Gerakan “rimpang”: Bagaimana kaum muda jatuh bangun bergerak melawan rezim
- Written by Amalinda Savirani, Professor, Department of Politics and Government, Universitas Gadjah Mada

● Gerakan kaum muda semakin masif dan inovatif, berciri seperti tanaman rimpang
● Generasi kelahiran pasca-1998 semakin terlibat dalam aksi yang berciri spontan, sporadis dengan praktik senang-senang
● Gerakan orang muda berciri rizomatik perlu terhubung dengan gerakan lain agar menjalar dan mengakar kuat
Aksi protes #IndonesiaDarurat pada 2024 dan #IndonesiaGelap pada awal 2025 menjadi dua momen besar yang menandai peran sentral kaum muda (kelahiran pasca-1998) dalam gerakan sosial prodemokrasi. Gerakan ini lebih terkonsolidasi[1], lintas generasi, dan lintas kelas sosial.
Dalam gerakan ini, dan sejak 2010-an, media sosial[2] secara konsisten menjadi alat memperbesar gerakan. Ini terlihat dari bagaimana penggunaan tanda pagar (tagar) untuk menggerakkan protes jalanan.
Ramainya penggunaan media sosial kemudian menjadi penghubung berbagai aksi di berbagai tempat di Indonesia. Hubungan ini menciptakan ciri gerakan tersendiri yang bernama “rizomatik” atau seperti tanaman rimpang.
Tulisan ini merupakan refleksi terhadap hasil riset kami mengenai gerakan sosial masyarakat sipil[3], orang muda[4], dan kelas pekerja[5]. Kami melanjutkan studi Yatun Sastramidjaja mengenai gerakan rhizomatic protest[6] serta merujuk pada gagasan Deleuze dan Guattari[7], tentang proses produksi pengetahuan di luar lembaga konvensional, dan Sastramidjaja mengenali praktik rizomatik pada gerakan jalanan bertagar.
Gerakan rizomatik
Tanaman rimpang (seperti jahe ataupun lengkuas) bersifat menjalar di bawah permukaan tanah. Mereka tumbuh dengan banyak cabang dan subcabang yang kecil-kecil, serta sulit dikontrol pertumbuhannya.
Karena tumbuh cepat dan tidak hierarkis, setiap komponen dalam tanaman rimpang berhubungan satu sama lain secara organik. Lawan dari rizoma ini adalah entitas dengan praktik berakar gantung, berbatang silindris lurus, dan bertumbuh secara vertikal, persis seperti pohon.
Beda dengan pohon, gerakan rizomatik berciri tanpa pemimpin tunggal, terdesentralisasi, berbentuk kecil dan banyak, serta muncul di kota-kota ukuran menengah. Berbagai komponen dalam gerakan ini saling terkoneksi melalui media sosial, dengan algoritma juga berciri menjalar. Ia tidak mengikuti struktur ajeg dan logika hierarki, tetapi adaptif dan fleksibel.
Aksi turun ke jalan yang dilakukan mahasiswa, siswa, buruh dan aktivis masyarakat sipil dalam aksi #ReformasiDikorupsi[9] pada 2019, dan #TolakOmnibusLaw[10] pada 2020, juga berciri rizomatik.
Simpul rizomatik terbentuk, menjalar dan bercabang karena dorongan berbagai kejadian yang signifikan. Dalam aksi Februari lalu, misalnya, intimidasi aparat[11] kepada Sukatani, grup musik punk asal Purbalingga di Jawa Tengah, justru melahirkan tagar #KamiBersamaSukatani dan melipatgandakan #IndonesiaDarurat, #IndonesiaGelap, yang mencerminkan kekecewaan dan kemarahan publik. Lagu mereka kemudian banyak diputar saat demonstrasi besar di berbagai daerah.
Reaksi publik tersebut dipantik oleh video pemintaan maaf[12] personel band Sukatani kepada Kepolisian RI lewat akun media sosial atas lagu mereka berjudul “Bayar Polisi[13]”. Sukatani bahkan sempat mencabut lagunya dari platform Spotify. Belakangan, mereka mengaku telah diintimidasi oleh polisi karena lagu tersebut.
Peserta makin muda
Temuan riset kami[14] juga menunjukkan aksi protes tahun 2024 dan 2025 melalui #IndonesiaDarurat dan #IndonesiaGelap ditopang oleh gerakan orang muda, termasuk mahasiswa, dan siswa. Mereka kebanyakan berlatar lintas kelas sosial kelas menengah dan kelas pekerja.
Mungkin karena inilah, rezim kerap mengabaikan dan menganggap mereka kecil. Ini terlihat dari penyataan presiden “anjing menggonggong kafilah berlalu”[22].
Ciri gerakan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara Asia Tenggara, seperti di Thailand[23] dan Malaysia[24]. Gerakan ini belum mampu mencapai perubahan mendasar karena terus-menerus dipukul balik rezim berkuasa.
Orang muda pun mulai terampil menghubungkan dan mengartikulasi (meskipun belum secara sistematis) dampak marjinalisasi sosio-ekonomi yang dialami sehari-hari secara lintas-kelas, misalnya uang sekolah yang mencekik[25], sulitnya mencari kerja layak[26] dan regulasi yang menambah kerentanan[27].
Kami belajar dari kaum muda dalam hal bergerak bersama di tingkat tapak, termasuk dengan kelompok kelas pekerja dan kelompok miskin kota.
Aksi rizomatik yang didukung kaum muda menunjukkan bagaimana solidaritas terbentuk karena merasakan dampak kebijakan di banyak sektor. Gerakan rizomatik perlu terus didorong sembari konektivitasnya dengan gerakan lain, agar terus menjalar dan mengakar kuat guna merawat gerakan prodemokrasi.
References
- ^ lebih terkonsolidasi (indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au)
- ^ media sosial (library.oapen.org)
- ^ gerakan sosial masyarakat sipil (drive.google.com)
- ^ orang muda (core.ac.uk)
- ^ kelas pekerja (books.google.com)
- ^ rhizomatic protest (link.springer.com)
- ^ Deleuze dan Guattari (books.google.co.id)
- ^ Wulandari Wulandari/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ #ReformasiDikorupsi (theconversation.com)
- ^ #TolakOmnibusLaw (www.tempo.co)
- ^ intimidasi aparat (www.tempo.co)
- ^ video pemintaan maaf (www.tempo.co)
- ^ Bayar Polisi (nasional.kompas.com)
- ^ Temuan riset kami (drive.google.com)
- ^ mendirikan tenda di depan DPR (kbr.id)
- ^ aksi yang sama (www.arahjuang.com)
- ^ yang ditembak oleh polisi (www.kompas.id)
- ^ revisi UU Pilkada (megapolitan.kompas.com)
- ^ #ReformasiDikorupsi (theconversation.com)
- ^ #TolakOmnibusLaw (www.tempo.co)
- ^ Sutor/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ “anjing menggonggong kafilah berlalu” (nasional.kompas.com)
- ^ Thailand (www.dw.com)
- ^ Malaysia (theconversation.com)
- ^ uang sekolah yang mencekik (www.cnbcindonesia.com)
- ^ sulitnya mencari kerja layak (www.kompas.id)
- ^ regulasi yang menambah kerentanan (www.tempo.co)
Authors: Amalinda Savirani, Professor, Department of Politics and Government, Universitas Gadjah Mada