5 tip memilih buku ‘self-help’ agar benar-benar berdampak buat kita
- Written by Joanna Pozzulo, Chancellor's Professor, Psychology, Carleton University

Industri kesehatan merupakan salah satu industri dengan pertumbuhan pasar tercepat, dengan estimasi nilai global mencapai US$6,3 triliun[1] (sekitar Rp1,059 kuadriliun) di tahun 2023.
Gen Z dan Milenial menjadi penyumbang besar atas pertumbuhan tersebut. Sebab, mereka menghabiskan lebih banyak uang untuk produk dan layanan kesehatan dibanding generasi seniornya[2].
Namun, yang menjadi tantangan untuk industri kesehatan adalah minimnya batasan jelas. Akibatnya, influencer media sosial bisa dengan mudah menjelma menjadi ahli kesehatan atau kesejahteraan mental (well-being) yang tak jarang menyebarkan informasi tanpa dasar ilmiah.
Apalagi, era sekarang begitu memudahkan penyebaran opini pribadi dan strategi yang belum teruji dan menempatkanya seperti sebuah fakta. Fenomena ini menyulitkan kita membedakan antara arahan bermanfaat dengan informasi menyesatkan.
Buku-buku self-help dan biblioterapi
Salah satu metode menolong diri sendiri (self-help) adalah bibliotherapy[3] yaitu menggunakan buku untuk mendukung kesejahteraan mental kita. Jika kita ingin meningkatkan well-being, kemungkinan besar kita akan mulai mencari buku self-help untuk dibaca.
Buku jenis self-help menjadi penyumbang terbesar kategori nonfiksi[4]. Namun, sebenarnya tidak semua buku self-help memaparkan strategi yang terbukti efektif.
Di Amerika Serikat, ada 15 ribu buku self-help yang terbit[5] setiap tahun. Di antara banyaknya buku self-help tersebut, tentu sulit memeriksa kontennya satu per satu.
Sebagai seorang profesor psikologi dan pendiri klub buku[6] terkait kesejahteraan dan peningkatan diri (self-improvement) yang berbasis bukti (evidence-based), saya dapat membedakan buku self-help yang didasarkan pada penelitian dengan buku yang hanya berisi opini pribadi atau tren kesehatan tertentu.
5 tips memilih buku self-help
Berikut lima tips untuk memilih buku self-help yang bisa dipercaya dan mengandung bukti jelas.
1. Perhatikan latar belakang penulis
Periksa terlebih dahulu latar belakang seorang penulis sebelum menyimpulkan bahwa buku yang mereka tulis adalah buku berbasis bukti. Ingatlah bahwa menulis sebuah buku tidak membuktikan bahwa penulis tersebut merupakan seorang ahli.
Beberapa buku self-help didasari oleh pengalaman pribadi, bukan penelitian ilmiah. Pengalaman personal bisa membantu, tetapi strategi dari pengalaman tersebut belum diuji secara ilmiah sehingga belum tentu efektif.
Carilah penulis dengan latar belakang akademis yang jelas seperti PhD atau doktor kedokteran dari universitas yang dikenal. Hindari karya dari penulis yang menyebut dirinya ahli hanya berdasarkan pengalaman pribadi.
Mempertimbangkan latar belakang penulis penting. Banyak penulis profesional yang sekadar merangkum penelitian-penelitian yang sudah ada. Mereka tidak melakukan penelitian apa pun terkait topik yang ditulis. Maka dari itu, terkadang penulis terlalu menyederhanakan (oversimplifikasi) atau salah menginterpretasikan temuan penelitian.
Tak sulit untuk melakukan pencarian singkat di internet untuk menilai apakah penulis yang bukunya ingin kita baca memang memiliki keahlian yang dapat mendukung tulisan mereka secara ilmiah.
2. Jangan nilai buku dari popularitasnya
Hanya karena laku keras atau dipromosikan selebritas, belum tentu sebuah buku didasari oleh penelitian ilmiah atau berbasis bukti.
Buku self-help tidak seperti penelitian akademis yang melalui proses telaah sejawat (peer review) sebelum diterbitkan. Kadang-kadang, aspek keakuratan informasi buku self-help masih kurang dicermati.
Kesuksesan sebuah buku bisa saja murni berkat strategi pemasaran, daya tarik emosional, atau ide yang sedang jadi tren. Bukan karena adanya pembahasan bukti ilmiah yang jelas.
3. Perhatikan posisi penempatan buku
Toko buku dan perpustakaan mengategorikan buku self-help di berbagai bagian misalnya bagian kesehatan, kebugaran, kesejahteraan mental, hingga spiritual. Tak menutup kemungkinan bahwa buku-buku di bagian tersebut merupakan buku yang berbasis bukti.
