Di bawah standar WHO: 3 alasan anggaran kesehatan harus ditingkatkan di era Prabowo
- Written by Ronald Eberhard Tundang, Ph.D. Candidate, Chinese University of Hong Kong
Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi telah mulai bekerja sejak 20 Oktober 2024.
Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabowo[1] yang memuat isu-isu penting hasil pemetaan kami bersama TCID Author Network. Edisi ini turut mengevaluasi 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, sekaligus menjadi bekal Prabowo-Gibran selama menjalankan tugasnya.
Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan era Prabowo Subianto memiliki PR besar untuk melanjutkan perbaikan sektor kesehatan nasional yang masih tertinggal, termasuk soal alokasi anggaran kesehatan.
Menurut laporan Bank Dunia, anggaran kesehatan Indonesia pada tahun 2021 hanya sekitar 3,71% dari produk domestik bruto (PDB)[2]. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Vietnam dan Malaysia yang mengalokasikan anggaran lebih dari 4% PDB[3], ataupun Singapura dan Cina yang mengalokasikan lebih dari 5% PDB[4].
Pengeluaran kesehatan Indonesia juga belum sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5% PDB[5], yang menjadi standar untuk pemenuhan layanan kesehatan yang adil dan terjangkau, serta dapat diakses semua lapisan masyarakat (universal health coverage)[6].
Pentingnya meningkatkan anggaran kesehatan
Rendahnya anggaran kesehatan Indonesia diperparah dengan hilangnya kewajiban belanja minimal (mandatory spending) pada UU Kesehatan baru[7].
Anggaran kesehatan yang rendah dapat berdampak langsung pada kualitas layanan maupun akses fasilitas kesehatan, terutama di daerah terpencil, berikut penjelasannya:
1. Perburuk ketimpangan akses layanan kesehatan
Terdapat kesenjangan yang besar[8] antara layanan kesehatan di perkotaan, khususnya Pulau Jawa dengan daerah terpencil. Berbeda dengan masyarakat perkotaan, warga di daerah terpencil kesulitan mengakses layanan kesehatan berkualitas karena masalah menahun, berupa kurangnya tenaga medis[9], fasilitas kesehatan, dan obat-obatan.
Dalam konteks tenaga medis misalnya, jumlah dan distribusi dokter di Indonesia belum memadai. Rasio dokter di Indonesia saat ini sekitar 0,47 per 1.000 penduduk. Rasio ini jauh di bawah standar WHO[10], yang menetapkan 1 dokter untuk menangani 1.000 penduduk.
Ketimpangan distribusi dokter[11] juga sangat mencolok. Jumlah dokter di daerah terpencil[12], seperti Gorontalo dan Papua, lebih sedikit dibandingkan dengan daerah-daerah di Pulau Jawa, seperti Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Read more:
Menelisik solusi di balik peliknya pemerataan distribusi dokter di Indonesia[13]
Salah satu penyebab utama kurangnya jumlah dan distribusi dokter di Indonesia, yaitu sistem pendidikan dokter yang belum optimal[14].
Kurangnya jumlah lulusan dokter
Jumlah lulusan dokter di Indonesia saat ini tidak cukup memenuhi kebutuhan populasi yang terus bertambah. Berdasarkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), rata-rata lulusan dokter setiap tahunnya hanya mencapai 12.000 orang[15] dari 117 fakultas kedokteran di Indonesia.
Sementara itu, Indonesia saat ini masih membutuhkan tambahan sekitar 110 ribu dokter[16] untuk bisa menangani 280 juta orang penduduk[17].
Minimnya fasilitas dan insentif di daerah terpencil
Meskipun terdapat program magang di daerah-daerah terpencil, banyak lulusan dokter yang tidak bertahan lama setelah masa magangnya selesai. Pasalnya, insentif yang ditawarkan, baik dari segi finasial maupun fasilitas kerja, tidak cukup menarik bagi dokter untuk menetap di daerah terpencil dalam jangka panjang.
Akibatnya, banyak dokter memilih kembali ke kota besar setelah magang sehingga kian memperburuk ketimpangan distribusi dokter di Indonesia.





