Cek Fakta: benarkah oposisi sudah tidak lagi dibutuhkan dalam pemerintahan?
- Written by Nurul Fitri Ramadhani, Politics + Society Editor, The Conversation Indonesia
Situs resmi MPR RIA[2]“Dan enggak dibutuhkan lagi oposisi. Saya mendukung Pak Prabowo merangkul semua parpol untuk bersatu membangun bangsa ini ke depan. Lebih gampang (check and balance) justru. Karena kan kalau oposisi bicara pride. Kadang lari dari substansi, tapi kalau satu koalisi bisa bicara dari hati ke hati dan lebih baik untuk masyarakat.”
- Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, menyampaikannya[1] usai menghadiri acara open house di rumah dinas Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto di Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, pada 11 April 2024.
Menjelang putusan akhir Mahkamah Konstitusi (MK) pada 22 April lalu tentang sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Bambang menyinggung tentang rekonsiliasi politik. Menurutnya, yang dibutuhkan dalam pemerintahan baru adalah demokrasi gotong-royong, sehingga oposisi tidak lagi dibutuhkan. Presiden terpilih Prabowo Subianto, menurut Bambang, perlu merangkul semua partai politik untuk masuk ke dalam pemerintahan.
The Conversation Indonesia menghubungi Yohanes Sulaiman, dosen ilmu pemerintahan dari Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi, Jawa Barat, untuk memeriksa klaim Bambang tersebut.
Pernyataan Bambang salah besar, oposisi sangat dibutuhkan
Menurut Yohanes, pernyataan Bambang bahwa oposisi tidak lagi dibutuhkan jelas salah. Secara logika, kalau tidak ada oposisi dan semua partai politik ada dalam pemerintahan, tidak akan ada yang berani mengkritik pemerintah[3], karena mereka akan takut dikeluarkan dari koalisi.
Padahal, kritik dari oposisi[4] dapat memberikan pandangan alternatif terhadap kebijakan pemerintah yang kiranya bermasalah.
Jika suatu negara demokrasi seperti Indonesia tidak memiliki kekuatan oposisi, risikonya adalah akan lahir kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat, melainkan hanya melayani kepentingan penguasa. Selain itu, absennya kubu oposisi akan membuat praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) semakin tidak terkontrol.
Apa gunanya partai politik jika semua masuk kubu pemerintah?
Yohanes menambahkan, saat ini, partai politik yang berada di luar pemerintah hanyalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Selama beberapa tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, kita bisa lihat bagaimana partai-partai koalisi pemerintah justru mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontroversial[5], seperti Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
Sementara itu, partai oposisi yang jumlah kursinya saja tidak mayoritas di parlemen tidak punya cukup kekuatan[6] untuk menentang atau melawannya.
Pihak yang berteriak dan mengkritik justru adalah publik. Jadi, apa gunanya partai politik kalau semua tidak ada yang berani mengkritik pemerintah dan hanya mementingkan posisi dalam kabinet?
Pada periode pemerintahan berikutnya, kemungkinan besar hanya PKS dan PDI-P yang akan menjadi oposisi. Ini saja sebetulnya tidak cukup secara kekuatan di parlemen. Idealnya, kubu pemerintah jangan sampai menguasai kursi mayoritas 67%, karena jika mencapai persentase tersebut, UU dan aturan bermasalah bisa mudah digolkan tanpa mempedulikan suara oposisi.
Yohanes menegaskan, tanpa adanya oposisi, tidak akan ada check and balance[7] dalam tata kelola pemerintahan. Pemerintah akan menjadi korup, otoriter, dan sewenang-wenang, dan demokrasi hanya akan jadi formalitas ala Orde Baru.
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
References
- ^ menyampaikannya (nasional.kompas.com)
- ^ Situs resmi MPR RIA (www.mpr.go.id)
- ^ tidak akan ada yang berani mengkritik pemerintah (journal.uinmataram.ac.id)
- ^ kritik dari oposisi (jmi.ipsk.lipi.go.id)
- ^ mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontroversial (ujh.unja.ac.id)
- ^ tidak punya cukup kekuatan (www.academia.edu)
- ^ tidak akan ada check and balance (ojs.unsiq.ac.id)
Authors: Nurul Fitri Ramadhani, Politics + Society Editor, The Conversation Indonesia