Saat disabilitas jadi pelaku kekerasan seksual: Bagaimana menanganinya?
- Written by Lidwina Inge Nurtjahyo, Associate professor, Universitas Indonesia

● Kekerasan seksual bisa dialami dan dilakukan oleh siapa saja, termasuk orang dengan disabilitas.
● Fasilitas dan sumber daya yang ada belum sesuai dengan kebutuhan orang disabilitas, baik sebagai korban maupun pelaku.
● Disabilitas tidak boleh menjadi alasan untuk membedakan hak dan perlakuan kepada manusia.
Masih ingat kasus I Wayan Agus Suartama[1], orang disabilitas di Nusa Tenggara Barat yang melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah perempuan?
Masyarakat tak menyangka. Agus yang tidak memiliki kedua tangan dapat melakukan pelecehan seksual. Di media sosial, kasus tersebut menjadi gurauan karena warganet meragukan Agus bisa menjadi pelaku.
Namun, kekerasan seksual tak mengenal orang maupun latar belakangnya. Siapa saja bisa menjadi korban maupun pelaku, termasuk oleh orang disabilitas.
Alih-alih membicarakan itu, yang justru perlu kita perhatikan adalah penanganan kasus Agus maupun disabilitas lainnya. Penanganan kasus kekerasan seksual yang melibatkan orang disabilitas (baik sebagai korban maupun pelaku) memiliki tantangan tersendiri.
Read more: Terlepas kontroversinya, RUU PKS penting bagi penyandang disabilitas[2]
Sebagai contoh, fasilitas penegakan hukum kurang memadai bagi orang disabilitas. Aparat negara juga kurang memahami kebutuhan mereka.
Ini diperparah dengan pemerintah dan masyarakat yang masih memandang orang disabilitas sebagai golongan tak berdaya dan patut dikasihani (perspektif charity)[3].
Siapa pun bisa menjadi pelaku
Dalam kasus kekerasan seksual, siapa pun bisa menjadi korban atau pelaku, termasuk orang disabilitas.
Selain kasus Agus, ada juga kasus pelecehan seksual oleh pelaku disabilitas sensorik penglihatan[4]. Korbannya adalah siswa dengan disabilitas intelektual.
Ada juga kasus pencabulan balita di Jakarta pada awal 2025. Pelakunya adalah remaja berkebutuhan khusus[5].
Sejumlah tantangan hadir dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual, baik yang menimpa ataupun dilakujkan orang disabilitas, antara lain:
1. Fasilitas yang tak memadai
Saat ini fasilitas dan sumber daya di sistem peradilan pidana Indonesia belum sesuai dengan kebutuhan orang disabilitas, baik sebagai korban maupun pelaku.
Apalagi spektrum disabilitas cukup luas, mulai dari disabilitas fisik, disabilitas sensoris, disabilitas mental (psikososial), hingga disabilitas intelektual.[7]
Sayangnya, anggota kepolisian belum semuanya terlatih untuk menghadapi orang disabilitas[8].
Contohnya, kasus kekerasan seksual di Jakarta Selatan yang melibatkan pelaku disabilitas intelektual[9]. Orang dengan disabilitas psikososial ataupun intelektual bisa mengalami tantrum atau kesulitan memberikan keterangan.
Read more: Bangkit lebih kuat: Melihat bagaimana korban kekerasan seksual anak berusaha pulih dari trauma[10]
Contoh lainnya, pelaku kekerasan seksual berupa orang disabilitas sensorik dalam kasus guru Cirebon. Penglihatan orang ini sangat peka terhadap suara dan sentuhan[11].
Alhasil, agar pemeriksaan berjalan lancar, tidak boleh terdapat suara yang sangat keras di ruang interogasi. Tak boleh juga sentuhan tanpa persetujuan orang disabilitas tersebut.
Untuk menghadapi kondisi khusus ini, para penegak hukum dan atau pemberi layanan perlu mendapatkan edukasi penanganan kasus kekerasan seksual dengan pelaku orang disabilitas.
Negara juga dapat melibatkan kampus untuk merekomendasikan fasilitas yang dibutuhkan disabilitas agar penegakan hukum bisa berjalan tanpa mencederai hak-hak mereka.
2. Masih ada perspektif ableisme
Pemerintah dan masyarakat masih memandang orang disabilitas dengan perspektif ableisme[12] dan perspektif charity[13].
Dalam ableisme, orang atau kelompok disabilitas dilihat sebagai pengecualian, anomali, berbeda dari mereka yang nondisabilitas. Cara pandang ableisme ini juga menganggap disabilitas sebagai perbedaan yang tidak diinginkan.
Read more: Hati-hati dengan ableisme: stigma diskriminatif yang berbahaya bagi penyandang disabilitas[14]
Ableisme[15] berdampak negatif. Orang-orang disabilitas bisa terus mendapat stereotipe negatif dan kebijakan yang diskriminatif.
Sementara perspektif charity-based[16] menganggap orang disabilitas tidak memiliki kemampuan, sehingga harus terus menerus dibantu dan dilayani.
