Bunuh diri remaja bukti kegagalan sistem pendidikan, politik, dan lingkungan sosial
- Written by Ari Ganjar Herdiansah, Lecturer in Political Sociology, Universitas Padjadjaran
PERINGATAN: Artikel ini memuat konten yang berkaitan dengan bunuh diri, melukai diri sendiri, dan kekerasan terhadap orang lain.
● Penyebab bunuh diri remaja sering kali dianggap akibat penggunaan media sosial.
● Faktor pendorong bunuh diri justru bisa dari keluarga, budaya, lingkungan sosial, dan sistem politik.
● Sekolah perlu meningkatkan empati guru, bukan hanya kemampuan mengajar.
Fenomena bunuh diri di kalangan anak dan remaja di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 25 anak bunuh diri sepanjang Januari-Oktober 2025[1].
Pada 2024, jumlahnya bahkan mencapai 43 kasus. Tragedi ini menyesakkan dada karena di balik setiap angka, ada anak dan remaja yang kesulitan untuk menjelaskan kesedihannya.
Read more: Bahaya ide bunuh diri pada remaja bila terlambat ditangani[2]
Sayangnya, masyarakat umumnya cenderung mengaitkan fenomena bunuh diri remaja dengan paparan media sosial yang berdampak pada psikologis personal mereka.
Padahal, bunuh diri remaja bukan semata-mata akibat kerentanan psikologis personal, tetapi juga bisa akibat interaksi kompleks antara faktor individual, keluarga, budaya, dan sosial.
Dunia yang tak mau mendengar
Banyak asumsi yang menyebut bahwa remaja yang lahir di era digital lebih rentan bunuh diri karena banyak mengonsumsi konten seputar persona ideal dan capaian-capaian gemilang. Ketidakmampuan memenuhi ekspektasi tersebut diyakini menimbulkan kekecewaan dan rasa cemas, yang akhirnya menuntun tindakan bunuh diri.
Namun, asumsi tersebut dibantah oleh sebuah studi meta-analisis psikologi[3] lintas negara, yang menyatakan bahwa tidak ada kaitan langsung antara konsumsi media sosial dengan tindakan bunuh diri remaja.
Jika merujuk pada sudut pandang psikologi[5], keputusan bunuh diri lahir dari kehadiran stimultan dua konstruksi interpersonal, yakni rasa tidak diterima dan perasaan menjadi beban, serta keputusasaan atas keadaan tersebut.
Tekanan tersebut bisa berasal dari interaksi kompleks[6] antara faktor individual, keluarga, budaya, dan lingkungan sosialnya[7].
Kegagalan sistem sosial politik
Banyak remaja yang juga kerap menjadi the forgotten citizens (masyarakat yang terlupakan).
Dalam konteks ini, remaja dapat dianggap sebagai kalangan quasi-subaltern[8], yakni kelompok yang terpinggirkan dari kelompok yang dominan dalam masyarakat dan negara berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik[9]. Biasanya, kalangan ini eksistensinya tidak tampak dalam perhatian publik.
Read more: Data Bicara: Meski sepertiga remaja punya masalah kesehatan mental, hanya 4,3% orang tua mendeteksi anak mereka butuh bantuan[10]
Ketika mereka luput dari perhatian publik, mereka tidak bisa mengartikulasikan penderitaannya. Situasinya makin berbahaya ketika mereka sedang dalam keadaan depresi berat.
Contohnya, guru di sekolah sering kali menunggu konfirmasi cerita bullying dari korban, dan tidak peka bahwa aduan itu sebenarnya jeritan minta tolong. Pun setelah ada aduan, kerap kali respons pihak sekolah cenderung lambat, bahkan abai.
Remaja tersebut jadi merasa makin tak didengar dan dilupakan, sehingga hanya memperdalam luka mereka.
Contoh ini memperlihatkan bagaimana institusi pendidikan belum menjadi tempat perlindungan yang aman. Sistem pendidikan kita tampak tertib dan birokratis, tetapi sering kehilangan sensitivitas dan empati.
Read more: 6 strategi untuk menjaga kesehatan mental remaja perempuan menurut penelitian[12]
Lebih parah lagi, jika siswa mengadu terkait kondisi mental mereka, tak jarang mereka menghadapi stigma[13], seperti kurang pemahaman agama[14]. Kondisi lingkungan keluarga mereka juga tak jarang meremehkan kondisi mental tersebut, menganggapnya hanya akibat stres karena beban belajar[15] dan kurang bergaul.
