Wacana pembubaran Satgas BLBI: Tranparansi dan akuntabilitas kelanjutan penagihan dipertanyakan
- Written by Septian Bayu Kristanto, Research associate professor, Center of Tax and Accounting Studies, Universitas Kristen Krida Wacana
● Wacana pembubaran Satgas BLBI amat disayangkan.
● Kinerja Satgas BLBI tergolong lamban, Pemerintah perlu memastikan penagihan tetap berjalan.
● Pemerintah tetap perlu pastikan setiap aset, obligor, dan setiap kebijakan fiskal diaudit secara terbuka.
Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang berencana membubarkan Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia[1] (Satgas BLBI) menandai babak baru dalam perjalanan panjang pemulihan aset negara pasca-Krisis 1998.
Setelah lebih dari dua dekade, upaya menagih kembali dana BLBI yang mencapai ratusan triliun rupiah kini berada di tangan birokrasi. Publik disajikan narasi efisiensi dan “selesainya tugas”[2] satgas tersebut.
Lalu bagaimana kelanjutan aset yang belum tertagih?
BLBI bukan sekadar urusan hukum atau ekonomi, tetapi cerminan relasi negara dan warganya dalam mengelola uang publik.
Mantan Menteri Kordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD[4] bahkan memperingatkan negara berpotensi kehilangan aset senilai Rp95 triliun jika negara menyetop Satgas dihentikan sebelum membangun mekanisme pengawasan yang kuat.
Angka-angka ini bukan sekadar hitungan anggaran, melainkan refleksi atas sejauh mana Pemerintah menegakkan prinsip keadilan dalam pengelolaan aset publik.
Sejatinya, bantuan likuiditas yang digelontorkan untuk menyelamatkan perbankan saat krisis 1998 bersumber dari dana rakyat[5].
Ketika sejumlah obligor dan debitur nakal menyalahgunakan dana itu, maka setiap rupiah yang tidak kembali adalah bentuk kehilangan kepercayaan publik terhadap negara.
Publik harus tetap mendapat jaminan bahwa upaya penagihan bisa tuntas dan dilaporkan secara transparan sebagai tanggung jawab pengelolaan fiskal negara.
Efisiensi tak boleh mengalahkan akuntabilitas
Satgas BLBI dibentuk pada 2021 untuk mempercepat penagihan aset yang selama dua dekade terbengkalai.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga akhir 2023[6] Satgas telah mengamankan sekitar Rp35,2 triliun dari total kewajiban obligor yang nilainya mencapai Rp110 triliun.
Namun, target penagihan tahun 2025 justru diturunkan menjadi hanya Rp2 triliun[7] hingga akhirnya wacana pembubaran Satgas muncul.
Argumen pembubaran Satgas sering dikaitkan dengan efisiensi: tugasnya dinilai selesai, dan mekanisme pelacakan aset bisa dikembalikan ke kementerian terkait.
Namun, efisiensi birokrasi tidak seharusnya mengorbankan akuntabilitas publik. Dalam perspektif akuntansi sektor publik[8], aset negara yang berasal dari kasus hukum atau korupsi seharusnya tetap dicatat, diaudit, dan dilaporkan secara terbuka hingga penyelesaiannya tuntas.
Publik perlu tahu angka terbaru aset sitaan
Di luar wacana efisiensi, sebenarnya terdapat persoalan akuntansi yang jauh lebih kompleks, yakni penyusutan nilai dan penggelembungan aset BLBI.
Banyak aset hasil sitaan yang nilainya tak lagi relevan dengan kondisi pasar saat ini: tanah yang tergusur, bangunan terbengkalai, hingga perusahaan yang sudah lama berhenti beroperasi.
Dalam laporan keuangan Pemerintah, hal ini menimbulkan dilema antara impairment[9] (penurunan nilai aset) dan overstatement[10] (penggelembungan nilai) terhadap aset sasaran.
Ketiadaan data akurat tentang valuasi terbaru membuat publik sulit menilai sejauh mana kerugian-keuntungan negara sebenarnya.
Di sisi lain, transparansi penilaian aset menjadi kunci untuk memastikan bahwa pemulihan BLBI tidak sekadar administratif, tetapi juga mencerminkan nilai ekonomi riil yang bisa dikembalikan ke kas negara. Oleh karena itu perlu penilaian yang wajar serta pemanfaatan aset kembali untuk kepentingan publik. .
Read more: Fasilitas umum kerap rusak saat demo: Bagaimana taksiran kerugiannya?[11]
Jika negara menghentikan proses ini tanpa mekanisme pelaporan yang kuat, negara berisiko mengalami apa yang disebut sebagai silent asset loss[12] atau kerugian yang terjadi diam-diam tanpa pernah tercatat dalam laporan keuangan.
