Asian Spectator

Men's Weekly

.

Ayah juga bisa trauma usai ibu melahirkan, tapi mengapa kita mengabaikannya?

  • Written by Akhmad Saputra syarif, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik, Universitas Indonesia

● Ayah juga bisa mengalami trauma setelah menyaksikan ibu melahirkan.

● Sayangnya, masyarakat cenderung mengabaikan dampak psikologis yang dialami laki-laki.

● Masyarakat cenderung memperhatikan kebutuhan emosional ibu ketimbang ayah.

Artikel ini untuk memperingati Hari Ayah Nasional pada 12 November.

Apa yang pertama kali muncul di benak kamu ketika melihat seorang laki-laki menangis terisak-isak?

Jika kamu menganggap orang tersebut lemah karena laki-laki tidak seharusnya bersikap emosional, maka penilaian kamu merupakan bentuk dari maskulinitas hegemonik (hegemonic masculinity).

Maskulinitas hegemonik[1] merupakan sistem kepercayaan sosial dalam tatanan masyarakat patriarkal, yang menempatkan laki-laki sebagai sosok dominan, berdaya, dan tidak boleh menonjolkan sisi emosional.

Pandangan ini melahirkan norma sosial[2] yang menuntut laki-laki untuk senantiasa menahan emosi dan menghindari segala bentuk ekspresi kerentanan.

Padahal semua gender (termasuk laki-laki) sangat boleh menunjukkan sisi emosional mereka. Bahkan dalam kondisi yang sangat riskan seperti menyaksikan istri melahirkan.

Dalam beberapa kasus, trauma setelah melahirkan[3] ternyata tidak hanya dialami oleh ibu, tetapi juga ayah. Sayangnya, penelitian kami tahun 2025[4] menunjukkan bahwa masyarakat kita cenderung mengabaikan dampak psikologis yang dialami para ayah.

Mengapa ayah bisa trauma usai ibu melahirkan?

Studi tinjauan sitematis tahun 2019 pada 34 penelitian[5] menunjukkan bahwa tingkat kecemasan ayah akan meningkat[6] menjelang proses persalinan dan terus bertambah setelah ibu melahirkan.

Para ayah cenderung merespons[7] tekanan yang dialami pasangannya selama proses persalinan secara emosional, sehingga mereka bisa mengalami trauma. Perasaan tak berdaya, hingga rasa takut kehilangan pasangan maupun anak merupakan faktor utama yang bisa memicu timbulnya gejala gangguan stres pascatrauma[8] (PTSD) pada ayah.

Read more: 5 dukungan untuk ayah agar lebih terlibat dalam pengasuhan anak berkebutuhan khusus[9]

Trauma pascakelahiran bisa menyebabkan ayah mengalami perubahan emosional yang drastis, seperti menarik diri[10] dari lingkungan sosial dan merasa terasing[11].

Dampak trauma ini tidak main-main—bisa membuat sang ayah kehilangan arah dalam perannya sebagai orang tua[12].

Trauma ini turut berdampak pada dinamika keluarga, terutama dalam pola pengasuhan[13], serta kualitas interaksi antara ayah, ibu, dan anak.

Kondisi ini bahkan bisa mempersulit ayah dalam menjalankan rutinitas dan peran sosial mereka. Hal ini kerap diperparah oleh stigma negatif dari masyarakat maupun keluarga sendiri.

Misalnya, ketika seorang ayah menunjukkan rasa cemas dan sedih[14], masyarakat atau anggota keluarga menilai dirinya “lemah” atau “tidak kompeten sebagai kepala keluarga”.

Meski dampaknya tergolong serius terhadap kesejahteraan keluarga, fenomena ini masih kurang mendapatkan perhatian[15] dan belum menjadi fokus dalam layanan kesehatan mental pascapersalinan.

Kita cenderung mengabaikan trauma ayah

Maskulinitas hegemonik dalam masyarakat memperparah kondisi ini. Penelitian kami[16] menemukan bahwa kepercayaan patriarkal memengaruhi persepsi dan intensi masyarakat dalam memberikan pertolongan kepada ayah yang mengalami trauma pascakelahiran.

Kami meminta 282 partisipan menilai bagaimana mereka memandang dan merespons sosok ayah yang mengalami trauma setelah kelahiran anaknya. Kami juga meminta tanggapan mereka mengenai sosok ibu yang mengalami trauma pascapersalinan.

Hasilnya, partisipan cenderung menunjukkan niat lebih besar untuk membantu ibu[17] dibanding ayah, meskipun keduanya digambarkan mengalami kondisi emosional yang sama beratnya.

Ini cukup menandai bahwa masyarakat kita lebih mengutamakan dukungan emosional bagi perempuan, ketimbang laki-laki yang dianggap lebih “kuat” dan mampu mengatasi kondisi emosionalnya sendiri.

Temuan ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai maskulinitas hegemonik memengaruhi cara kita menilai kerentanan laki-laki.

Semakin kuat seseorang memegang kepercayaan bahwa laki-laki harus tegar, rasional, dan tidak menampakkan kelemahan, semakin kecil pula kemungkinan ia memandang ayah sebagai sosok yang layak mendapatkan pertolongan.

Akibatnya, banyak ayah yang berisiko mengalami kesepian psikologis setelah kelahiran anak. Bukan karena mereka tidak butuh dukungan, melainkan karena masyarakat tidak terbiasa melihat mereka sebagai pihak yang perlu ditolong.

