Integrasi pengetahuan lokal sebagai solusi iklim: Belajar dari masyarakat adat Bayan di Lombok
- Written by Gendewa Tunas Rancak, PhD Candidate, Griffith University
● Masyarakat adat Bayan di Lombok Utara, NTB, punya Wariga sebagai sistem pengetahuan alam yang presisi.
● Ada juga arsitektur Bale Bayan yang terbukti tahan gempa dan sistem ‘awiq-awiq’ yang menjaga hutan tetap lestari.
● Sayangnya Indonesia belum mengakui dan mengintegrasikan pengetahuan adat dalam kebijakan adaptasi iklim.
Agustus lalu, saya menyaksikan langsung saat tetua komunitas adat Bayan membaca cuaca dengan sangat yakin. “Besok hujan,” tuturnya usai menatap langit. Keesokan harinya, hujan turun persis seperti yang ia prediksi.
Tak ada smartphone atau aplikasi cuaca premium, masyarakat adat Bayan membaca cuaca dari posisi bintang, pola angin, hingga perilaku burung dan hewan ternak.
Akumulasi pengetahuan itu menjelma menjadi Wariga[1], sistem penanggalan tradisional masyarakat adat Sasak, termasuk suku Bayan di Lombok Utara.
Selain Wariga, pengetahuan Bayan juga mencakup arsitektur tahan gempa (Bale Bayan) dan sistem pengelolaan hutan (awiq-awiq).
Semua pengetahuan ini menunjukkan bahwa masyarakat adat memahami alam dengan sangat baik, sehingga mereka bisa adaptif menghadapi berbagai situasi, termasuk bencana dan perubahan iklim.
Membaca Wariga
Wariga bukan sekadar kalender, tetapi perpaduan kompleks antara astronomi, meteorologi lokal, dan pengamatan tanda-tanda atau kejadian alam yang berulang.
Kalender Wariga menggunakan siklus waktu delapan tahun (windu). Jadi, setelah siklus delapan tahun ini selesai, penanggalan kembali ke awal siklus dan dimulai perhitungan baru lagi. Setiap siklus terbagi menjadi 30 wuku (minggu) dan 12 bulan.
Orang yang ahli membaca Wariga disebut maestro, biasanya tetua adat. Maestro Wariga menggunakan alat bernama telok, sebuah papan kayu berukir dengan rumus berupa bulatan atau titik yang berisi naptu (angka), mencakup tahun (naptu ton), bulan (naptu ulan), dan hari (naptu dina).
Dalam kalender ini, pengamatan tanda langit menjadi kunci. Bintang Kartika (rasi Pleiades) yang disebut “Lintang Guru” menjadi penanda utama perubahan musim.
Misalnya saat Lintang Guru terbit di ufuk timur sekitar pukul 18.00 WITA pada April-Mei, itu menandai awal musim kemarau dan waktu panen padi. Ketika rasi ini terlihat di posisi tertinggi pada tengah malam Juli-Agustus, musim kering mencapai puncaknya.
Sistem ini juga melibatkan pengamatan tanda-tanda alam sekitar, seperti mekarnya bunga tertentu, migrasi burung, atau kemunculan rayap bersayap (laron) yang menandakan hujan akan turun 24-48 jam ke depan.
Dengan Wariga, masyarakat Bayan menghitung waktu bagus (ala ayu), waktu buruk (ala lintang, ala becik, ala pati), dan waktu kosong (mengkem) atau jeda untuk berbagai aktivitas, seperti bertani, melaut, dan aktivitas lainnya.
Read more: Pranata Mangsa: Kalender musim Jawa yang efektif meningkatkan hasil tani dan mencegah bencana[2]
Arsitektur tahan gempa dan pengelolaan hutan
Selain pengetahuan tentang Wariga, masyarakat adat bayan juga punya rumah adat[3] yang dikenal dengan nama Bale Bayan.
Arsitektur[4] rumah adat ini menggunakan teknik konstruksi khas yang dirancang tahan guncangan, karena Lombok adalah wilayah yang rawan gempa bumi[5].
Pondasi bale menggunakan umpak atau pijakan berupa batu sebagai penyangga tiang. Pondasi semacam ini bisa menahan tekanan dari beban bangunan, menjaga kestabilan struktur, serta efektif meredam getaran.
Tiang bale umumnya menggunakan kayu pisak yang lentur dengan sistem sambungan tanpa paku agar struktur bangunan bisa mengikuti gerak saat terjadi gempa.
Dinding bale terbuat dari anyaman bambu, sedang atapnya menggunakan alang-alang yang ringan.
Desain ini tentu bukan hasil perhitungan teknik modern, tetapi produk dari pembelajaran turun-temurun dari generasi ke generasi menghadapi gempa[7] di wilayah tersebut.
Tak heran saat bencana gempa Lombok 2018 lalu, sebagian besar rumah Bale Bayan[8] tetap kokoh berdiri. Sementara rumah-rumah modern luluh lantak.
Dalam mengelola hutan, masyarakat Bayan juga punya sistem bernama awiq-awiq[9] (hukum adat) yang mengategorikan hutan menjadi zona konservasi ketat (hutan sakral), zona penyangga (akses terbatas), dan zona produksi dengan agroforestri.
Model ini dikembangkan jauh sebelum berbagai konsep pengelolaan ekosistem modern muncul dan terbukti sukses menjaga keseimbangan alam.
Pengetahuan tentang Wariga, arsitektur tahan gempa, dan pengelolaan hutan menunjukkan bahwa masyarakat adat Bayan jauh lebih maju dalam memahami lingkungan serta hubungan manusia dan alam. Pemahaman ini membuat mereka juga lebih adaptif dan tahan menghadapi berbagai situasi, termasuk perubahan iklim yang terjadi saat ini.
Sayangnya, kita masih menganggap pengetahuan adat yang sudah terbukti lintas generasi tersebut usang, sambil sibuk membuang triliunan rupiah untuk solusi teknologi impor yang lebih sering gagal.
References
- ^ Wariga (journal.uinmataram.ac.id)
- ^ Pranata Mangsa: Kalender musim Jawa yang efektif meningkatkan hasil tani dan mencegah bencana (theconversation.com)
- ^ rumah adat (repository.ub.ac.id)
- ^ Arsitektur (e-journal3.undikma.ac.id)
- ^ rawan gempa bumi (properti.kompas.com)
- ^ CC BY-NC (creativecommons.org)
- ^ gempa (ugm.ac.id)
- ^ rumah Bale Bayan (www.antaranews.com)
- ^ awiq-awiq (jurnalfkip.unram.ac.id)
- ^ pengelolaan lahan tradisional suku Aborigin (www.anu.edu.au)
- ^ Studi di Australia Barat (2024) (wwf.org.au)
- ^ 22 tahun (connectsci.au)
- ^ kalender pertanian tradisional Tharu (www.frontiersin.org)
- ^ komunitas Māori peran setara (indigenousclimatehub.ca)
- ^ RUU Masyarakat Adat (fwi.or.id)
- ^ Second NDC (unfccc.int)
Authors: Gendewa Tunas Rancak, PhD Candidate, Griffith University




