Teknologi eDNA: Terobosan baru menyingkap kehidupan laut dalam dengan mudah dan murah

● eDNA membuat riset laut dalam lebih mudah, murah, dan tidak mengganggu makhluk laut.

● Fenomena upwelling ekstrem (naiknya air dari lapisan laut dalam ke permukaan) bisa menjadi “pompa alami” membawa DNA dari kedalaman laut ±1.000 meter.

● Indonesia perlu membangun konsorsium nasional eDNA untuk kebijakan dan pemantauan biodiversitas.

Dulu, kami para peneliti butuh kapal riset mahal, alat tangkap khusus, dan harus menyelam jauh untuk meneliti kehidupan bawah laut.

Kini teknologi environmental DNA (eDNA) membuat penelitian kehidupan laut dalam jauh lebih mudah, murah, dan cepat, tanpa mengganggu makhluk laut.

Dengan eDNA, peneliti cukup mengambil sampel air laut dari permukaan. Dari air itu, teknologi eDNA bisa membaca jejak DNA^[1] yang berasal dari organisme laut.

Tapi pertanyaannya, bagaimana cara mendapatkan sampel dari air laut yang sangat dalam?

Read more: Menguji efektivitas teknologi baru eDNA, ampuh mendeteksi biodiversitas laut lewat sisa sel hingga jejak kotoran^[2]

Memanfaatkan ‘upwelling extreme’ sebagai pompa alami

Dalam riset terbaru (2025)^[3], kami memanfaatkan fenomena upwelling extreme^[4] sebagai “pompa alami” untuk membawa DNA makhluk laut dalam ke permukaan.

Fenomena langka ini terjadi di perairan Selat Pantar di Nusa Tenggara Timur—yang menjadi lokasi riset kami.

Peristiwa ini mendorong massa air super dingin dari kedalaman ±1.000 meter naik ke permukaan hanya dalam waktu singkat. Karena air naik, DNA dari ikan-ikan laut dalam juga ikut terbawa arus ke permukaan.

Kami lantas mengambil sampel air sebelum, saat, dan sesudah terjadinya upwelling extreme dari permukaan laut, kemudian menganalisis sampel tersebut menggunakan teknologi sekuensing MinION^[5] nanopore (pori kecil) yang kami miliki di Laboratorium Diponegoro Biodiversity Project (DBP), Universitas Diponegoro^[6].

Hasilnya, kami berhasil mengidentifikasi 323 jenis ikan, termasuk ikan laut dalam seperti Benthosema fibulatum, Dasyscopelus asper, dan beberapa jenis ikan lentera (Diaphus spp.) yang berasal dari kedalaman lebih dari 1.000 meter.

Kategori spesies berdasarkan kategori kedalaman yang terdeteksi pada eDNA sebelum, saat, dan sesudah ‘upwelling’ terjadi. (Astuti et al., 2025)^[7]

Baru-baru ini, saya (Dita) juga melakukan ekspedisi^[8] bersama tim dari The National University of Singapore dengan kapal riset OceanXplorer di dua gunung bawah laut (seamount) yang berada di wilayah perairan internasional di Samudera Hindia, di antara Pulau Christmas dan Cocos Keling.

Kami berhasil mengambil sampel hingga kedalaman 1.200–5.000 meter menggunakan pompa vakum yang dipasang pada robot bawah laut (ROV). Kami juga menggunakan metode eDNA sebagai salah satu teknik untuk mengidentifikasi keragaman biodiversitas di laut dalam, meski hasilnya saat ini masih dalam proses penelitian.

Urgensi membangun konsorsium eDNA untuk sistem pemantauan laut

Temuan ini menunjukkan bahwa metode eDNA sangat efektif dan efisien untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati. Selain itu, teknologi ini juga bisa menjadi alat sensitif untuk memantau proses ekologis dan perubahan ekologi lingkungan dengan cepat.

Dengan kata lain, pendekatan ini berpotensi besar memperkuat sistem pemantauan laut nasional Indonesia, terutama di wilayah yang sulit dijangkau atau sangat dinamis. Sayangnya, potensi besar ini belum sepenuhnya terwadahi dalam kebijakan nasional.

Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP^[9]) 2025–2045 sebagai kerangka strategis nasional untuk pengelolaan keanekaragaman hayati, belum mencakup eDNA untuk inventarisasi keanekaragaman hayati di Indonesia.