Ayah juga bisa trauma usai ibu melahirkan, tapi mengapa kita mengabaikannya?
Para ayah dapat mengalami perubahan emosional yang drastis setelah kelahiran anak. Shutterstock AI[18]

Pandangan sosial yang tertanam kuat

Dalam studi ini, kami juga mencari tahu apakah pola pikir sarat maskulinitas tersebut dapat dikurangi lewat pendekatan human nature framing, yaitu dengan meyakinkan peserta bahwa manusia pada dasarnya baik.

Kami memberikan para peserta bahan bacaan yang menekankan bahwa manusia secara alamiah memiliki sifat positif, empati, dan kemampuan untuk menolong. Bacaan ini memuat kutipan tokoh ternama, seperti Nelson Mandela, yang menyatakan bahwa manusia tidak dilahirkan untuk membenci dan cinta datang secara alami dari hati manusia.

Read more: Riset: Ayah ingin lebih terlibat pengasuhan, tetapi aturan negara tidak mendukungnya[19]

Cara pandang mengenai sifat dasar manusia ini sebelumnya terbukti dapat menurunkan prasangka sosial dalam berbagai konteks[20]. Misalnya, studi tahun 2021 dalam Peace and Conflict: Journal of Peace Psychology[21] menemukan ketika peserta Muslim makin meyakini bahwa sifat dasar manusia itu baik, semakin positif pula persepsi mereka terhadap sifat kelompok luar (warga non-Muslim Tionghoa). Hal ini meningkatkan dukungan mereka terhadap prinsip persatuan dalam keberagaman.

Pendekatan human nature framing tersebut diharapkan bisa meningkatkan empati dan menggeser cara pandang masyarakat terhadap ayah yang mengalami trauma setelah ibu melahirkan.

Namun, hasil penelitian kami menunjukkan bahwa strategi ini tidak efektif. Paparan singkat terhadap gagasan tersebut tidak mampu mengubah keyakinan sosial yang telah tertanam kuat dalam diri individu.

Butuh upaya bersama

Dukungan emosional dari orang terdekat buat ibu memang sangatlah penting. Sebab, perubahan fisik dan hormonal sebelum, selama, dan setelah melahirkan berpotensi menyebabkan ibu mengalami baby blues hingga depresi[22].

Namun, ayah juga layak mendapatkan perhatian. Dukungan ini bisa lebih mengalir apabila ayah lebih mengakui emosi yang dirasakan. Menunjukkan sisi rapuh dan emosional itu merupakan hal yang lumrah.

Kita juga harus bersama-sama mengubah cara pandang yang lebih inklusif dalam menghargai sisi emosional setiap manusia.

References

  1. ^ Maskulinitas hegemonik (www.jstor.org)
  2. ^ norma sosial (doi.org)
  3. ^ trauma setelah melahirkan (doi.org)
  4. ^ penelitian kami tahun 2025 (scholarhub.ui.ac.id)
  5. ^ Studi tinjauan sitematis tahun 2019 pada 34 penelitian (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  6. ^ akan meningkat (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  7. ^ merespons (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  8. ^ gejala gangguan stres pascatrauma (bmcpregnancychildbirth.biomedcentral.com)
  9. ^ 5 dukungan untuk ayah agar lebih terlibat dalam pengasuhan anak berkebutuhan khusus (theconversation.com)
  10. ^ menarik diri (bmcpregnancychildbirth.biomedcentral.com)
  11. ^ merasa terasing (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  12. ^ perannya sebagai orang tua (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  13. ^ pola pengasuhan (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  14. ^ rasa cemas dan sedih (www.magonlinelibrary.com)
  15. ^ masih kurang mendapatkan perhatian (doi.org)
  16. ^ Penelitian kami (scholarhub.ui.ac.id)
  17. ^ membantu ibu (scholarhub.ui.ac.id)
  18. ^ Shutterstock AI (www.shutterstock.com)
  19. ^ Riset: Ayah ingin lebih terlibat pengasuhan, tetapi aturan negara tidak mendukungnya (theconversation.com)
  20. ^ prasangka sosial dalam berbagai konteks (psycnet.apa.org)
  21. ^ studi tahun 2021 dalam Peace and Conflict: Journal of Peace Psychology (psycnet.apa.org)
  22. ^ depresi (www.sciencedirect.com)

Authors: Akhmad Saputra syarif, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik, Universitas Indonesia

Read more https://theconversation.com/ayah-juga-bisa-trauma-usai-ibu-melahirkan-tapi-mengapa-kita-mengabaikannya-267319

Magazine

‘Father hunger’ lebih mengganggu perkembangan emosional anak dibandingkan ‘Fatherless’

Ilustrasi seorang ayah sedang mengajarkan anak perempuannya mengendarai sepeda.maxim ibragimov/Shutterstock● ‘Father hunger’ terjadi ketika anak hidup bersama ayah, tetapi kurang men...

Ayah juga bisa trauma usai ibu melahirkan, tapi mengapa kita mengabaikannya?

● Ayah juga bisa mengalami trauma setelah menyaksikan ibu melahirkan.● Sayangnya, masyarakat cenderung mengabaikan dampak psikologis yang dialami laki-laki.● Masyarakat cenderung mem...

Fasilitas umum kerap rusak saat demo: Bagaimana taksiran kerugiannya?

● Aksi unjuk rasa atau demonstrasi sudah jadi makanan sehari-hari bagi pejabat negara dan instansi Pemerintahan.● Tak jarang aksi demo berujung pada bentrokan yang merusak fasilitas umum.&...