Asian Spectator

Men's Weekly

.

Jebakan ritme kerja modern: Selalu aktif, selalu lelah, kadang kasar

  • Written by Marc Fullman, Docotoral Researcher in Organisational Behaviour, University of Sussex Business School, University of Sussex
Jebakan ritme kerja modern: Selalu aktif, selalu lelah, kadang kasar

Jika tugas pertamamu hari ini adalah memilah kotak masuk email yang penuh pada pukul 6 pagi, kamu tidak sendirian.

Sebuah laporan Microsoft terbaru[1] yang berjudul “Memahami Hari Kerja Tanpa Batas” menemukan bahwa 40% pengguna Microsoft 365 yang online pada jam tersebut sudah memindai email mereka—dan rata-rata pekerja akan menerima 117 email sebelum jam menunjukkan tengah malam.

Belum cukup sampai di situ, pukul 8 pagi notifikasi Microsoft Teams melampaui email bagi sebagian besar pekerja. Rata-rata seorang pekerja menerima 153 pesan obrolan sepanjang hari. Di Indonesia, situasi ini mirip dengan banjir notifikasi pesan WhatsApp, platform yang paling banyak digunakan di negara ini[2], termasuk oleh para pekerja.

Lebih lanjut, laporan Microsoft tersebut[3] menyatakan bahwa meski rapat kerap mengambil waktu di pukul 9–11 pagi, interupsi tetap datang setiap dua menit sekali. Beban kerja yang terus-menerus ini berarti sepertiga kalangan profesional harus membuka kembali inbox email mereka dan menjawab lebih banyak email pada pukul 10 malam.

Singkatnya, kajian Microsoft tentang “tiga termin penting” harian ini (pagi sekali, siang hari, dan larut malam) menggambarkan siklus ritme kerja yang tak pernah berhenti.

Dari perspektif psikologi okupasi, statistik ini lebih dari sekadar hal sepele yang menarik. Statistik ini menandakan serangkaian bahaya psikososial.

Teori Batas[4] menyatakan bahwa pemulihan bergantung pada batasan yang jelas dan tegas—baik secara psikologis maupun waktu—antara pekerjaan dan kehidupan lainnya. Temuan Microsoft menunjukkan batasan tersebut menghilang. Ini mencakup 29% pengguna yang memeriksa email setelah pukul 10 malam.

Sebuah studi kepada para profesional Belanda[5] juga menemukan bahwa penggunaan ponsel pintar yang lebih intensif setelah jam kerja memprediksi dampak psikis dan kelelahan yang lebih buruk keesokan harinya.

Hal ini dapat memiliki konsekuensi yang lebih luas. Ketika orang-orang sibuk, terburu-buru, atau tertekan, salah satu hal pertama yang terganggu adalah regulasi perilaku daring mereka.

Sebuah penelitian[6] menunjukkan bahwa pesan digital yang ambigu atau singkat muncul saat kita sedang terkuras energi. Hal ini jelas dapat mengganggu ketenangan jiwa penerimanya.

Dalam sebuah studi tahun 2024[7] terhadap para pekerja di Inggris dan Italia, ketidaksopanan dalam email antar rekan kerja memprediksi konflik kehidupan kerja dan kelelahan melalui “invasi teknologi”. Hal tersebut merupakan hasil kalkulasi kondisi seorang pekerja yang terpapar banjir pesan yang tidak menyenangkan secara terus-menerus.

Seorang pria terkejut ketika menatap layar laptop
Invasi teknologi dapat menyebabkan konflik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi serta kelelahan emosional. fizkes/Shutterstock[8]

Penelitian doktoral [9] saya meneliti bagaimana pekerja merespons pesan yang mereka terima, dan mengungkap nuansanya pada berbagai platform komunikasi. Di antara 300 pekerja di Inggris yang terlibat, pesan yang identik dinilai lebih tidak sopan di email dibandingkan di Teams, terutama ketika bersifat informal.

Para pekerja tersebut menafsirkan 50% pesan yang mereka terima di email bernuansa tidak sopan. Adapun di Microsoft Teams hanya 30% pesan yang dianggap tidak sopan.