Pengalaman subjektif yang dialami remaja itu nyaris hilang–atau dihilangkan.
Sementara itu, dalam skala yang lebih luas, para pejabat sibuk berbicara tentang “generasi emas 2045[16]” tanpa memberi ruang yang cukup bagi remaja untuk berbicara mengenai masa depannya sendiri.
Pada masa pemilu, para kontestan politik menempatkan pemilih remaja sebagai objek kampanye[17]. Mereka melihat remaja hanya sebatas segmen pemilih untuk kalkulasi pemenangan pemilu. Topik tentang permasalahan kerentanan remaja[18] nyaris absen dalam perbincangan politik.
Mendengar sebelum terlambat
Dalam masyarakat yang sibuk, tetapi miskin kedalaman emosional, bunuh diri bisa jadi merupakan bentuk protes paling sunyi. Tindakan yang tragis itu menggambarkan betapa dalamnya krisis empati masyarakat.
Kita menciptakan sistem sosial yang menuntut remaja untuk kuat, tetapi tidak menyediakan tempat[20] ketika mereka lemah. Kita menuntut mereka berprestasi, tetapi lupa mengajarkan cara menghadapi kegagalan.
Karena itu, langkah krusial untuk mencegah tragedi serupa adalah meningkatkan sensitivitas masyarakat kita atas kerentanan remaja. Kita perlu lebih dekat untuk mendengarkan mereka, tanpa menghakimi.
Keluarga, bagaimanapun kesibukannya, harus memberikan perhatian, belajar memahami dan membuka hati. Akan lebih baik jika orang tua memiliki pemahaman dasar konseling remaja.
Read more: Bagaimana orang tua bisa berperan penting dalam pencegahan dan pengobatan masalah kesehatan mental remaja[21]
Sekolah perlu meningkatkan empati guru, bukan hanya kemampuan mengajar. Negara wajib memastikan setiap sekolah memiliki konselor terlatih dan hotline konseling yang lebih tersosialisasikan kepada masyarakat.
Kita tidak boleh membiarkan tindakan-tindakan bunuh diri di kalangan remaja ini terulang lagi. Publik harus bersama-sama menciptakan kondisi sekolah, keluarga, dan negara yang mampu “mendengar” permasalahan remaja rentan dan menjadikan mereka sebagai warga yang berhak hidup bahagia dengan penuh harapan.
Untuk mewujudkan ini semua, sokongan dari sistem sosial politik sangat penting.
Jika artikel ini membuatmu khawatir, atau jika kamu khawatir tentang seseorang yang kamu kenal, bicarakanlah dengan orang yang kamu percaya atau profesional kesehatan.
References
- ^ 25 anak bunuh diri sepanjang Januari-Oktober 2025 (www.cnnindonesia.com)
- ^ Bahaya ide bunuh diri pada remaja bila terlambat ditangani (theconversation.com)
- ^ studi meta-analisis psikologi (psycnet.apa.org)
- ^ aboe_banjarmasin/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ sudut pandang psikologi (psycnet.apa.org)
- ^ Tekanan tersebut bisa berasal dari interaksi kompleks (journals.sagepub.com)
- ^ individual, keluarga, budaya, dan lingkungan sosialnya (www.researchgate.net)
- ^ quasi-subaltern (users.uoa.gr)
- ^ berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik (etd.repository.ugm.ac.id)
- ^ Data Bicara: Meski sepertiga remaja punya masalah kesehatan mental, hanya 4,3% orang tua mendeteksi anak mereka butuh bantuan (theconversation.com)
- ^ ParaGreat/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ 6 strategi untuk menjaga kesehatan mental remaja perempuan menurut penelitian (theconversation.com)
- ^ stigma (www.mdpi.com)
- ^ kurang pemahaman agama (www.sciencedirect.com)
- ^ stres karena beban belajar (brin.go.id)
- ^ generasi emas 2045 (kemenkopmk.go.id)
- ^ pemilih remaja sebagai objek kampanye (dinastires.org)
- ^ permasalahan kerentanan remaja (www.bbc.com)
- ^ shisu_ka/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ tidak menyediakan tempat (www.researchgate.net)
- ^ Bagaimana orang tua bisa berperan penting dalam pencegahan dan pengobatan masalah kesehatan mental remaja (theconversation.com)
Authors: Ari Ganjar Herdiansah, Lecturer in Political Sociology, Universitas Padjadjaran