Padahal sejumlah negara sudah menerapkan pendekatan eDNA dalam kerangka strategi nasional mereka. Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Office of Science and Technology Policy (OSTP) bersama tim antar-lembaga merilis National Aquatic eDNA Strategy^[10] pada 2024, yang menjadi panduan resmi dalam penggunaan eDNA untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya perairan.

Di Australia, lembaga riset nasional Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) juga sudah mengembangkan eDNA Roadmap serta membentuk National eDNA Reference Centre^[11] untuk mendukung pemantauan keanekaragaman hayati laut dan biosekuriti.

Jepang juga mengoperasikan jaringan pemantauan nasional All Nippon eDNA Monitoring Network (ANEMONE^[12]) yang mengintegrasikan data eDNA dari berbagai wilayah.

Sementara itu, Selandia Baru melalui NIWA (National Institute of Water & Atmospheric Research) telah menerbitkan pedoman resmi penggunaan eDNA untuk pemantauan ekosistem perairan^[13].

Urgensi membangun konsorsium eDNA menurutku ini subtitlenya lebih cocok di sini

Sebagai negara di wilayah coral triangle yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia^[14], Indonesia harus mulai mengadopsi pendekatan eDNA seperti negara-negara lain.

Salah satu langkah untuk memperkuat strategi nasional eDNA dalam mendukung keberlanjutan keanekaragaman hayati adalah membentuk konsorsium nasional eDNA yang melibatkan peneliti dari berbagai lembaga, baik instansi pemerintah, lembaga riset, maupun berbagai universitas di Indonesia.

Pembentukan konsorsium eDNA Indonesia bisa membuat pertukaran data dan hasil penelitian antar laboratorium lebih efisien, mempercepat pengembangan metode, kolaborasi untuk membantu kemerataan fasilitas, serta mendorong standarisasi protokol eDNA nasional.

Model seperti ini sudah sukses diterapkan di negara lain. Misalnya, Southern eDNA Society^[15] kolaborasi Australia dan Selandia Baru telah berhasil membangun komunitas lintas sektor, mulai dari peneliti, pemerintah, sampai industri. The eDNA Collaborative^[16], yang diinisiasi oleh University of Washington, AS juga sukses menjadi sarana jejaring global bagi peneliti dan praktisi eDNA dari berbagai negara.

Konsorsium ini juga bisa berperan dalam menyusun policy brief dan roadmap nasional eDNA, yang nantinya dapat menjadi acuan strategis dalam implementasi pemantauan keanekaragaman hayati berbasis teknologi molekuler.

Integrasi eDNA ke dalam kebijakan nasional tidak hanya akan memperkuat kapasitas ilmiah dan efektivitas sistem pemantauan biodiversitas Indonesia, tetapi juga mendukung pencapaian visi kita dalam mewujudkan pengelolaan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan, inklusif, dan berbasis ilmu pengetahuan.

References

1. ^{^} teknologi eDNA bisa membaca jejak DNA (www.researchgate.net)
2. ^{^} Menguji efektivitas teknologi baru eDNA, ampuh mendeteksi biodiversitas laut lewat sisa sel hingga jejak kotoran (theconversation.com)
3. ^{^} riset terbaru (2025) (www.sciencedirect.com)
4. ^{^} upwelling extreme (www.jstor.org)
5. ^{^} sekuensing MinION (nanoporetech.com)
6. ^{^} Diponegoro Biodiversity Project (DBP), Universitas Diponegoro (dbplab.org)
7. ^{^} (Astuti et al., 2025) (www.sciencedirect.com)
8. ^{^} ekspedisi (www.straitstimes.com)
9. ^{^} IBSAP (perpustakaan.bappenas.go.id)
10. ^{^} National Aquatic eDNA Strategy (bidenwhitehouse.archives.gov)
11. ^{^} National eDNA Reference Centre (www.ecodna.org.au)
12. ^{^} ANEMONE (anemone.bio)
13. ^{^} eDNA untuk pemantauan ekosistem perairan (niwa.co.nz)
14. ^{^} keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia (ctatlas.coraltriangleinitiative.org)
15. ^{^} Southern eDNA Society (sednasociety.com)
16. ^{^} The eDNA Collaborative (www.ednacollab.org)