Asian Spectator

Men's Weekly

.

Viral dulu, substansi belakangan: 3 risiko punya pemimpin politik kreator konten

  • Written by Mohammad Syaban, Doctoral Researcher on Digital Politics in Southeast Asia, Kyoto University
Viral dulu, substansi belakangan: 3 risiko punya pemimpin politik kreator konten

● Maraknya politikus konten kreator adalah konsekuensi dari penggunaan masif media sosial selama masa kampanye.

● Media sosial sering dimanfaatkan pemimpin populis untuk menyebarkan narasi kebijakan yang disimplifikasi secara berlebihan.

● Narasi kebijakan dari pemimpin populis bertendensi hanya mengutamakan sensasi dan viralitas ketimbang substansi.

Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dan 2024 maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) diwarnai dengan pola kepemimpinan populis (merakyat). Hal ini juga terlihat lewat masifnya aktivitas produksi konten di media sosial yang dilakukan para pemimpin terpilih, layaknya seorang konten kreator.

Pada masa kampanye, para politikus bahkan dapat mengunggah sebanyak dua hingga tiga konten per hari di satu platform media sosial. Presiden terpilih Prabowo Subianto, misalnya, mengunggah konten TikTok[1] pertama kali pada Agustus 2024 dan mengunggah 73 konten di platform tersebut selama masa kampanye.

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi, setidaknya mengunggah 81 konten di YouTube[2] dengan durasi minimal 20 menit selama masa kampanye Pilkada 2025.

Setelah terpilih, mereka makin aktif menggunakan media sosial untuk menyebarkan narasi kebijakan dalam usaha mendapatkan dukungan publik. Banyak figur politik yang secara reguler mengunggah konten di berbagai platform digital.

Motif di balik praktik ini beragam, mulai dari meneruskan kebiasaan yang terbentuk selama kampanye, keinginan untuk menunjukkan transparansi, membuktikan bahwa mereka bekerja dan berdampak, membangun citra positif, hingga memperkuat legitimasi sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat.

Keterkaitan erat antara media sosial dan populisme merupakan bentuk elective affinity[3] (keterikatan). Sebab media sosial menyediakan ruang ideal bagi narasi populis untuk menargetkan masyarakat umum (yang secara aktif menentang institusi liberal karena dianggap elitis).

Namun, sejumlah studi[4] menunjukkan bahwa, tiga pola penggunaan media sosial oleh pemimpin populis bisa berdampak buruk bagi proses pembuatan kebijakan dan demokrasi. Pola tersebut antara lain penyebaran narasi kebijakan secara berlebihan, pola komunikasi satu arah, dan melahirkan kebijakan yang tidak substantif.

1. Narasi berlebihan tanpa bukti ilmiah

Media sosial sering kali dimanfaatkan oleh pemimpin populis untuk menyebarkan narasi kebijakan yang disederhanakan secara berlebihan (oversimplification) tanpa landasan pembuktian ilmiah yang memadai. Tujuannya adalah untuk membentuk opini publik.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menunggangi Sisingaan (boneka singa raksasa) untuk merayakan kemenangan Persib, di depan Gedung Sate, Bandung, pada 5 Mei 2025. Sony Herdiana/Shutterstock[5]

Narasi seperti, “vasektomi untuk mengurangi angka kemiskinan[6]” atau “mengatasi stunting dengan makan gratis[7]” mengabaikan kompleksitas persoalan—yang sejatinya bersifat multidimensi dengan melibatkan aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.

Alih-alih menyusun solusi yang berbasis riset dan kebijakan publik yang terukur, narasi-narasi ini diproduksi dalam format konten viral, seolah solusi instan sudah memadai untuk masalah struktural yang kronis.

Penelitian tahun 2021[8] menunjukkan bahwa kandidat populis cenderung lebih agresif, ofensif, dan menebarkan ketakutan dalam pesan-pesan mereka. Penelitian ini membandingkan retorika 195 kandidat populis dan nonpopulis dalam 40 pemilu antara Juni 2016 hingga Juni 2017 di seluruh dunia.

Karakteristik ini sangat kompatibel dengan desain media sosial sebagai platform self-publishing yang memfasilitasi ekspresi langsung tanpa penyaringan institusional. Di sinilah media sosial menjadi lahan subur bagi politikus populis untuk menyebarkan pesan mereka secara instan dan masif, seakan bisa diterima oleh akal sehat.

Kebijakan yang disusun tanpa data empiris dan hanya mengandalkan narasi berlebihan, berpotensi menyesatkan persepsi publik. Masyarakat menjadi pasif dan menerima kebijakan tanpa sikap kritis karena merasa semuanya berjalan baik-baik saja, seperti ditunjukkan dalam konten media sosial berdurasi singkat. Akibatnya, kinerja pemerintah yang minimum dapat dimaklumi.

Ketika evaluasi digantikan oleh glorifikasi pada konten, ruang untuk koreksi dan perbaikan kebijakan pun menyempit dan merugikan kualitas demokrasi.

2. Komunikasi satu arah

Media sosial menciptakan pola komunikasi satu arah tanpa proses diskursus. Berbeda dengan media massa yang tunduk pada logika jurnalistik dan proses penyuntingan, konten di media sosial diproduksi dan dikendalikan langsung oleh politikus dan timnya, tanpa mekanisme pengawasan editorial profesional.

