Limbah plastik dari klinik gigi: Kecil di ruang praktik, berdampak besar bagi lingkungan

● Klinik gigi turut menyumbang limbah plastik medis dari penggunaan alat sekali pakai.

● Jika tak dikelola dengan baik, limbah ini berpotensi mencemari lingkungan.

● Pemilahan limbah, desinfeksi, dan alat ulang pakai dapat membantu mengurangi sampah plastik tanpa mengorbankan perlindungan pasien.

Perlengkapan medis kebanyakan dibuat dari bahan plastik, termasuk dalam praktik kedokteran gigi. Mulai dari sarung tangan, celemek pasien, hingga pelindung dental unit di klinik gigi.

Semuanya juga hanya boleh dipakai sekali demi menjaga keselamatan pasien dan mencegah infeksi silang^[1].

Namun, di balik standar ini, muncul dampak lingkungan serius, terutama jika limbah medis tidak dikelola dengan baik.

Limbah tersembunyi di klinik gigi

Klinik gigi, meskipun kelihatannya skala kecil, turut menyumbang limbah plastik dalam jumlah besar^[2].

Saat ini, memang belum ada data nasional yang secara khusus mencatat volume limbah plastik dari praktik kedokteran gigi di Indonesia.

Namun, studi global hasil kolaborasi National University of Singapore, University of Manchester, dan University of Sao Paulo menunjukkan data yang cukup mencengangkan.

Seorang dokter gigi yang melayani 10 pasien per hari bisa menghasilkan sekitar 400–800 gram plastik per bulan^[3] hanya dari alat penyedot air liur (saliva ejector). Angka ini belum termasuk sarung tangan, pelindung dental unit, dan peralatan berbahan plastik lainnya.

Di Indonesia, terdapat kurang lebih 55 ribu dokter gigi^[5] yang terdaftar dan diasumsikan semua aktif berpraktik.

Jika angka produksi limbah ini diakumulasikan secara nasional, maka sektor pelayanan kesehatan gigi saja diperkirakan menghasilkan sekitar 22-44 ton sampah plastik setiap bulannya.

Sebagai perbandingan, studi lokal di Pekanbaru mencatat angka yang lebih tinggi: praktik gigi swasta menghasilkan rata-rata 330 gram limbah medis padat per dokter per hari^[6]. Selama pandemi COVID-19, limbah medis terbukti menjadi penyumbang utama sampah plastik^[7].

Sebuah studi dengan pemodelan komputer yang melacak pergerakan plastik di lautan^[8] memperkirakan dunia menghasilkan sekitar 8,4 juta ton limbah plastik tambahan.

Dari jumlah itu, sekitar 25,9 ribu ton akhirnya terbawa ke laut, dan lebih dari dua pertiganya (73%) merupakan limbah medis yang berasal dari rumah sakit dan fasilitas kesehatan.

Temuan-temuan ini memperlihatkan bahwa tanpa pengelolaan yang ketat, limbah medis—termasuk dari klinik gigi—berpotensi mencemari darat maupun laut.

Apalagi plastik medis umumnya mengandung senyawa yang sulit terurai, seperti PFAS^[9], sejenis “forever chemical” atau bahan kimia yang dapat bertahan lama di lingkungan.

Read more: Nanofiber: Inovasi baru untuk alternatif produk tanpa bahan kimia berbahaya^[10]

Limbah medis infeksius

Selain sulit terurai, plastik dari klinik gigi yang terkena air liur atau darah pasien masuk dalam kategori limbah medis infeksius^[11], sehingga harus diproses secara khusus untuk mencegah penyebaran penyakit.

Sesuai regulasi^[12] pengelolaan limbah berbahaya dan beracun di Indonesia, limbah semacam ini tidak bisa didaur ulang dan wajib dimusnahkan, biasanya lewat insinerasi, yaitu pembakaran dengan suhu tinggi.

Sayangnya, dalam praktiknya masih banyak limbah medis yang tercampur dengan sampah rumah tangga di tempat pembuangan umum.

Apa yang harus dilakukan?

Untuk mengatasi persoalan limbah medis, terutama di klinik gigi, setidaknya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:

1. Memilah limbah dengan teliti

Pengelolaan limbah seharusnya dipandang sebagai prioritas operasional, bukan beban tambahan.

Fasilitas kesehatan harus memastikan setiap petugas memahami cara memilah limbah dengan benar melalui pelatihan rutin.

Pengelolaan limbah medis yang sering bergantung pada pihak ketiga memang membutuhkan biaya. Semakin sering dikirim, semakin besar pengeluaran.

Karena itu, perlu alokasi dana khusus untuk pengelolaan limbah yang berkomitmen menjaga keselamatan lingkungan, seperti halnya menjaga keselamatan pasien.

