Klaim sukses hilirisasi nikel berbasis larangan ekspor masih memiliki segudang masalah
- Written by Krisna Gupta, PhD Student at The Australian National University, Australian National University

Pemerintah mengklaim[1] bahwa program larangan ekspor nikel mentah, yang mulai berlaku sejak Januari 2021, sukses karena adanya kenaikan investasi pertambangan dan ekspor produk turunan nikel. Akan tetapi, klaim ini masih prematur karena belum adanya transparansi data yang relevan untuk mendukung argumen pemerintah tersebut.
Pemerintah Indonesia telah lama menginginkan nilai tambah domestik yang tinggi melalui hilirisasi produk pertambangan, terutama nikel.
Nikel merupakan komponen dominan dalam baterai listrik. Saat ini, baterai menjadi barang yang semakin penting dengan munculnya beragam perangkat gawai hingga mobil listrik, yang memerlukan peranti penyimpanan energi ini.
Sebagai produsen dan pemilik cadangan bijih nikel[2] terbesar di dunia, Indonesia memiliki peran penting dalam perdagangan nikel. Indonesia memproduksi 1 juta metrik tons nikel[3], atau 37% dari total produksi nikel dunia yang berkisar di angka 2.7 metrik tons
Untuk memanfaatkan keuntungan ini, pemerintah melakukan larangan ekspor barang mentah demi memberi nilai tambah pada produk nikel domestik.
Pada umumnya, ekonom tidak menganjurkan intervensi pasar seperti larangan ekspor karena berpotensi mengurangi efisiensi ekonomi. Selain itu, larangan ekspor nikel mengganggu pasokan nikel global dan dapat menimbulkan konflik dagang. Akibat larangan ekspor nikel, Uni Eropa melayangkan gugatan[4] terhadap kebijakan Indonesia ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Indonesia kini tengah menghadapi gugatan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, betulkah kebijakan larangan ekspor berdampak positif pada perkembangan hilirisasi produk nikel?
Larangan tambang: melonjaknya investasi dan ekspor barang turunan
Proses pelaksanaan kebijakan larangan ekspor ini tidak bisa dibilang berjalan mulus.
Pemerintah sebenarnya telah melarang ekspor hasil tambang pada tahun 2014[5]. Namun, pemerintah mencabut larangan ini pada tahun 2017 karena penurunan produksi nikel, lambatnya pembangunan smelter, dan defisit neraca perdagangan.
Dengan beroperasinya sejumlah smelter di tanah air, pemerintah kembali melarang ekspor mineral khusus untuk bijih nikel kadar rendah[6] pada tahun 2020.
Pemerintah mengklaim bahwa pelarangan ekspor bijih nikel sukses meningkatkan investasi di industri logam dasar[7], terutama pada smelter nikel[8].
Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal[9] (BPKM) mengonfirmasi hal ini (lihat gambar).