Sejauh ini, pemerintah hanya melaporkan total target angka Rp110 triliun saja. Padahal untuk aset sebesar dan sebanyak itu, nilainya bisa saja menyusut atau bahkan menggelembung.
Pun dengan pengelolaannya
Aset negara adalah bentuk tanggung jawab sosial pemerintah. Setiap hektare tanah, gedung, atau kas hasil sitaan adalah milik warga negara yang harus dikelola secara adil dan hati-hati.
Itulah sebabnya Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP[13]) menekankan pengakuan aset tetap dan aset lainnya berdasarkan pengendalian dan manfaat ekonomi yang melekat pada pemerintah, bukan sekadar kepemilikan hukum formal.
Apabila status hukum aset BLBI belum jelas, pemerintah tetap wajib mengungkapkan informasi tersebut dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK[14]).
Sistem transparansi ini tidak hanya penting bagi auditor atau lembaga pengawas, tetapi juga bagi publik. Kita berhak mengetahui sejauh mana uang mereka telah kembali.
Lebih dari itu, pengelolaan aset publik menyentuh ranah etika fiskal yakni integritas negara dalam pengelolaan sumber daya rakyat[15]—tolok ukur kedewasaan tata kelola publik.
Solusi agar akuntabilitas terpenuhi tanpa birokrasi berlebihan
Tidak ada yang menolak efisiensi. Namun, efisiensi tanpa transparansi hanya akan mengaburkan tanggung jawab.
Jika Satgas BLBI tetap mau dibubarkan, pemerintah setidaknya perlu membangun mekanisme pelaporan lintas kementerian yang dapat diakses publik.
Publik perlu bisa mengakses dan melacak setiap aset yang sudah diserahkan ke negara, ataupun dalam proses hukum. Informasi ini sepatutnya dilaporkan pemerintah secara berkala dan tersedia dalam portal resmi seperti DJKN[16] Open Asset Dashboard.
Selain itu, pembelajaran dari kasus BLBI perlu dimasukkan dalam kurikulum akuntansi sektor publik di perguruan tinggi.
Mahasiswa dan calon aparatur negara perlu memahami bahwa akuntansi bukan hanya alat pencatatan, tapi juga perangkat menjaga fondasi keadilan fiskal agar masyarakat berani menuntut transparansi dari pemerintah.
Jika pun Satgas BLBI benar-benar dibubarkan, tidak berarti tanggung jawab negara selesai seperti yang dijanjikan Menteri Purbaya[17].
Justru di titik inilah peran akuntansi publik menjadi penting. Tujuannya untuk memastikan bahwa setiap aset negara tercatat, setiap utang obligor terungkap, dan setiap kebijakan fiskal dapat diaudit secara terbuka.
Aset publik bukan warisan birokrasi, melainkan amanah sosial. Menutup lembaga penagih aset boleh jadi langkah efisiensi, tetapi menutup catatan akuntabilitas adalah kesalahan moral dan administratif yang mahal harganya.
Negara yang kuat bukan negara yang cepat menutup buku, melainkan negara yang berani membuka setiap halaman pertanggungjawaban kepada rakyatnya.
References
- ^ membubarkan Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (money.kompas.com)
- ^ efisiensi dan “selesainya tugas” (money.kompas.com)
- ^ duy 86/ (www.shutterstock.com)
- ^ Mantan Menteri Kordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD (www.idncitizen.com)
- ^ perbankan saat krisis 1998 bersumber dari dana rakyat (www.kompas.id)
- ^ hingga akhir 2023 (www.hukumonline.com)
- ^ Rp2 triliun (www.kompas.id)
- ^ akuntansi sektor publik (library.bpk.go.id)
- ^ impairment (web.iaiglobal.or.id)
- ^ overstatement (web.iaiglobal.or.id)
- ^ Fasilitas umum kerap rusak saat demo: Bagaimana taksiran kerugiannya? (theconversation.com)
- ^ silent asset loss (web.iaiglobal.or.id)
- ^ SAP (jdih.kemenkeu.go.id)
- ^ CaLK (jdih.kemenkeu.go.id)
- ^ sumber daya rakyat (www.ksap.org)
- ^ DJKN (www.djkn.kemenkeu.go.id)
- ^ Menteri Purbaya (www.youtube.com)
Authors: Septian Bayu Kristanto, Research associate professor, Center of Tax and Accounting Studies, Universitas Kristen Krida Wacana




