RI siap bangun pembangkit nuklir, bagaimana mitigasi pembuangan limbahnya?
- Written by Harya Dwi Nugraha, Researcher at UiB | Head - Center for Sustainable Geoscience and Outreach (CSGO), Universitas Pertamina

● RI bersiap membangun pembangkit nuklir.
● Pengelolaan limbah nuklir harus dipikirkan bersamaan, tak bisa jadi urusan belakangan.
● Tanpa dukungan publik dan perencanaan matang, proyek nuklir bisa gagal dan menimbulkan risiko besar bagi generasi mendatang.
Pekan lalu, usai bertemu Presiden Prabowo Subianto di St. Petersburg, Rusia, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan siap bekerja sama dengan Indonesia di bidang nuklir[1]. Perusahaan energi Rosatom[2] dari Rusia juga terbuka menawarkan bantuan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL[3]) 2025–2034, pemerintah memasang target bahwa RI bakal mengoperasikan PLTN antara 2030-2032, dengan kapasitas awal 500 megawatt (MW).
Beberapa lokasi[4] yang dinilai cocok adalah Kepulauan Bangka Belitung dan Kalimantan Barat[5]. Kedua lokasi tersebut ditaksir memiliki sumber daya radioaktif[6] yang tinggi. PT PLN (Persero) misalnya mengungkap, ada 24,1 ribu ton [7] bahan baku nuklir berupa uranium/thorium di Melawi, Kalbar.
Meski isu ini bak lagu lama, nampaknya dinamika ini menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia serius memasuki era nuklir. Energi nuklir kini memang banyak dilirik banyak negara karena terbukti menyediakan pasokan listrik secara stabil. Namun, ia juga memantik kontroversi dari sisi keamanan dan menyisakan persoalan besar pengelolaan limbah radioaktifnya.
Mengenal limbah nuklir
Limbah nuklir dibagi menjadi tiga jenis[8], yakni limbah beradiasi rendah/low-level waste (LLW), limbah beradiasi menengah/intermediate-level waste (ILW), dan limbah beradiasi tinggi/high-level waste (HLW). Hal yang perlu jadi catatan, limbah beradiasi rendah sekalipun tidak ramah kesehatan.
-
LLW adalah limbah dengan tingkat radioaktivitas rendah, misalnya sarung tangan bekas, alat pelindung, atau peralatan laboratorium yang terkontaminasi ringan.
ILW memiliki tingkat radioaktivitas sedang, biasanya berasal dari komponen reaktor yang sudah tidak terpakai.
HLW[9], yang paling berbahaya, berasal dari sisa bahan bakar reaktor. Walau jumlahnya kurang dari 1% total limbah[10], HLW menyimpan lebih dari 95% radioaktivitas[11] dari seluruh limbah nuklir tersebut. Limbah jenis ini sangat panas dan mengandung unsur berbahaya seperti Iodine-129[12] yang waktu paruhnya (waktu yang dibutuhkan untuk meluruh setengahnya) mencapai jutaan tahun.
Metode pembuangan limbah nuklir
LLW dan ILW[14] terbilang masih aman disimpan di fasilitas pembuangan dekat permukaan, meski tetap membutuhkan pengelolaan selama ratusan tahun. Sementara HLW, karena risikonya tinggi, membutuhkan tempat penyimpanan khusus karena memiliki radioaktivitas yang panjang hingga jutaan tahun.
Tanpa penyimpanan limbah permanen, limbah radioaktif tingkat tinggi yang telah diolah sekalipun tetap berisiko mencemari lingkungan (sungai, danau, air tanah) dan memengaruhi kesehatan manusia[15]. Bila terpapar, bisa menyebabkan kanker dan mutasi genetik.
Beragam lokasi pembuangan limbah nuklir[16] telah dikaji para peneliti di dunia, mulai dari lapisan es, zona subduksi, laut dalam, hingga luar angkasa.
Namun, lokasi pembuangan limbah radioaktif tingkat tinggi yang disepakati para peneliti paling aman adalah Deep Geological Disposal[17] (DGD), yaitu tempat pembuangan geologi bawah permukaan tanah.
Ada dua metode[18] utama untuk menyimpan limbah radioaktif tingkat tinggi di perut Bumi:
(1) Mined Repository: menyerupai tambang bawah tanah di kedalaman 400–500 meter. Metode ini sudah matang dan mulai dikontruksi.
(2) Deep Borehole Disposal (pengeboran dalam): menyimpan limbah di lubang bor sedalam hingga 5.000 meter—masih dalam tahap kajian studi kelayakan.
Namun hingga saat ini, belum ada fasilitas DGD yang benar-benar beroperasi penuh di dunia. Sementara ini, limbah radioaktif tingkat tinggi umumnya disimpan di tempat pembuangan sementara[19] seperti kolam pendingin (storage pond) atau wadah kering (dry cask storage) yang berada di kompleks PLTN.
Finlandia menjadi negara pertama yang memimpin pembangunan DGD lewat proyek Onkalo yang digarap perusahaaan Posiva[20]. Saat ini, fasilitas tersebut sedang dalam tahap uji operasional[21].
Fasilitas ini menggunakan sistem berlapis (multi-barrier system). Limbah radioaktif tingkat tinggi dikemas rapat, dimasukkan dalam wadah besi, lalu dibungkus lagi dengan tembaga tahan karat. Semua dikubur 400–500 meter di bawah permukaan, dalam batuan granit yang stabil dan kedap air.
