Memilih menjadi lajang? Simak 5 tip ini untuk terus berkembang
- Written by Yuthika Girme, Associate Professor, Department of Psychology, Simon Fraser University

Memasuki usia 20-30 tahun, banyak dari kita yang memasuki proses pencarian identitas dan membangun kehidupan sebagai orang dewasa. Tentunya lingkungan punya ekspektasi khusus untuk kita: menemukan cinta dan membangun keluarga. Kalau belum menjalani hubungan romansa, dianggap gagal menjadi dewasa.
Menariknya, meski ekspektasi tersebut hadir, angka individu yang memilih untuk menjadi single alias lajang di usia 20-an dan 30-an justru meningkat. Apa artinya?
Di Kanada, jumlah individu dewasa muda yang memilih untuk jadi single konsisten meningkat[1]. Di Indonesia, jumlah pemuda yang belum menikah mencapai 69,75%[2] dengan tren yang terus meningkat setiap tahun.
Namun, tren ini tidak mematahkan tuntutan dari standar budaya yaitu memiliki hubungan romantis bagi sosok dewasa.
Umumnya, single era dipandang sebagai periode sesaat, bukan sebuah pilihan hidup yang sah dan membahagiakan.
Sebagai peneliti, saya memimpin riset berjudul Singlehood Experiences and Complexities Underlying Relationships[3] di Simon Fraser University. Riset saya berfokus untuk memahami pada saat apa individu single atau individu yang berpasangan bisa berkembang dan bahagia.
Setelah mempelajarinya bertahun-tahun, berikut beberapa hal menarik yang saya temukan dari individu single berusia 20-an dan 30-an.
Menjadi single semakin banyak dipilih
Di Kanada, sejumlah 59,8% individu usia 25-29 tahun dan 37,6% individu usia 30-34 tahun[4] tercatat belum menikah.
Proporsi individu usia 20-34 tahun yang menikah naik menjadi 60,3% pada 2021. Pada 1996, angkanya hanya mencapai 50,5%.
Meski di antara individu tersebut ada yang menyatakan keinginan untuk menjalani hubungan yang berkomitmen, banyak dari mereka yang menunda keputusan tersebut.
Di Kanada, rata-rata usia individu yang menikah meningkat 8 tahun. Pada tahun 1970-an, rata-rata seseorang menikah di usia 23,3 tahun. Pada 2020, rata-rata individu baru menikah di usia 31,2 tahun.
Tren ini mengindikasikan beberapa hal[5]: orang-orang kini lebih berfokus mengembangkan karier, lebih ingin jalan-jalan, punya masalah dalam membangun hubungan, atau memang memilih untuk menjadi single pada awal usia dewasa mereka.
Individu-individu tersebut termasuk orang-orang yang mengklaim diri mereka “single at heart[6]”. Mereka secara sadar memilih menjadi single karena memandang penting kesendirian dan kebebasan.
Tekanan sosial tetap ada
Meski semakin banyak individu single di usia 20-an dan 30-an, entah karena pilihan atau situasi tertentu, tekanan sosial untuk melepas status single terus ada.
Ini tak mengherankan karena kita hidup di tengah masyarakat yang memang sangat memandang penting hubungan pernikahan dan memiliki anak[7].
Menjalin hubungan romantis dan membangun keluarga tentu pilihan hidup yang umum dan valid untuk dimiliki individu. Namun, obsesi dengan hubungan romantis justru dapat merugikan jika dibandingkan dengan menjadi single.
Individu yang single sering kali dianggap “belum utuh” semata-mata karena mereka tidak punya pasangan.
Penelitian yang saya lakukan dengan kolega saya menunjukkan bahwa individu yang single sering kali merasa dikecualikan, dijauhi, dan dikasihani karena status mereka[8]. Pandangan ini berdampak pada kesejahteraan mental mereka.
Mereka juga menghadapi stereotip negatif[9] seperti dianggap egois, tidak berperasaan, penyendiri, atau antisosial.
Meski standar untuk berpasangan muncul dari masyarakat, orang-orang single bisa menyerap standar tersebut dalam hidup mereka. Alhasil, mereka justru terkena dampak negatifnya.
Dalam riset lainnya, kami meneliti apa yang kami sebut dengan “relationship pedestal beliefs” atau “kepercayaan hubungan adalah segalanya”. Kami ingin mengukur sampai di level mana individu mempercayai bahwa mereka perlu berada di sebuah hubungan romantis terlebih dahulu agar bisa bahagia.