Namun, ada baiknya melirik ke bagian ilmu pengetahuan dan alam pula. Menjelajahi bagian lain dapat memperbesar peluang kita menemukan buku yang berbasis bukti ilmiah yang kredibel.
4. Terbuka dengan topik lain
Pengembangan diri tak terbatas pada satu aspek kehidupan. Kesejahteraan mental juga terbentuk dari berbagai hal, bahkan beberapa ahli menyebut ada sembilan atau lebih[7] dimensi yang membentuk well-being.
Dimensi fisik, emosional, sosial, intelektual, spiritual, finansial, lingkungan, pekerjaan, dan budaya—semuanya dapat memengaruhi well-being. Namun, tak menutup kemungkinan ada dimensi lain juga yang berpengaruh.
Ketika mencari buku self-help, pertimbangkan untuk mengeksplorasi dimensi well-being yang belum benar-benar kita pahami untuk memperluas wawasan. Dengan cara ini, kita bisa mendapatkan perasaan bahwa kita telah mengembangkan diri lebih jauh. Kita juga bisa mempertimbangkan topik yang ingin kita pelajari lebih dalam dari perspektif ilmiah.
5. Berpikir kritis saat membaca
Buku berbasis bukti pun bisa memaparkan temuan yang mengejutkan atau bertentangan dengan apa yang kita ketahui. Ketika kita menemukan sesuatu yang tampaknya tak sesuai dengan pemahaman kita, carilah sumber tambahan untuk memeriksa kebenarannya.
Buku self-help yang kredibel akan memasukkan daftar pustaka yang berisi penelitian yang dibahas dalam buku. Ini memungkinkan kita memverifikasi klaim yang dibuat penulis dan memungkinkan kita membuat kesimpulan sendiri.
Daftar pustaka juga bisa jadi informasi tambahan untuk memperkaya pemahaman kita tentang topik tersebut.
Jalan menjadi lebih sehat dan sejahtera mental
Membaca bermanfaat[8] untuk kesehatan mental, termasuk membantu fungsi kognitif, mengurangi stres, meningkatkan durasi dan kualitas tidur, memperbaiki suasana hati (mood), dan menurunkan tekanan darah.
Meski biasanya membaca dianggap sebagai kegiatan me-time, kegiatan ini juga bisa jadi cara membangun hubungan dengan orang lain. Menjadi bagian dari komunitas tertentu[9] bisa mengurangi isolasi sosial, menurunkan rasa kesepian, dan meningkatkan koneksi dengan orang lain.
Klub buku bisa menjadi ruang kita untuk mendapat manfaat dari kegiatan membaca dan berkomunitas. Saya mendirikan Reading for Well-Being Community Book Club[10] di Carleton University.
Saya memilih buku berbasis bukti dari berbagai aspek well-being dan pengembangan diri untuk bagian Professor Pozzulo’s Picks. Saya juga mewawancarai penulis buku yang saya pilih dalam podcast Reading for Well-Being[11].
Setiap bulannya, anggota klub akan menerima buletin berisi buku pilihan dan tautan menuju platform digital tempat mengunggah ulasan buku. Ini termasuk papan diskusi yang memungkinkan anggota klub membagikan pendapat tentang buku tertentu. Tak ada biaya keanggotaan dan semua orang bisa bergabung[12].
Entah membaca sendirian atau bersama kelompok, manfaat dari buku jauh lebih tebal dari halaman-halamannya yang terjilid. Jadi, ambil bukumu dan mulai perjalanan untuk menuju hidup yang lebih sehat dan terhubung.
Selamat membaca!
Kezia Kevina Harmoko berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.
References
- ^ dengan estimasi nilai global mencapai US$6,3 triliun (globalwellnessinstitute.org)
- ^ dibanding generasi seniornya (www.mckinsey.com)
- ^ bibliotherapy (www.psychologytoday.com)
- ^ penyumbang terbesar kategori nonfiksi (wordsrated.com)
- ^ 15 ribu buku self-help yang terbit (www.washingtonpost.com)
- ^ klub buku (carleton.ca)
- ^ bahkan beberapa ahli menyebut ada sembilan atau lebih (www.canada.ca)
- ^ bermanfaat (www.healthline.com)
- ^ Menjadi bagian dari komunitas tertentu (www.psychologytoday.com)
- ^ Reading for Well-Being Community Book Club (carleton.ca)
- ^ Reading for Well-Being (open.spotify.com)
- ^ bergabung (carleton.ca)
Authors: Joanna Pozzulo, Chancellor's Professor, Psychology, Carleton University
Read more https://theconversation.com/5-tip-memilih-buku-self-help-agar-benar-benar-berdampak-buat-kita-254794