Riset: Konten cek fakta di Indonesia perlu lebih banyak elemen visual
- Written by F.X. Lilik Dwi Mardjianto, PhD Candidate at the News and Media Research Centre, University of Canberra. Researcher in journalism, Universitas Multimedia Nusantara
Masalah misinformasi di Indonesia telah menyebar luas di masyarakat, bahkan berdampak[1] pada isu-isu bidang politik, agama, dan kesehatan. Apalagi, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 semakin dekat.
Insan pers dan organisasi masyarakat sipil kemudian menginisiasi gerakan pengecekan fakta secara digital sebagai upaya untuk memberantas misinformasi[2]. Dua organisasi yang pertama kali mewujudkan inisiatif ini adalah Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang bekerja sama dengan Google News Initiative.
Ketiganya meluncurkan cekfakta.com[3], sebuah platform berbasis web yang memfasilitasi kolabotasi antara 25 institusi pers Indonesia untuk berbagi hasil pengecekan fakta. Cara kerjanya adalah dengan mempublikasikan konten untuk melacak dan mengoreksi konten lainnya yang diduga mengandung misinformasi.
Pers Indonesia telah membangun jaringan secara lokal dan internasional untuk meningkatkan kemampuan pengecekan fakta melalui komunitas ini.
Salah satu inspirasi[4] di balik gerakan cek fakta ini adalah Google News Initiative[5]. Organisasi ini menyediakan dana sebesar 33 juta dolar AS (sekitar Rp 492 miliar) untuk mendukung literasi digital dan program pemberantasan misinformasi di Asia Pasifik. Lebih dari 1.000 media dari 32 negara[6], termasuk Indonesia, telah bergabung dalam komunitas tersebut.
Inisiatif cek fakta secara besar-besaran ini menjadi langkah penting untuk melindungi publik dari informasi yang salah.
Namun demikian, riset terbaru[7] kami dari tim peneliti Program Studi Digital Journalism, Universitas Multimedia Nusantara (UMN), menemukan bahwa gerakan cek fakta di Indonesia masih kurang mendapat perhatian publik.
Salah satu penyebabnya adalah karena konten-konten cek fakta masih didominasi oleh elemen tekstual. Elemen visual yang lebih dominan dapat membuat konten cek fakta lebih menarik bagi publik.
Publik ingin lebih banyak tampilan visual
Dengan dukungan dari Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Google News Initiative, kami melakukan penelitian pada tahun 2022 terhadap 1.596 audiens yang mewakili berbagai daerah di Indonesia. Kami bertanya tentang preferensi mereka terhadap format cek fakta yang diproduksi oleh jurnalis Indonesia.
Pada tahap awal penelitian, kami mengidentifikasi tujuh format cek fakta yang diproduksi oleh komunitas cek fakta, yakni:
Kami mengukur preferensi audiens untuk setiap format menggunakan empat variabel, yaitu seberapa familier audiens dengan konten tersebut, seberapa sering mereka melihat konten tersebut, seberapa besar mereka menyukainya, dan seberapa besar kemungkinan mereka akan menggunakannya.
Salah satu hasil yang menarik adalah, meski hampir separuh (49%) responden merasa bahwa cek fakta dalam bentuk teks bermanfaat, mereka sebenarnya kurang menyukainya. Audiens mengaku akan lebih menyukai konten yang dipublikasi dalam bentuk visual, seperti video maupun foto.
Sebanyak 901 responden (60,6%) mengungkapkan mereka “sangat suka” konten cek fakta yang berupa video pendek dan dilengkapi teks, foto, dan musik latar.
Sementara itu, 853 responden (60,8%) menyatakan “sangat suka” bentuk konten cek fakta yang disampaikan melalui siaran langsung di Instagram.
Kedua format cek fakta tersebut – video pendek dengan musik latar dan Instagram live – lebih disukai daripada teks yang panjang. Perbandingan pilihan audiens dapat dilihat pada grafik berikut.





