Amankah lari tanpa sepatu: Siapa yang cocok melakukannya dan bagaimana cara memulainya?
- Written by Natalie Collins, Associate Professor in Physiotherapy, The University of Queensland
Kamu mungkin pernah mendengar tren lari tanpa sepatu (barefoot running) yang banyak diperbincangkan di media sosial. Beberapa orang menggunakan sandal ataupun sepatu beralas kaki minimalis (sandal/sepatu barefoot), tetapi ada juga yang berlari tanpa alas kaki sama sekali.
Banyak pendukung barefoot running yang merasa takjub dan menggambarkan metode ini sebagai cara berlari paling alami. Namun, tidak semua orang menyukainya.
Klaim soal sensasi lari tanpa sepatu pun beragam, mulai dari “Ini adalah keputusan terbaik yang saya lakukan” hingga “Saya sudah mencobanya dan merasa sangat kesakitan.”
Lantas, apa kata penelitian mengenai fenomena lari tanpa sepatu?
Artikel[1] terbaru kami, yang diterbitkan dalam jurnal Medicine & Science in Sports & Exercise[2], menguji cara baru untuk bisa bertransisi dari berlari pakai sepatu lari konvensional ke lari dengan sepatu barefoot maupun bertelanjang kaki.
Kami juga menyelidiki mengapa beberapa pelari tidak sanggup lari tanpa sepatu. Hasilnya, kami menemukan dua karakteristik utama pelari yang tidak mampu beralih ke metode barefoot running.
Read more: Children should spend more time barefoot to encourage a healthier foot structure[3]
Temuan kami
Kami meneliti 76 pelari yang beralih ke lari tanpa sepatu selama 20 minggu. Mereka menggunakan sepatu barefoot sebagai fase peralihan antara berlari pakai sepatu lari konvensional dengan lari tanpa alas kaki.
Selama empat minggu pertama, para peserta berlari menggunakan sepatu lari konvensional. Empat minggu berikutnya, mereka meningkatkan durasi lari sebanyak tidak lebih 20% dari total volume lari setiap pekan pakai sepatu barefoot.
Mereka kemudian menghabiskan empat minggu berikutnya secara bertahap dengan meningkatkan waktu berlari tanpa alas kaki—tidak lebih dari 20% per minggu.
Akhirnya, mereka berlari tanpa alas kaki selama empat minggu berikutnya.
Sebelum berlari, kami juga meminta para peserta untuk melakukan peregangan dan latihan kekuatan betis dan kaki, guna membantu otot-otot mereka selama transisi dari penggunan sepatu konvensional ke lari tanpa alas kaki.
Dengan menggunakan strategi ini, 70% pelari berhasil bertransisi ke lari tanpa alas kaki selama 20 minggu.
Pelari sisanya, mengaku tidak sanggup lari tanpa sepatu karena merasakan nyeri pada betis saat berlari dengan sepatu beralas kaki minimalis, serta nyeri pada kaki saat lari bertelanjang kaki.
Tidak untuk semua orang
Kami mengidentifikasi dua ciri utama pelari yang gagal bertransisi ke lari tanpa alas kaki.
Salah satu penyebabnya karena saat berlari, mereka mendaratkan tumit terlebih dahulu ke tanah.
Penyebab lainnya adalah hipermobilitas (kondisi ketika sendi sangat fleksibel) pada telapak kaki. Artinya, mereka memiliki lengkungan kaki yang lebih lentur dan fleksibel saat kaki menahan beban.
Mengapa bisa begitu? Masih terlalu dini untuk memastikannya, tetapi yang jelas lari tanpa alas kaki cenderung meningkatkan tekanan pada jaringan kaki dan betis.
Temuan kami menunjukkan bahwa stres pada jaringan kaki ini tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh pelari yang terbiasa mendaratkan tumit terlebih dahulu atau memiliki hipermobilitas telapak kaki saat berlari, baik menggunakan sepatu barefoot maupun bertelanjang kaki. Kedua kondisi ini dapat mengakibatkan rasa sakit hingga berujung cedera.
Penelitian[6] lain [7] juga[8] menunjukkan bahwa berlari tanpa alas kaki atau dengan sepatu beralas minimalis akan meningkatkan risiko cedera kaki, seperti nyeri pada tulang kering dan betis, hingga tulang kaki retak atau patah.
