Pilu kematian dan kehancuran akibat banjir bandang: Mengapa siklon langka di khatulistiwa dan badai lain melanda selatan Asia
- Written by Steve Turton, Adjunct Professor of Environmental Geography, CQUniversity Australia
Lebih dari 900 orang tewas[1], ribuan hilang, dan jutaan lainnya terdampak akibat serangkaian siklon dan cuaca monsun ekstrem di selatan Asia.
Hujan lebat memicu banjir terburuk dalam beberapa dekade, disertai tanah longsor. Indonesia, Sri Lanka, Thailand, Vietnam, dan Malaysia menjadi yang paling parah terdampak. Korban jiwa kemungkinan akan terus bertambah.
Biasanya, siklon jarang terbentuk dekat garis khatulistiwa, termasuk wilayah Indonesia. Tapi kali ini, siklon Senyar muncul di utara khatulistiwa, tepatnya di Selat Malaka.
Siklon ini memicu terjadinya banjir besar yang mematikan di Sumatra[2] dan Semenanjung Malaysia[3] pekan lalu.
Senyar juga tidak muncul sendirian. Beberapa siklon tropis lain juga terbentuk bersamaan di zona pertemuan angin pasat di utara khatulistiwa. Salah satunya adalah Siklon Koto yang memicu banjir bandang dan tanah longsor parah di Filipina kemudian melemah saat mendekati Vietnam.
Sementara itu, Siklon Ditwah memicu banjir besar yang menghancurkan Sri Lanka[4].
Salah satu alasan Sumatra juga banjir sangat parah adalah karena adanya ‘tabrakan’ langka[5] antara Siklon Koto and Siklon Senyar, yang kini sudah melemah.
Read more: Dari banjir ke banjir, mengapa kita masih gagap menghadapi bencana?[6]
Munculnya beberapa badai hebat hampir bersamaan bukan hal yang benar-benar baru. Siklon yang muncul dekat khatulistiwa memang jarang, tapi pernah terjadi[7] pada 2021 silam.
Namun, kehancuran kali ini memang luar biasa. Presiden Sri Lanka Anura Kumara Dissanayake menyebut banjir ini[8] sebagai “bencana alam paling menantang” dalam sejarah negaranya.
Apakah hal ini terkait perubahan iklim? Belum pasti. Perubahan iklim justru kemungkinan akan membuat jumlah siklon berkurang[9], tapi badai yang terbentuk cenderung akan lebih kuat.
Mengapa siklon jarang terjadi dekat khatulistiwa?
Siklon, topan, dan badai tropis sebenarnya hanyalah beragam nama berbeda untuk menyebut berbagai jenis badai tropis yang kuat dan berputar. Badai ini terbentuk di laut yang luas dan hangat, tapi jarang terjadi tepat di sekitar khatulistiwa.
Alasannya, karena kekuatan Coriolis[11] atau gaya semu akibat rotasi bumi yang diperlukan untuk memutar badai, terlalu lemah di khatulistiwa. Tanpa putaran itu, badai sulit terbentuk menjadi siklon.
Siklon paling dekat dengan khatulistiwa yang pernah tercatat adalah Siklon Vamei[12] pada 2021—terbentuk di 1,4° LU. Sebagai perbandingan, Siklon Senyar muncul di 3,8° LU.
Meski siklon tropis bisa terbentuk kapan saja, puncaknya biasa terjadi antara Juli dan Oktober di Samudra Pasifik Barat Laut dan Samudra Hindia Utara.
Badai Siklon Senyar dan Topan Koto terbentuk di Wilayah Pasifik Barat Laut[13], wilayah dengan siklon tropis paling besar, paling sering, dan paling intens di dunia.
Tahun ini, beberapa topan dahsyat menerjang Filipina[14] dan sebagian Cina Selatan[15].
Salah satu alasan badai kali ini menyebabkan kerusakan begitu luas[16] adalah karena siklon melanda negara yang jarang berhadapan dengan siklon besar, seperti Indonesia dan Malaysia.
Di Samudra Hindia Utara[17], termasuk Teluk Benggala dan Laut Arab, siklon umumnya lebih kecil dan jarang terjadi.
Namun, Siklon Ditwar bergerak langsung ke sepanjang pantai timur Sri Lanka, sehingga kerusakan yang ditimbulkan semakin parah.
Apakah ini berkaitan dengan perubahan iklim?
Seiring makin panasnya lautan dan atmosfer akibat emisi dari bahan bakar fosil, siklon tropis diperkirakan akan semakin intens terjadi[18].
Ini karena siklon mendapatkan energi dari laut hangat[19]. Semakin hangat laut, semakin banyak “bahan bakar” untuk membentuk badai.
Atmosfer yang semakin panas memperkuat siklus air di seluruh dunia[20], sehingga puncak curah hujan semakin tinggi[21]. Saat hujan deras turun dalam waktu singkat, risiko banjir bandang meningkat.
Meski begitu, kita tidak bisa langsung buru-buru menyatakan perubahan iklim memperburuk badai ini. Diperlukan analisis lebih mendalam untuk menghubungkan peristiwa ini dengan pemanasan global.
Read more: 'Jatah' emisi karbon kita tinggal 3 tahun lagi, studi baru peringatkan dunia kehabisan waktu mengatasi dampak terburuk krisis iklim[22]
References
- ^ tewas (www.theguardian.com)
- ^ Sumatra (www.abc.net.au)
- ^ Semenanjung Malaysia (www.malaymail.com)
- ^ menghancurkan Sri Lanka (www.theguardian.com)
- ^ ‘tabrakan’ langka (www.abc.net.au)
- ^ Dari banjir ke banjir, mengapa kita masih gagap menghadapi bencana? (theconversation.com)
- ^ tapi pernah terjadi (doi.org)
- ^ menyebut banjir ini (www.theguardian.com)
- ^ jumlah siklon berkurang (doi.org)
- ^ Chamila Karunarathne/EPA (photos.aap.com.au)
- ^ Coriolis (oceanservice.noaa.gov)
- ^ Siklon Vamei (www.science.org)
- ^ Wilayah Pasifik Barat Laut (www.mdpi.com)
- ^ menerjang Filipina (hypotheticalhurricanes.fandom.com)
- ^ Cina Selatan (www.abc.net.au)
- ^ kerusakan begitu luas (www.adrc.asia)
- ^ Di Samudra Hindia Utara (www.mdpi.com)
- ^ semakin intens terjadi (centaur.reading.ac.uk)
- ^ laut hangat (www.uwa.edu.au)
- ^ memperkuat siklus air di seluruh dunia (doi.org)
- ^ semakin tinggi (theconversation.com)
- ^ 'Jatah' emisi karbon kita tinggal 3 tahun lagi, studi baru peringatkan dunia kehabisan waktu mengatasi dampak terburuk krisis iklim (theconversation.com)
Authors: Steve Turton, Adjunct Professor of Environmental Geography, CQUniversity Australia





