Pelaksanaan MBG justru mengganggu tata kelola gizi di Indonesia
- Written by Muhammad Iqbal Hafizon, Researcher & Senior Analyst for Health Policy, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI)
● Indonesia telah berupaya membangun kembali tata kelola gizi berorientasi pangan lokal, bergizi seimbang, dan beragam.
● Kehadiran MBG justru mengganggu perkembangan tata kelola gizi selama dekade terakhir.
● Selain mengabaikan standar keamanan pangan, pelaksanaan MBG yang terpusat mengurangi pelibatan komunitas dalam upaya pemenuhan gizi.
Asih (bukan nama sebenarnya) membagikan pengalamannya sebagai ibu menyusui penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG). Sejak Juni lalu, ibu hamil/menyusui, serta balita di daerahnya Palembang, Sumatra Selatan, mulai menerima biskuit rasa susu, bubur makanan pendamping air susu ibu (MPASI), hingga susu formula.
Hal serupa dialami Ranti, ibu dengan dua anak berusia 2 dan 4 tahun di Karanganyar, Jawa Tengah. Ia mendapatkan bubur MPASI untuk anak usia 6 bulan. Ranti juga memperoleh menu siap saji, seperti nasi dengan abon kering, spageti, tempe goreng tepung, serta sayuran yang hanya berupa timun dan selada.
Padahal sebelum ada MBG, Ranti dan Asih selalu mendapatkan ikan, telur, dan buah dari program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Posyandu[1] yang dikhususkan untuk balita, ibu hamil dan menyusui.
Kepada kami, Asih dan Ranti mengaku tidak nyaman karena merasa menu yang mereka terima dari MBG bertentangan dengan pedoman pemberian makanan bayi dan anak[2] dari PMT Posyandu.
Pedoman yang diluncurkan sejak 2014 tersebut justru mendorong penggunaan bahan pangan lokal dengan menu makanan bergizi seimbang[3], seperti bubur ikan jagung, sup ikan labu kuning, dan puding telur ubi ungu. Pedoman ini juga tidak menyarankan penggunaan pangan ultraproses dalam menu makanan balita, ibu hamil dan menyusui.
Ironisnya, kehadiran MBG justru mengganggu perkembangan tata kelola gizi di Indonesia yang sudah diupayakan dalam satu dekade terakhir.
Tata kelola gizi dari tahun ke tahun
Upaya membangun ulang tata kelola gizi di Indonesia dalam dekade terakhir ditandai dengan terbitnya Permenkes No. 14/2014 mengenai pedoman gizi seimbang, disertai petunjuk teknisnya: Isi Piringku[4].
Kebijakan ini salah satunya menganggap bahwa susu tak lagi relevan sebagai penyempurna pemenuhan gizi[5]. Sebagai gantinya, pemenuhan mikronutrien diprioritaskan bersumber dari pangan lokal yang beragam, seperti ikan, daging merah, ayam, dan telur.
Pada periode 2019-2021, pemerintah memperkenalkan Permenkes No. 28/2019[6] mengenai angka kecukupan gizi (AKG), serta Perpres No. 72/2021[7] mengenai percepatan penanggulangan stunting.
Secara garis besar, Permenkes AKG[8] mengatur standar minimal biaya program gizi dalam kebijakan jaminan sosial yang dihitung berdasarkan pangan lokal.
Adapun Perpres Stunting[9] menjadi landasan pemenuhan gizi pada seribu hari pertama kehidupan anak. Pelaksanaan perpres ini tidak terpusat, melibatkan pemerintah daerah hingga masyarakat sebagai pelaksananya.
Banyak daerah kemudian mengeluarkan peraturan daerah untuk melokalisasi aturan tersebut, seperti pengalihan telur menjadi ikan sebagai sumber protein berbasis pangan lokal[10].
Read more: Ini alasan penerapan label peringatan & cukai makanan tinggi gula-garam tidak bisa ditunda[11]
Pada 2022, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Empat Menteri mengenai Aksi Bergizi[12].
Program gizi komprehensif[13] ini menyasar anak usia sekolah dengan mengkombinasikan aktivitas fisik, edukasi gizi, suplementasi gizi (pemberian tablet tambah darah), dan sarapan bergizi bersama.
Selain siswa, semua komponen ekosistem pangan di sekolah menjadi penerima manfaatnya mulai dari guru, orang tua, hingga petugas kantin. Paket intervensi yang diberikan kepada siswa juga disesuaikan dengan persoalan gizi setiap individu, sehingga program ini jadi lebih tepat sasaran.
Pada 2023-2024, UU No. 17/2023 tentang Kesehatan disahkan, disusul dengan pengesahan Peraturan Pemerintah No. 28 /2024. Keduanya merupakan pilar strategis dalam program pemenuhan gizi di luar usia seribu hari pertama kehidupan.
Kedua aturan ini mengintegrasikan program pemenuhan gizi dengan pemantauan status gizi, pendidikan gizi, dan pemberian suplemen gizi sepanjang siklus hidup.
Selain itu, kedua regulasi menekankan pentingnya pengendalian faktor komersial yang memengaruhi kesehatan, seperti pembatasan pemasaran dan sponsorship produk pangan tinggi gula, garam, lemak. Lalu, pelarangan pemasaran susu formula yang dapat mengganggu pemberian ASI eksklusif.
Sejumlah kekurangan dalam penerapannya memang masih ada, seperti beban berlebih kader kesehatan tanpa insentif yang layak, kualitas pendataan dan pelaporan, hingga belum optimalnya supervisi di lapangan.