Padahal, untuk memperkuat kemampuan orang disabilitas, kita sangat memerlukan perspektif berbasis hak right based[17]. Perspektif ini memandang pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas bukan didasari rasa belas kasihan dan pemenuhan kebutuhan fisik belaka.
Dalam pendekatan berbasis hak, kita mengakui hak-hak disabilitas sebagai hal yang perlu diakui, dilindungi, dihormati, dan diperjuangkan agar setara dengan manusia lainnya.
Perspektif ini memandang disabilitas bukan sebagai kekurangan, melainkan sebuah konstruksi sosial[19].
Perspektif ini meyakini bahwa kondisi yang berbeda merupakan bagian dari keberagaman dalam masyarakat. Dengan demikian, disabilitas tidak boleh digunakan sebagai landasan untuk membedakan hak dan perlakuan kepada manusia.
Pentingnya pelibatan mitra
Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022[20] tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memberikan sanksi terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual.
Aturan ini juga secara khusus mengatur bahwa kekerasan seksual yang melibatkan orang disabilitas bukanlah delik aduan. Artinya, polisi bisa langsung mengusut perkara ini tanpa didahului pengaduan.
UU TPKS pun tidak membatasi siapa saja yang dapat menjadi pelaku. Baik pelaku maupun korban bisa merupakan orang disabilitas ataupun nondisabilitas.
Meski demikian, penegakan hukum haruslah berpihak pada hak-hak disabilitas melalui penyediaan pendamping. Para pendamping dapat mencakup psikolog maupun pekerja sosial yang telah mendapatkan pelatihan pendampingan orang disabilitas.
Pihak aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, dan hakim serta penasehat hukum juga perlu dilengkapi dengan pelatihan sensitivitas dan keterampilan dalam penanganan kekerasan seksual. Pelatihan juga perlu mencakup proses penanganan perkara kekerasan seksual yang melibatkan penyandang disabilitas (baik sebagai pelaku maupun korban).
Sensitivitas dan keterampilan ini dibutuhkan saat berinteraksi maupun melakukan penyidikan.
Sensitivitas tersebut dapat berupa pemahaman bahwa penyandang disabilitas memiliki kebutuhan yang berbeda. Misalnya, tidak semua penyandang disabilitas pendengaran memahami bahasa isyarat formal seperti misalnya versi Bisindo[21].
Sementara orang disabilitas penglihatan[22] tidak boleh dipegang tangan atau bahu secara mendadak atau dipisahkan dari tongkat penunjuknya.
Pemeriksaan disabilitas pengguna kursi roda harus membuat posisi tubuhnya berada di ketinggian yang sejajar. Tujuannya untuk memudahkan komunikasi sekaligus menghargai mereka.
Pelatihan sensitivitas ini dapat diberikan dalam pendidikan dasar aparat penegak hukum (akademi kepolisian, sekolah tinggi ilmu kepolisian, pendidikan jaksa, pendidikan hakim) maupun melalui pelatihan khusus.
Aparat penegak hukum pun perlu mempelajari lebih jauh dan memperhatikan peta kebutuhan orang disabilitas.
Orang disabilitas memiliki kebutuhan khusus untuk dipenuhi selama menjalani proses hukum. Namun, tidak serta merta itu membedakan—ataupun mendiskriminasi—mereka dari yang lain.
References
- ^ kasus I Wayan Agus Suartama (news.detik.com)
- ^ Terlepas kontroversinya, RUU PKS penting bagi penyandang disabilitas (theconversation.com)
- ^ (perspektif charity) (disabilitylab.berkeley.edu)
- ^ disabilitas sensorik penglihatan (wartakota.tribunnews.com)
- ^ remaja berkebutuhan khusus (news.detik.com)
- ^ 33rdtimeluckystudio/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ disabilitas fisik, disabilitas sensoris, disabilitas mental (psikososial), hingga disabilitas intelektual. (ptinklusif.kemdiktisaintek.go.id)
- ^ belum semuanya terlatih untuk menghadapi orang disabilitas (lbhmasyarakat.org)
- ^ disabilitas intelektual (news.detik.com)
- ^ Bangkit lebih kuat: Melihat bagaimana korban kekerasan seksual anak berusaha pulih dari trauma (theconversation.com)
- ^ sangat peka terhadap suara dan sentuhan (www.dhs.wisconsin.gov)
- ^ ableisme (doi.org)
- ^ charity (www.sylff.org)
- ^ Hati-hati dengan ableisme: stigma diskriminatif yang berbahaya bagi penyandang disabilitas (theconversation.com)
- ^ Ableisme (www.disabilitysupport.govt.nz)
- ^ perspektif charity-based (thinklocalactpersonal.org.uk)
- ^ right based (www.sylff.org)
- ^ Botyev Volodymyr/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ konstruksi sosial (www.unicef.org)
- ^ Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 (peraturan.bpk.go.id)
- ^ Bisindo (mediabangsa.co.id)
- ^ orang disabilitas penglihatan (sapdajogja.org)
- ^ (Dokumentasi Polri) (tribratanews.polri.go.id)
Authors: Lidwina Inge Nurtjahyo, Associate professor, Universitas Indonesia