Sebab, sepatu lari konvensional[9] biasanya dilengkapi dengan cushion (bantalan sol empuk) yang memberikan lebih banyak dukungan dalam menopang beban kaki saat berlari.
Tampaknya, pelari yang terbiasa menyentuh tanah dengan tumitnya saat berlari juga cukup kesulitan untuk lebih sering mendaratkan kaki pakai area tengah kaki atau kaki depan—yang cenderung digunakan saat berlari tanpa alas kaki.
Sementara itu, orang yang memiliki sendi kaki yang terlalu lentur mungkin memerlukan otot kaki yang bekerja lebih kuat dan keras saat mendorong kaki dari tanah ketika berlari.
Kami menduga pelari membutuhkan periode transisi yang lebih bertahap untuk meminimalkan rasa sakit atau cedera saat berlari pakai sepatu barefoot ataupun bertelanjang kaki. Ini dilakukan dengan meningkatkan frekuensi lari pakai sepatu beralas kaki minimalis ataupun bertelanjang kaki per pekan sebesar 10% (bukan 20%) dalam rentang waktu yang lebih lama, misalnya 40 minggu.
Lakukan transisi secara bertahap, jika kamu ingin berlari tanpa sepatu.
Shutterstock
Tips aman berlari tanpa sepatu
Jika kamu tertarik mencoba lari bertelanjang kaki, lakukan sejumlah cara berikut:
Lakukan transisi secara bertahap selama minimal 20 minggu. Bila perlu, rentang waktu transisinya lebih lama, misalnya 40 minggu.
Gunakan sepatu barefoot dengan alas kaki minimalis selama periode transisi.
Batasi peningkatan jarak lari dengan sepatu beralas minimalis ataupun bertelanjang kaki hingga tidak lebih dari 20% dari total jarak lari per pekan.
Beristirahatlah dan beri jeda berlari jika mengalami nyeri kaki selama 24 jam.
Konsultasikan kepada fisioterapis atau dokter spesialis ortopedi dan traumatologi jika mengalami nyeri selama masa transisi, terutama jika kamu punya riwayat cedera.
Berkonsultasilah dengan pelatih lari yang tersertifikasi untuk mendukung program larimu.
Saat lari tanpa alas kaki, pilih rute dengan kondisi pencahayaan yang baik. Tujuannya, agar kamu bisa menghindari permukaan yang tajam, terlalu panas ataupun dingin.
Selama masa transisi, jadwalkan penggunaan sepatu dengan berbagai jenis alas kaki secara bergantian. Data riset kami menunjukkan, pelari yang melakukan rotasi sepatu, lebih minim cedera, ketimbang mereka yang lari hanya pakai satu jenis sepatu saja.
Lari menggunakan sepatu barefoot ataupun bertelanjang kaki mungkin tidak cocok bagi semua orang. Metode ini juga tidak akan membuat kamu berlari lebih cepat ataupun mengurangi tingkat cedera secara keseluruhan.
Selain itu, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa lari tanpa alas kaki dapat membakar lebih banyak kalori, dibandingkan dengan menggunakan sepatu lari konvensional.
Namun, jika kamu tertarik mencoba lari tanpa alas kaki, lakukan transisi secara bertahap dengan menggunakan sepatu lari beralas kaki minimalis. Cara ini mungkin akan lebih melancarkan proses transisi sehingga kamu tetap bisa berlari dengan aman.
Read more: Eliud Kipchoge broke the men's marathon record by 30 seconds. How close is the official sub-2 hour barrier now?[10]
References
- ^ Artikel (journals.lww.com)
- ^ Medicine & Science in Sports & Exercise (www.acsm.org)
- ^ Children should spend more time barefoot to encourage a healthier foot structure (theconversation.com)
- ^ Photo by Kampus Production/Pexels (www.pexels.com)
- ^ CC BY (creativecommons.org)
- ^ Penelitian (bjsm.bmj.com)
- ^ lain (journals.sagepub.com)
- ^ juga (bjsm.bmj.com)
- ^ sepatu lari konvensional (bjsm.bmj.com)
- ^ Eliud Kipchoge broke the men's marathon record by 30 seconds. How close is the official sub-2 hour barrier now? (theconversation.com)
Authors: Natalie Collins, Associate Professor in Physiotherapy, The University of Queensland