Ditambah lagi, masalah penyusunan berbagai aturan turunan hingga penyelarasan kebijakan pada sektor di luar kesehatan.
Namun secara prinsip, pengalaman dan pengetahuan yang dibangun selama satu dekade terakhir sudah cukup untuk menjadi fondasi pemenuhan gizi di Indonesia dengan sistem desentralisasi, berbasis komunitas, berorientasi pada pangan lokal, disertai upaya pengendalian faktor komersial yang memengaruhi kesehatan.
MBG mengganggu tata kelola gizi
Alih-alih menyempurnakan tata kelola gizi yang sudah terbangun, pendekatan MBG justru berlawanan dengan pendekatan sebelumnya.
Riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) tahun 2025[15] menemukan bahwa pelaksanaan MBG terpusat sebatas pada aktivitas Badan Gizi Nasional (BGN) dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Selain itu, koordinasi antara BGN dengan kementerian dan lembaga lain hanya berlandaskan nota kesepahaman[16].
Pemerintah daerah tidak berwenang[17] dalam perencanaan, penganggaran, penerapan, dan pemantauan program. Ini semakin mengukuhkan tata kelola MBG yang sentralistik.
Read more: Carut marut MBG: Peran daerah kalah dominan oleh militer[18]
Belum lagi tidak ada aturan mengenai pembatasan pengadaan pangan ultraproses tinggi gula, garam, dan lemak[19].
Riset CISDI[20] yang terbit pada awal tahun ini menunjukkan 45% dari 29 sampel menu MBG mengandung susu berperisa tinggi gula sebagai komponen menunya.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, pada Juni 2025 bahkan menyebutkan akan menggencarkan kembali 4 sehat 5 sempurna[21] melalui program MBG. Padahal, pendekatan ini sudah lama ditinggalkan, digantikan dengan pedoman gizi seimbang.
Kekhawatiran MBG akan mengganggu tata kelola gizi yang sudah ada selama ini pun menguat. Apa yang dialami Asih dan Ranti, misalnya, menunjukkan bagaimana MBG justru bisa menumpulkan perilaku melek gizi masyarakat yang sudah terbentuk dalam beberapa tahun terakhir.
Selain itu, kehadiran MBG justru bisa berdampak terhadap layanan gizi maupun ekosistem pangan pendukungnya, sehingga berlawanan terhadap upaya pencegahan penyakit tidak menular, seperti diabetes dan hipertensi.
Bagaimana seharusnya?
Ada tiga rekomendasi[22] agar pelaksanaan MBG tetap sejalan dengan perkembangan tata kelola gizi yang sudah terbangun selama ini.
Pertama, tata kelola MBG harus bersifat tidak terpusat, berbasis komunitas, dan terintegrasi dengan sistem kesehatan. Pendekatan tidak terpusat memungkinkan pemerintah daerah menyesuaikan program MBG dengan persoalan gizi di wilayahnya.
Kedua, pemerintah perlu membentuk struktur koordinasi lintas sektor secara formal dalam Perpres MBG. Libatkan pula masyarakat sipil[23], mulai dari komite sekolah (termasuk orang tua), akademisi, pakar, kader kesehatan, hingga organisasi masyarakat sipil sebagai tim pengarah MBG[24] di tingkat nasional maupun daerah.
Terakhir, agar tujuan MBG dalam memperbaiki pola makan sehat masyarakat tercapai, program ini harus memprioritaskan pangan segar lokal sekaligus memastikan pembatasan penggunaan produk pangan ultraproses yang tinggi gula, garam, dan lemak.
References
- ^ Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Posyandu (ayosehat.kemkes.go.id)
- ^ pemberian makanan bayi dan anak (repository.kemkes.go.id)
- ^ menu makanan bergizi seimbang (ayosehat.kemkes.go.id)
- ^ Isi Piringku (ayosehat.kemkes.go.id)
- ^ tak lagi relevan sebagai penyempurna pemenuhan gizi (ayosehat.kemkes.go.id)
- ^ Permenkes No. 28/2019 (peraturan.bpk.go.id)
- ^ Perpres No. 72/2021 (peraturan.bpk.go.id)
- ^ Permenkes AKG (stunting.go.id)
- ^ Perpres Stunting (peraturan.bpk.go.id)
- ^ sumber protein berbasis pangan lokal (cisdi.org)
- ^ Ini alasan penerapan label peringatan & cukai makanan tinggi gula-garam tidak bisa ditunda (theconversation.com)
- ^ Surat Keputusan Bersama Empat Menteri mengenai Aksi Bergizi (ayosehat.kemkes.go.id)
- ^ Program gizi komprehensif (www.unicef.org)
- ^ Aboe Yazied / Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) tahun 2025 (cisdi.org)
- ^ hanya berlandaskan nota kesepahaman (kerjasamahumas.pom.go.id)
- ^ tidak berwenang (cisdi.org)
- ^ Carut marut MBG: Peran daerah kalah dominan oleh militer (theconversation.com)
- ^ pengadaan pangan ultraproses tinggi gula, garam, dan lemak (data.worldobesity.org)
- ^ Riset CISDI (cisdi.org)
- ^ menggencarkan kembali 4 sehat 5 sempurna (www.antaranews.com)
- ^ tiga rekomendasi (cisdi.org)
- ^ masyarakat sipil (darpg.gov.in)
- ^ tim pengarah MBG (centrodeexcelencia.org.br)
Authors: Muhammad Iqbal Hafizon, Researcher & Senior Analyst for Health Policy, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI)
Read more https://theconversation.com/pelaksanaan-mbg-justru-mengganggu-tata-kelola-gizi-di-indonesia-269113