Untuk mencegah air masuk dan radiasi keluar, lubang tersebut diisi dengan bentonite buffer dan tunnel backfill, yaitu tanah liat khusus yang kedap air. Setelah lubang penyimpanan penuh, seluruh terowongan ditutup secara permanen. DGD Onkalo ini dirancang agar dapat bertahan hingga 100.000 tahun[23].
Proses penyimpanan limbah nuklir tingkat tinggi (HLW) Onkalo, Finlandia. Sumber: Posiva.Di berbagai negara, jenis batuan yang dipilih untuk DGD berbeda. Finlandia misalnya memilih granit yang berumur hampir dua miliar tahun dan kedap air menjadi media penyimpanan.
Indonesia juga punya potensi serupa. Pemetaan awal[24] menunjukkan formasi granit Laskar Pelangi[25] di Bangka Belitung berpotensi menjadi batuan dasar untuk DGD. Namun, untuk memastikan kelayakan digunakan sebagai media penyimpanan limbah nuklir, batuan ini tentu harus lolos uji teknis dan hidrogeologi secara ketat.
Perlu persiapan urusan non-teknis yang kompleks
Penyimpanan limbah nuklir bukan hanya soal teknik dan geologi. Butuh waktu, dana, dan juga kepercayaan publik.
Fasilitas DGD Onkalo misalnya, menelan biaya sekitar €1,07 miliar[26] (setara Rp17 triliun). Angka tersebut berporsi sekitar 10 % dari biaya pembangunan reaktor nuklir Olkiluoto-3[27] berkapasitas 1.600 megawatt yang berada di daerah yang sama (sekitar €11 miliar atau setara Rp 176 triliun).
Namun, persoalan muncul dari durasi pembangunan fasilitas manajemen limbah nuklir yang tidak bisa dibilang singkat. Pembangunan Onkalo butuh waktu 3 dekade[28] dari 1995 sampai 2025.
Selain biaya dan waktu, satu hal yang tak kalah penting adalah legitimasi sosial. Tanpa dukungan publik, teknologi terbaik pun bisa bisa gagal—seperti kasus Yucca Mountain[29] di Amerika Serikat.
Di Inggris, misalnya, mereka menargetkan DGD beroperasi pada 2075[30]. Namun sejak beberapa tahun yang lalu, Inggris sudah menggandeng masyarakat lokal lewat program Community Partnership melalui Nuclear Waste Services[31]. Warga terlibat dalam proses sejak awal, mendapat dana komunitas, serta punya hak untuk menolak.
Di Indonesia, wacana pengelolaan limbah nuklir sudah mulai disusun dalam Kebijakan Strategis Nasional (Jakstranas[32]) Pengelolaan Limbah Radioaktif dan Bahan Bakar Nuklir Bekas. Namun, belum ada penjelasan tentang Deep Geological Disposal, baik lokasi, laboratorium bawah tanah, maupun skema pelibatan publik.
Dengan keragaman budaya dan geologi yang kompleks, Indonesia perlu perencanaan matang dan inklusif karena energi nuklir akan meninggalkan jejak panjang bagi generasi mendatang.
Penyimpanan limbah bukan pelengkap proyek PLTN, tapi bagian inti dari sistem energi nuklir itu sendiri. Perencanaan untuk pengelolaan limbahnya harus dipikirkan dengan kesungguhan yang sama dengan pembangunan reaktor nuklir. Jika tidak, energi nuklir hanya akan menjadi sumber masalah baru.
References
- ^ nuklir (www.cnbcindonesia.com)
- ^ Rosatom (www.bloombergtechnoz.com)
- ^ RUPTL (sunenergy.id)
- ^ Beberapa lokasi (www.tempo.co)
- ^ Kepulauan Bangka Belitung dan Kalimantan Barat (www.tempo.co)
- ^ sumber daya radioaktif (gatrik.esdm.go.id)
- ^ 24,1 ribu ton (www.cnnindonesia.com)
- ^ jenis (world-nuclear.org)
- ^ HLW (www-pub.iaea.org)
- ^ 1% total limbah (www.iaea.org)
- ^ 95% radioaktivitas (world-nuclear.org)
- ^ Iodine-129 (blogs.egu.eu)
- ^ Sumber: Matt Herod (blogs.egu.eu)
- ^ LLW dan ILW (www-pub.iaea.org)
- ^ kesehatan manusia (www.cancer.gov)
- ^ lokasi pembuangan limbah nuklir (world-nuclear.org)
- ^ Deep Geological Disposal (world-nuclear.org)
- ^ metode (world-nuclear.org)
- ^ tempat pembuangan sementara (world-nuclear.org)
- ^ Posiva (www.posiva.fi)
- ^ uji operasional (www.nucnet.org)
- ^ Sumber: Posiva (world-nuclear.org)
- ^ 100.000 tahun (www.bbc.com)
- ^ Pemetaan awal (inis.iaea.org)
- ^ granit Laskar Pelangi (travel.detik.com)
- ^ €1,07 miliar (www.bbc.com)
- ^ Olkiluoto-3 (www.dw.com)
- ^ 3 dekade (www.helsinkitimes.fi)
- ^ Yucca Mountain (wyliberty.org)
- ^ 2075 (www.gov.uk)
- ^ Nuclear Waste Services (www.nuclearwasteservices.uk)
- ^ Jakstranas (www.bapeten.go.id)
Authors: Harya Dwi Nugraha, Researcher at UiB | Head - Center for Sustainable Geoscience and Outreach (CSGO), Universitas Pertamina