Kami menemukan bahwa individu single yang memiliki kepercayaan tersebut cenderung tak nyaman hidup sendirian[10] sehingga mengalami kepuasan hidup yang lebih rendah.
Bagaimana cara menjadi single, tetapi high-quality?
Bagaimana individu single bisa tetap bahagia, punya hidup yang memuaskan, meski terus berhadapan dengan standar masyarakat tentang hubungan romantis?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya dan kolega mengulas literatur terkait hidup lajang[11] untuk memahami kapan individu bisa berkembang atau sekadar berupaya bertahan. Kami menemukan bahwa memang ada sebagian individu yang kesulitan hidup sendiri dan berharap memiliki pasangan.
Namun, ada juga yang bahagia dan justru berkembang.
Berikut beberapa faktor yang terkait _single era _yang menyenangkan.
1.Merasa aman dengan diri sendiri
Individu single yang merasa aman dengan dirinya sendiri[12] serta nyaman dalam mempercayai dan mendekatkan diri pada hubungan yang erat menjadi individu single yang paling bahagia.
Mereka memiliki kepuasan hidup yang tinggi dan lebih pandai meregulasi emosi. Para single yang tidak insecure ini terbuka dengan konsep hubungan romantis, tapi tidak masalah dan baik-baik saja menjadi single.
2. Punya teman yang suportif
Individu single cenderung berinvestasi lebih dalam pertemanan dibandingkan individu yang sudah berpasangan. Ketika individu single aktif menjaga pertemanan[13], mereka akan cenderung merasa diterima oleh teman, punya harga diri lebih tinggi, dan lebih bahagia dengan status single mereka.
3. Menyadari kebutuhan akan intimasi
Individu single tetap mempunyai kebutuhan intimasi dan seksual. Penelitian menunjukkan bahwa, ketika individu dewasa single bisa memenuhi kebutuhan tersebut[14] mereka cenderung lebih bahagia menikmati kesendirian dan tak terlalu menginginkan hubungan romantis.
Namun, seiring berjalannya lalu, individu single yang terpenuhi di aspek ini lebih berpeluang menjalani hubungan romantis ke depannya.
4. Jadilah lebih dewasa
Ketika individu memasuki usia 40-an, mereka cenderung lebih bahagia dengan status single[15]. Ini umumnya terjadi karena individu single paruh baya sudah banyak belajar bagaimana menginvestasikan hidup mereka ke hal yang disukai dan cenderung lebih kebal dari tekanan sosial.
5. Pentingkan kebebasan, keseruan, dan kreativitas
Penelitian menunjukkan bahwa individu single yang memandang penting kebebasan, keseruan, dan kreativitas cenderung lebih bahagia[16].
Menjadi single di usia 20-an atau 30-an bisa jadi momen yang pas untuk berfokus pada pengembangan diri, karier, cita-cita, serta hubungan dengan keluarga, teman, dan komunitas. Semuanya merupakan bahan untuk membangun hidup yang bahagia—entah dengan status single ataupun berpasangan.
References
- ^ konsisten meningkat (www.cardus.ca)
- ^ 69,75% (kumparan.com)
- ^ Singlehood Experiences and Complexities Underlying Relationships (www.instagram.com)
- ^ 59,8% individu usia 25-29 tahun dan 37,6% individu usia 30-34 tahun (www.cardus.ca)
- ^ mengindikasikan beberapa hal (doi.org)
- ^ single at heart (belladepaulo.com)
- ^ masyarakat yang memang sangat memandang penting hubungan pernikahan dan memiliki anak (doi.org)
- ^ dikecualikan, dijauhi, dan dikasihani karena status mereka (doi.org)
- ^ stereotip negatif (doi.org)
- ^ tak nyaman hidup sendirian (doi.org)
- ^ mengulas literatur terkait hidup lajang (doi.org)
- ^ Individu single yang merasa aman dengan dirinya sendiri (doi.org)
- ^ individu single aktif menjaga pertemanan (doi.org)
- ^ individu dewasa single bisa memenuhi kebutuhan tersebut (doi.org)
- ^ Ketika individu memasuki usia 40-an, mereka cenderung lebih bahagia dengan status single (psycnet.apa.org)
- ^ memandang penting kebebasan, keseruan, dan kreativitas cenderung lebih bahagia (doi.org)
Authors: Yuthika Girme, Associate Professor, Department of Psychology, Simon Fraser University
Read more https://theconversation.com/memilih-menjadi-lajang-simak-5-tip-ini-untuk-terus-berkembang-257553