‘Slow fashion’: Cara tampil gaya tapi tetap bertanggung jawab
- Written by Angga Ariestya, PhD Candidate at ICSJ Charles University | Lecturer, Universitas Multimedia Nusantara

● Tren fast fashion meningkatkan limbah tekstil dan emisi karbon
● Gerakan slow fashion menghadapi tantangan harga, mode, dan kesadaran publik akan fesyen berkelanjutan
● Instagram bisa menjadi sarana ampuh memperkenalkan fesyen berkelanjutan
Mengikuti tren fesyen kini makin mudah dengan kehadiran platform daring: sekali klik, pakaian baru masuk keranjang dan bisa langsung check out. Ada tren baru dengan diskon mantap? Tinggal beli lagi. Tanpa disadari, pakaian pun menumpuk di lemari, padahal jarang dipakai.
Fast fashion, berkembang pesat lewat pengaruh media sosial dan influencer, membuat pakaian trendy dengan harga murah kian menjamur dan menarik minat masyarakat untuk berbelanja, tampil gaya, dan selalu mengikuti mode terbaru. Namun, kebiasaan ini membuat banyak anak muda terjebak dalam siklus pembelian impulsif yang tak hanya boros, tetapi juga menyumbang emisi[1] dan permasalahan lingkungan[2].
Fenomena ini memunculkan gerakan slow fashion[3] yang mengajak kita lebih sadar, selektif, dan bertanggung jawab dalam belanja fesyen.
Dari mana asal-muasal emisi pakaian?
Emisi pakaian berasal dari proses produksi dan juga limbah setelah konsumsi. Proses produksi pakaian seperti pewarnaan dan pemintalan kain butuh energi besar dan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang besar pula. Produksi 1 kilogram [4] kain, misalnya, bisa menghasilkan antara 20-23 kg gas rumah kaca.
Setelah pakaian digunakan, masalah masih berlanjut. Sekitar 73% tekstil berujung sebagai limbah, dan hanya kurang dari 1% yang didaur ulang[5]. Pembakaran pakaian bekas melepaskan zat kimia berbahaya dan mikroplastik ke udara, menghasilkan lebih banyak emisi gas rumah kaca dan memperburuk kualitas lingkungan.
Secara global, industri fesyen menyumbang 92 juta ton[6] sampah pakaian yang menumpuk di tempat pembuangan akhir setiap tahunnya. Di Indonesia, limbah tekstil diperkirakan mencapai 2,3 juta ton per tahun[7], dan diprediksi akan naik hingga 70% jika tidak ada intervensi apapun.
Slow fashion sebagai solusi
Slow fashion[8] mendorong konsumen agar lebih bijaksana dalam mengonsumsi pakaian dengan pergeseran pola pikir dari kuantitas ke kualitas, sehingga umur pakaian lebih panjang dan berkualitas tinggi. Dengan begitu, konsumen tidak perlu sering-sering membeli pakaian.
Di ranah etis[9], gerakan ini menantang industri fast fashion yang sering kali mengabaikan permasalahan tenaga kerja, seperti peristiwa runtuhnya Rana Plaza yang menewaskan ribuan pekerja garmen[10] di Bangladesh pada 2013 lalu.
Slow fashion fokus pada penghormatan dan pemberian kompensasi yang adil. Komoditas produksinya[11] juga dimaksimalkan berbasis kerajinan produk yang dibuat oleh pekerja berketerampilan tinggi dan sumber lokal.
Masalahnya, riset[12] yang saya lakukan bersama tim menunjukkan ada banyak tantangan dan butuh kerja ekstra untuk membuat tren ini menjadi gaya hidup masyarakat.
Berikut adalah beberapa tantangan sekaligus solusi untuk perkembangan slow fashion:
1. Fesyen berkelanjutan masih mahal
Dari sudut pandang konsumen, harga dan tren adalah daya tawar utama. Fast fashion menawarkan perkembangan pakaian terkini dengan harga terjangkau, sementara pakaian ramah lingkungan harganya cenderung lebih mahal[13].
Misalnya, harga kaos berbahan 100% serat TENCEL™[14] Lyocell, yang mengklaim sebagai lini pakaian berkelanjutan adalah US$85,5 atau Rp1,2 juta. Sementara konsumen bisa membeli baju serupa dari ritel fast fashion dengan harga Rp200 ribu–Rp300 ribu.
Rantai produksi mereka mungkin bisa menjelaskan mengapa pakaian tersebut wajar di banderol dengan harga tinggi. Namun, konsumen secara umum tidak melihat pentingnya sistem penghargaan ini–mereka hanya merogoh kocek dan menemukan isi kantong tidak cukup membelinya. Adapun konsumen generasi muda, meski lebih sadar lingkungan, daya beli mereka masih rendah.
Urusan ‘kantong pembeli’ ini menjadi hambatan utama yang membatasi keberlanjutan dan perilaku pro lingkungan. Harga yang tinggi menjadikan fesyen berkelanjutan tidak inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, pelaku bisnis fesyen harus mencari keseimbangan antara ongkos produksi dan harga jual.
References
- ^ emisi (unfccc.int)
- ^ permasalahan lingkungan (www.mdpi.com)
- ^ slow fashion (www.researchgate.net)
- ^ Produksi 1 kilogram (www.economist.com)
- ^ hanya kurang dari 1% yang didaur ulang (www.science.org)
- ^ 92 juta ton (mediaindonesia.com)
- ^ 2,3 juta ton per tahun (lestari.kompas.com)
- ^ Slow fashion (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ etis (www.researchgate.net)
- ^ runtuhnya Rana Plaza yang menewaskan ribuan pekerja garmen (www.dw.com)
- ^ Komoditas produksinya (files.eric.ed.gov)
- ^ riset (www.researchgate.net)
- ^ lebih mahal (journals.sagepub.com)
- ^ TENCEL™ (www.tencel.com)
- ^ Tinkerlust Impact Report 2022 (www.tinkerlust.com)
- ^ kurang modis (www.mdpi.com)
- ^ Riset kami (www.researchgate.net)
- ^ Digital Report 2023 (datareportal.com)
- ^ @setali.indonesia (www.instagram.com)
- ^ studi (www.researchgate.net)
- ^ Berbagai merek populer (ww.fashionnetwork.com)
Authors: Angga Ariestya, PhD Candidate at ICSJ Charles University | Lecturer, Universitas Multimedia Nusantara
Read more https://theconversation.com/slow-fashion-cara-tampil-gaya-tapi-tetap-bertanggung-jawab-251629