Bagaimana meredam perilaku konsumtif anak sejak dini: Tip untuk orangtua muda
- Written by Rusydi Umar, ST., M.T., Ph.D sebagai dosen, Universitas Ahmad Dahlan

● Perilaku orang tua jadi cerminan perilaku anak tidak terkecuali perilaku keuangannya
● Masih ada lebih dari 100 juta orang yang tidak terjangkau literasi keuangan yang mumpuni
● Godaan berbelanja akan makin tinggi di masa depan dengan segala inovasinya
Bagi para Zilenial, kelompok usia yang berada di perbatasan milenial dan Gen Z, tren berbelanja 10-15 tahun lalu tidak semudah sekarang. Misalnya, kita harus pergi ke mall untuk membeli baju lebaran, atau pun pergi ke restoran untuk makan enak.
Kita juga harus memiliki uang di dompet, atau setidaknya memiliki kartu ATM. Kebanyakan pembelian barang harus cash alias tunai. Sedikit sekali dari kita yang mempunyai kartu kredit.
Situasi jauh berbeda dan makin mudah saat ini ketika para Zilenial dewasa—sebagian di antaranya mungkin sudah memiliki anak. Akses terhadap produk dan layanan finansial lebih mudah dan cepat. Belanja melalui kanal e-commerce[1] misalnya, cukup dari ponsel saja, lalu barang sudah bisa diantar ke rumah kita.
Namun, kemudahan ini menyimpan paradoks. Di sisi lain, ia membuka celah kecenderungan pola konsumsi impulsif[2] dan perilaku keuangan yang merugikan seperti judi online.
Di sini, peran orang tua menjadi penting untuk menangkal konsekuensi negatif dari perkembangan teknologi, dengan menggunakan teknologi itu sendiri
Hampir separuh penduduk Indonesia[3] masih belum piawai merencanakan, mengelola, dan mengevaluasi keuangan pribadi maupun keluarga mereka.
Padahal, di tengah masifnya digitalisasi, kemampuan ini menjadi semakin penting. Bukan cuma untuk kita, tetapi untuk anak-anak yang sudah terbiasa dengan smartphone. Peran keluarga dengan literasi keuangan memadai sangat krusial di tengah tren belanja masyarakat yang tidak sehat[4].
Teknologi bisa menjadi senjata untuk menanggulangi dampak buruk teknologi. Orang tua—tanpa perlu bersekolah tinggi—bisa memberikan edukasi keuangan kepada anak, misalnya melalui aplikasi pencatatan keuangan, perencana anggaran, kalkulator investasi, hingga dompet digital syariah yang berseliweran di internet.
Selain itu, platform digital juga membuka akses luas terhadap informasi dan edukasi finansial[5]. Pilihan edukasi bisa diakses melalui kanal YouTube, podcast keuangan, hingga kelas daring bersertifikat yang diselenggarakan oleh institusi terpercaya seperti Ototitas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), atau lembaga perguruan tinggi.
References
- ^ e-commerce (kumparan.com)
- ^ pola konsumsi impulsif (theconversation.com)
- ^ Hampir separuh penduduk Indonesia (www.tempo.co)
- ^ tren belanja masyarakat yang tidak sehat (theconversation.com)
- ^ akses luas terhadap informasi dan edukasi finansial (umt.ac.id)
- ^ perlu lebih kritis terhadap teknologi (katadata.co.id)
- ^ Perilaku keuangan orang tua (jurnal.polines.ac.id)
- ^ nilai luhur agama (theconversation.com)
- ^ Penelitian (www.cambridge.org)
- ^ paylater (www.dbs.id)
- ^ Populix (info.populix.co)
- ^ pinjaman online (www.cimbniaga.co.id)
- ^ kondisi 20 tahun lalu (inet.detik.com)
Authors: Rusydi Umar, ST., M.T., Ph.D sebagai dosen, Universitas Ahmad Dahlan