Program imbalan untuk melepas hiu dan pari: Antara risiko dan harapan untuk konservasi
- Written by Hollie Booth, Research Associate, Conservation Science, University of Oxford

Hiu dan pari termasuk dalam beberapa spesies paling terancam di dunia, terutama karena overfishing[1] atau penangkapan berlebihan.
Kadang-kadang mereka diburu untuk diambil sirip dan dagingnya, tapi mereka lebih sering tertangkap secara tidak sengaja saat nelayan menjaring ikan lain.
Jika terus ditangkap, populasi predator laut ini bisa menurun dan hal ini akan mengganggu[2] rantai makanan di ekosistem laut, mengancam[3] pendapatan di sektor wisata, serta memperburuk[4] kondisi krisis iklim akibat melemahnya ketahanan ekosistem laut.
Tapi, menghentikan penangkapan hiu dan pari yang berlebihan ini tidak mudah karena dinamika sosial di baliknya sangat rumit[5].
Banyak hiu dan pari tertangkap dalam penjaringan skala kecil oleh nelayan di daerah pesisir, di mana mereka bergantung pada hasil tangkapan ikan—termasuk hiu dan pari yang terancam punah—untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Saya tergabung dalam tim peneliti global lintas disiplin yang berfokus pada konservasi hiu dan pari di perikanan skala kecil di Indonesia. Selama lima tahun terakhir, saya memikirkan cara untuk tetap menjaga kelestarian kehidupan laut sembari tetap mendukung kehidupan masyarakat pesisir yang bergantung pada hasil laut.
Studi baru[6] kami yang baru saja diterbitkan di jurnal Science Advances menunjukkan bahwa memberi imbalan kepada nelayan untuk melepas kembali spesies-spesies ikan yang terancam punah bisa menjadi semacam insentif untuk mendorong perilaku konservasi sekaligus meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Namun, pemberian insentif juga menimbulkan konsekuensi tak terduga, yang justru merusak tujuan konservasi itu sendiri. Karena itu, penting sekali untuk berhati-hati dalam merancang program ini dan melakukan evaluasi ketat seiring dengan berjalannya program.
Meskipun hiu dan pari bukan target utama nelayan skala kecil, spesies terancam seperti ikan baji atau ikan bersirip pari laut (wedgefish) dan hiu martil (hammerhead) sering kali ikut tertangkap.
Dalam studi kami tahun 2020[7] silam, para nelayan memberitahu bahwa ikan baji dan hiu kepala martil hanya “tangkapan sampingan” alias tak sengaja tertangkap saat mereka menjaring ikan lain.
Namun, penelitian lebih lanjut mengungkap bahwa nelayan tetap enggan untuk melepaskan spesies tersebut karena itu sama saja dengan kehilangan sumber pangan and pendapatan[8] mereka.
“Ikan itu memberi kami lebih banyak uang, meskipun mereka bukan target kami,” kata seorang nelayan.
“Itu rezeki.” “Kalau saya kembalikan ke laut, namanya mubazir,” tambahnya.
Mengetahui hal ini, kami mengeksplorasi berbagai insentif positif dan negatif yang mungkin bisa mendorong para nelayan mengubah perilaku mereka[9].
Kami menemukan bahwa imbalan tunai bersyarat—kompensasi bagi nelayan yang berhasil melepas kembali ikan baji dan hiu kepala martil dengan selamat—bisa menjadi sebuah cara efektif[10] untuk melindungi spesies ini tanpa merusak mata pencaharian nelayan.
Saya kemudian bekerja sama dengan sejumlah mahasiswa dan kolaborator untuk mendirikan organisasi filantropi lokal kecil-kecilan untuk membantu menjalankan inisiatif kami, yakni Kebersamaan Untuk Lautan[11].
Kami sepakat untuk memberikan kompensasi tunai kepada nelayan—biasanya sebesar US$2–7 (sekitar Rp30.000–Rp100.000) per ekor—jika mereka bisa mengirimkan bukti video[12] pelepasan ikan baji dan hiu kepala martil dengan aman.
Seiring dengan berjalannya program, kami menemukan insentif ternyata juga bisa memicu berbagai trik penangkapan ikan.
Contohnya, para nelayan bisa meningkatkan tangkapan mereka untuk mendapatkan lebih banyak kompensasi dan membeli lebih banyak jaring-jaring baru untuk menangkap ikan, yang pada akhirnya justru merusak tujuan konservasi itu sendiri. Kompensasi juga mungkin jatuh kepada nelayan yang memang sudah berniat melepas ikan.