2. Gunakan plastik dengan lebih strategis

Penggunaan plastik sekali pakai di fasilitas kesehatan gigi dapat dioptimalkan tanpa mengurangi keamanan pasien.

Caranya, plastik pelindung hanya digunakan pada area yang sulit dibersihkan, seperti pada handpiece (alat bor gigi) dan pada pasien dengan penyakit menular aktif.

Di luar itu, klinik bisa melakukan desinfeksi permukaan^[14] pada area yang mudah dibersihkan, seperti kursi atau meja dental unit. Langkah ini lebih hemat dan ramah lingkungan tanpa mengurangi keamanan.

3. Beralih ke alat yang dapat digunakan ulang

Klinik juga bisa mengganti plastik dengan alternatif yang bisa digunakan kembali, seperti peralatan logam, celemek berbahan handuk, atau alat pelindung diri (APD) yang bisa dicuci ulang. Selain mengurangi sampah, pilihan ini menekan biaya logistik dalam jangka panjang tanpa menurunkan standar kebersihan.

4.Kurangi limbah dengan mendorong pencegahan

Upaya keberlanjutan tidak berhenti di ruang praktik. Fasilitas kesehatan gigi juga berperan penting dalam mengedukasi pasien.

Dengan mendorong masyarakat menjaga kesehatan gigi di rumah, sekaligus memberikan pelayanan gigi yang berkualitas^[15], frekuensi kunjungan ke klinik bisa berkurang. Dan pada akhirnya, jumlah limbah plastik yang dihasilkan pun ikut menurun.

Butuh kebijakan dan kolaborasi semua pihak

Tanggung jawab pengurangan sampah plastik tidak hanya berada di tangan fasilitas kesehatan. Transisi menuju praktik kesehatan gigi yang berkelanjutan memerlukan dukungan kebijakan dan kolaborasi lintas sektor.

• Pemerintah dapat mendorong praktik ramah lingkungan dengan membuat kebijakan yang memberikan insentif pada klinik ramah lingkungan, seperti yang dilakukan di Eropa^[16].

• Produsen, tenaga kesehatan, dan masyarakat juga perlu bekerja sama menciptakan sistem yang lebih berkelanjutan. Program seperti Colgate–TerraCycle^[17] yang terdapat di banyak negara maju dapat menjadi contoh nyata bagaimana kolaborasi dapat menghasilkan program daur ulang gratis untuk produk dan kemasan perawatan mulut yang biasanya sulit didaur ulang, termasuk sikat, pasta, dan benang gigi.

• Selain itu, nilai keberlanjutan juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan kedokteran gigi, agar tenaga kesehatan masa depan memahami dampak lingkungan dari praktik mereka.

• Edukasi kepada masyarakat juga penting, misalnya melalui kampanye memilah limbah dan memperkenalkan alternatif ramah lingkungan, seperti sikat gigi bambu atau pasta gigi tablet^[18].

Keselamatan pasien tetap menjadi prioritas utama. Namun, kini saatnya sektor kesehatan gigi juga mengambil bagian dalam menjaga kelestarian bumi. Dengan langkah kecil di klinik gigi hari ini, kita memastikan bumi tetap layak huni bagi generasi mendatang.

References

1. ^{^} infeksi silang (ejournal.unsrat.ac.id)
2. ^{^} limbah plastik dalam jumlah besar (pubs.rsc.org)
3. ^{^} 400–800 gram plastik per bulan (pubs.rsc.org)
4. ^{^} shutterstock/nichnann (www.shutterstock.com)
5. ^{^} 55 ribu dokter gigi (pdgi.or.id)
6. ^{^} 330 gram limbah medis padat per dokter per hari (jppipa.unram.ac.id)
7. ^{^} penyumbang utama sampah plastik (link.springer.com)
8. ^{^} pergerakan plastik di lautan (www.pnas.org)
9. ^{^} PFAS (theconversation.com)
10. ^{^} Nanofiber: Inovasi baru untuk alternatif produk tanpa bahan kimia berbahaya (theconversation.com)
11. ^{^} limbah medis infeksius (www.mdpi.com)
12. ^{^} regulasi (peraturan.bpk.go.id)
13. ^{^} shutterstock (www.shutterstock.com)
14. ^{^} desinfeksi permukaan (www.nature.com)
15. ^{^} pelayanan gigi yang berkualitas (www.fdiworlddental.org)
16. ^{^} Eropa (commission.europa.eu)
17. ^{^} Colgate–TerraCycle (www.terracycle.com)
18. ^{^} pasta gigi tablet (ijppr.humanjournals.com)