Videotron animasi wajah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Jakarta. Artsytopia/Shutterstock[9]

Contohnya adalah kanal YouTube Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka[10] yang kerap membahas isu seperti artificial intelligence (AI) atau hilirisasi industri. Meskipun banyak kritik menyatakan bahwa kebijakan tersebut belum siap diterapkan, narasi tersebut tetap dipaksakan untuk tampil sebagai agenda unggulan—tanpa membuka ruang bagi perdebatan publik yang berimbang.

Akan berbeda jika kebijakan ini disampaikan melalui forum media yang sifatnya dua arah antara jurnalis dan penginisiasi kebijakan.

Saat politikus hanya mengandalkan media sosial untuk menyampaikan pesan tanpa membuka ruang diskusi, kebijakan jadi terasa sepihak dan jauh dari suara rakyat. Komunikasi satu arah seperti ini membuat masyarakat hanya jadi penonton, bukan bagian dari proses pengambilan keputusan.

Padahal, demokrasi butuh percakapan dua arah—bukan sekadar unggahan dan menjadi viral.

3. Mobokrasi: Sensasi dulu, substansi belakangan

Risiko terbesar dari fenomena ini adalah lahirnya mobokrasi[11], yaitu kondisi ketika narasi kebijakan hanya mengutamakan sensasi daripada substansi demi mengejar viral. Akibatnya, kebijakan publik dibentuk berdasarkan logika viralitas, bukan rasionalitas atau data.

Kebijakan pengiriman remaja bermasalah ke barak militer[12] oleh Dedi Mulyadi merupakan contoh nyata bagaimana pemimpin populis mendukung praktik keterbelakangan demokrasi dan memperluas peran militer dalam urusan sipil.

Setelah mengeluarkan kebijakan ini, mereka secara aktif membuat konten untuk memperbarui informasi kepada masyarakat tentang efektivitas programnya. Kebijakan semacam ini disederhanakan untuk konsumsi digital, mengabaikan kompleksitas struktural, seperti kemiskinan dan kesehatan mental. Isu-isu kenakalan remaja pun dikemas demi atensi, tanpa solusi berbasis empiris.

Sebuah ponsel menampilkan laman akun Instagram resmi Presiden Prabowo Subianto. Seagate2809/Shutterstock[13]

Fenomena politikus sebagai konten kreator mencerminkan transformasi komunikasi politik ke arah yang lebih personal dan algoritmik. Meski efisien dalam menjangkau publik, praktik ini menimbulkan tantangan serius ketika narasi disederhanakan demi viralitas, bukan berdasarkan bukti dan dialog.

Generasi muda harus kritis

Di tengah maraknya politikus yang tampil sebagai kreator konten media sosial dengan gaya populis, publik terutama generasi muda perlu tetap kritis.

Visual menarik dan pendekatan dengan gaya santai terbukti lebih memikat. Namun, penting untuk mempertanyakan apakah pesan itu inklusif, berbasis data empiris, dan berpihak pada kepentingan publik.

Perkembangan media sosial dengan segala fiturnya berlangsung jauh lebih cepat dibandingkan dengan standar etika dalam komunikasi publik. Oleh karena itu, audiens muda harus membiasakan diri berpikir reflektif dan tidak mudah terbawa arus tren viral.

Alih-alih hanya menyimak mereka yang mendominasi lini masa, biasakan untuk mempertanyakan gagasan, mengkritisi kebijakan, dan mempertimbangkan dampaknya bagi semua lapisan masyarakat.

References

  1. ^ TikTok (www.tiktok.com)
  2. ^ YouTube (www.youtube.com)
  3. ^ elective affinity (journals-sagepub-com.kyoto-u.idm.oclc.org)
  4. ^ studi (journals-sagepub-com.kyoto-u.idm.oclc.org)
  5. ^ Sony Herdiana/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  6. ^ vasektomi untuk mengurangi angka kemiskinan (megapolitan.kompas.com)
  7. ^ mengatasi stunting dengan makan gratis (lestari.kompas.com)
  8. ^ Penelitian tahun 2021 (www.tandfonline.com)
  9. ^ Artsytopia/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  10. ^ kanal YouTube Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (www.youtube.com)
  11. ^ mobokrasi (journals-sagepub-com.kyoto-u.idm.oclc.org)
  12. ^ Kebijakan pengiriman remaja bermasalah ke barak militer (www.bbc.com)
  13. ^ Seagate2809/Shutterstock (www.shutterstock.com)

Authors: Mohammad Syaban, Doctoral Researcher on Digital Politics in Southeast Asia, Kyoto University

Read more https://theconversation.com/viral-dulu-substansi-belakangan-3-risiko-punya-pemimpin-politik-kreator-konten-259378

Magazine

Mengenal jejak karbon digital di balik layar gadget kita

● Jejak karbon digital berasal dari perangkat, jaringan transmisi, dan pusat data yang semuanya membutuhkan energi besar dan menghasilkan emisi karbon.● Indonesia termasuk pengguna interne...

Viral dulu, substansi belakangan: 3 risiko punya pemimpin politik kreator konten

Ilustrasi aplikasi media sosial di sebuah ponsel.Oryzapratama/Shutterstock● Maraknya politikus konten kreator adalah konsekuensi dari penggunaan masif media sosial selama masa kampanye.● M...

Belajar dari Timor-Leste: Rumah tangga perlu berinvestasi lebih pada pendidikan anak perempuan

● Diskriminasi gender dalam pendidikan adalah asumsi umum di negara berkembang.● Data dari Timor-Leste menunjukkan, keluarga justru berinvestasi lebih banyak pada pendidikan anak perempuan...