Nah, untuk menguji apakah insentif konservasi ini benar-benar efektif, kami melakukan eksperimen terencana[13].
Kami membagi secara acak 87 kapal nelayan dari Aceh dan Nusa Tenggara Barat menjadi dua kelompok: satu kelompok kami tawarkan kompensasi untuk melepaskan spesies ikan tersebut hidup-hidup, sementara kelompok lain tidak.
Kami membandingkan data dua kelompok tersebut serta melakukan survei tingkat kepuasan nelayan terhadap program dan kehidupan secara umum.
Sejak program “imbalan untuk melepas” diluncurkan pada Mei 2022, lebih dari 1.200 ekor ikan baji dan hiu martil telah berhasil dilepas kembali ke laut dengan selamat. Semua nelayan yang mengikuti program ini beserta keluarganya juga merasa puas.
“Kami gunakan uang kompensasi itu untuk kebutuhan sehari-hari. Kami berharap program ini terus berlanjut,” kata istri salah satu nelayan yang mengikuti program.
Hollie Booth berkolaborasi dengan para nelayan di Indonesia untuk mengurangi tangkapan sampingan hiu. Film oleh Liam Webb.Namun, data eksperimen kami[14] dari 16 bulan pertama program ini (Mei 2022 – Juli 2023) juga mengungkapkan fakta miris: meskipun kompensasi mendorong lebih banyak pelepasan ikan, sebagian nelayan justru sengaja meningkatkan jumlah tangkapan mereka demi mendapatkan lebih banyak imbalan.
Awalnya, saya dan tim merasa cukup terpukul dengan temuan ini. Tapi, tanpa eksperimen tersebut, kami mungkin tidak akan pernah menyadari konsekuensi tak terduga ini.
Belajar dari temuan ini, kami memperbaiki skema kompensasi, mengatur ulang duit imbalan, dan membatasi jumlah pelepasan yang bisa diklaim setiap kapal dalam seminggu.
Kami juga mulai menguji program tukar alat tangkap, di mana nelayan menukar jaring mereka dengan perangkap ikan yang memiliki tingkat tangkapan sampingan jauh lebih rendah.
Data awal menunjukkan perubahan ini meningkatkan efektivitas program secara signifikan.
Tim kami di Oxford, Inggris, juga bekerja erat dengan para peneliti lokal dan organisasi konservasi lain untuk membantu mereka merancang dan mengevaluasi program insentif berbasis lokal yang sesuai dengan kondisi masing-masing.
Studi terbaru dari organisasi konservasi Thresher Shark Indonesia[15] misalnya, menunjukkan bahwa program mata pencaharian alternatif berhasil mengurangi tangkapan hiu perontok (thresher shark) hingga lebih dari 90%[16].
Insentif positif seperti ini adalah instrumen penting untuk menyelesaikan krisis keanekaragaman hayati dengan cara yang adil.
Rasanya tidak adil jika kita menuntut industri perikanan skala kecil di negara berkembang yang menanggung beban konservasi, sementara perusahaan perikanan komersial yang besar justru menghasilkan lebih banyak ‘cuan’ sambil menyebabkan kerusakan dari penangkapan berlebih[17].
Namun demikian, insentif konservasi tentu saja harus dirancang dengan baik dan dievaluasi secara ketat untuk memastikan insentif ini mendorong tindakan yang tepat dan menghasilkan dampak yang diinginkan.
References
- ^ overfishing (www.sciencedirect.com)
- ^ mengganggu (www.frontiersin.org)
- ^ mengancam (www.frontiersin.org)
- ^ memperburuk (doi.org)
- ^ sangat rumit (www.sciencedirect.com)
- ^ Studi baru (www.science.org)
- ^ 2020 (besjournals.onlinelibrary.wiley.com)
- ^ sumber pangan and pendapatan (besjournals.onlinelibrary.wiley.com)
- ^ para nelayan mengubah perilaku mereka (www.sciencedirect.com)
- ^ cara efektif (www.sciencedirect.com)
- ^ Kebersamaan Untuk Lautan (kebersamaan-lautan.org)
- ^ bukti video (www.instagram.com)
- ^ eksperimen terencana (www.science.org)
- ^ data eksperimen kami (www.science.org)
- ^ Thresher Shark Indonesia (threshershark.id)
- ^ lebih dari 90% (www.cambridge.org)
- ^ kerusakan dari penangkapan berlebih (theconversation.com)
Authors: Hollie Booth, Research Associate, Conservation Science, University of Oxford