
Kita membutuhkan kesadaran naratif bahwa setiap video, meme, atau potongan teks adalah bagian dari perebutan makna sosial. Perlawanan terhadap kekuasaan yang bersifat afektif harus dimulai dari kepekaan, bukan sekadar informasi.
Jika kita ingin menyelamatkan demokrasi, kita harus membangun ulang struktur kekuasaan, dari yang semata prosedural, menjadi yang juga afektif, naratif, dan etis.
Kekuasaan digital tidak akan hilang, namun kita bisa menjinakkannya jika kita mampu memahami bagaimana ia bekerja. Tugas kita bukan sekadar membantah hoaks atau memperkuat data, tetapi membangun ekosistem afektif yang sehat, di mana emosi tidak dimanipulasi, dan algoritme tidak mengatur nurani.
Kita sebagai publik harus peka dalam membaca emosi kolektif, karena kitalah yang paling bertanggung jawab dalam merangkainya menjadi narasi publik yang etis.
References
- ^ afektivitas politik (www.researchgate.net)
- ^ algoritmisasi (www.jstor.org)
- ^ pengaruh publik (journals.sagepub.com)
- ^ news.okezone.com (news.okezone.com)
- ^ pengaruh emosional sebuah pesan (www.tandfonline.com)
- ^ Donald Trump (thenewpress.org)
- ^ lebih memengaruhi opini publik (www.jstor.org)
- ^ fictional governmentality (www.researchgate.net)
- ^ teori symbolic power (www.jstor.org)
- ^ simbol kekuasaan modern (www.davidpublisher.com)
- ^ network power (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ aktor politik baru (journals.sagepub.com)
- ^ bentuk baru dari kontrol politik (yalebooks.yale.edu)
- ^ ditemukan dalam berbagai kasus (mega.nz)
- ^ Created by Ilyas Akbar Almadani (drive.google.com)
- ^ teori simulasi (web.stanford.edu)
- ^ affective publics (www.researchgate.net)
- ^ choreographers of affects (www.jstor.org)
- ^ Created by Ilyas Akbar Almadani (drive.google.com)
Authors: Ilyas Akbar Almadani, Assistant lecturer, Government Studies at UMUKA | Master of Arts in Political studies at Universitas Gadjah Mada, Universitas Gadjah Mada