Temuan ini menunjukkan bahwa pilihan platform secara signifikan memengaruhi bagaimana pesan diterima dan ditafsirkan. Dengan menggunakan wawasan ini, organisasi dapat membuat keputusan yang tepat tentang saluran komunikasi, dan berpotensi mengurangi stres di tempat kerja serta meningkatkan kesejahteraan karyawan dalam prosesnya.

Microsoft menganggap AI akan menyelamatkan pekerja dari kondisi ini. Para bos agen ini dapat meringkas kotak masuk, menyusun balasan, dan membebaskan manusia untuk pekerjaan yang lebih rumit.

Namun, data tersebut mengungkap kontradiksi budaya. Manajer memberi tahu staf untuk berhenti bekerja, tetapi lembar kerja penilaian mereka menunjukkan hal yang berbeda. Dalam satu rangkaian eksperimen[10], atasan yang memuji detoks digital di akhir pekan tadi juga menilai mereka yang melakukan detoks kurang mudah dipromosikan dibandingkan rekan kerja yang terpaku pada kotak masuk mereka.

Tidak heran jika data Microsoft sendiri menunjukkan puncak larut malam yang sama, meskipun ada panduan kesejahteraan untuk berhenti bekerja setelah jam kerja. Tanpa mengubah cara komitmen ditandai dan diberi penghargaan, alat yang lebih cepat berisiko mempercepat pekerjaan alih-alih menghancurkannya.

1. Tingkat individu – biarkan mereka tetap pegang kendali

Fasilitasi “jam tenang” dan ajari karyawan untuk menonaktifkan notifikasi yang tidak mendesak. Penelitian tentang kontrol batas[11] menunjukkan bahwa kendali atas konektivitas efektif mengurangi kelelahan yang disebabkan oleh email di luar jam kerja.

2. Tingkat tim – piagam komunikasi

Tim harus menyepakati norma-norma komunikasi yang eksplisit. Ini dapat mencakup pembatasan jumlah undangan ke rapat dan penekanan agenda. Piagam[12] sederhana bisa memulihkan prediktabilitas bagi pekerja dan mengurangi “kelelahan keputusan”.

3. Tingkat organisasi – atur ulang metrik

Organisasi dapat beralih dari visibilitas (titik hijau dan balasan instan) ke metrik berbasis hasil untuk produktivitas. Hal ini menghilangkan insentif bagi pekerja untuk tetap bekerja daring dan sejalan dengan bukti bahwa otonomi adalah sumber daya utama[13].

4. Tingkat teknologi – AI untuk eliminasi, bukan akselerasi

Tempat kerja harus menggunakan asisten AI untuk menghilangkan tugas-tugas bernilai rendah (misalnya, menyortir email atau menyusun notulen rapat), bukan hanya mempercepatnya.

Kemudian, mereka harus melakukan audit beban kerja untuk memastikan waktu yang dihemat diinvestasikan kembali dalam pekerjaan mendalam[14], bukan hanya dihabiskan untuk rapat tambahan.

Basis data Microsoft sangat besar, tetapi ada dua poin penting yang perlu diperhatikan. Pertama, yurisdiksi Eropa dengan undang-undang “hak untuk memutuskan hubungan kerja”[15] mungkin tidak tercantum dalam angka-angka tersebut. Kedua, beberapa metrik (misalnya, gangguan) dihitung berdasarkan seperlima pengguna paling aktif, sehingga berpotensi melebih-lebihkan pengalaman yang umum.

Namun, jika angka-angka dalam laporan Microsoft terasa familier, justru itulah intinya. Teknologi yang dirancang untuk membebaskan pekerja kini menuliskan hari-hari mereka menit demi menit. Para peneliti psikologi okupasi memperingatkan bahwa tanpa penetapan batas[16] yang disengaja, meningkatnya tuntutan pekerjaan digital akan terus membebani kesejahteraan dan menghambat kinerja.

AI bisa jadi pemutus stres, jika didukung budaya dan struktur yang memungkinkan karyawan benar-benar lepas dari pekerjaan.

Jam kerja yang tanpa batas bukanlah hukum alam, melainkan cacat desain. Memperbaikinya akan membutuhkan lebih dari sekadar perangkat lunak yang lebih cepat—ini akan menuntut keputusan kolektif untuk menghargai fokus, pemulihan, dan kesopanan sama kerasnya seperti pekerja saat ini menghargai ketersediaan.

References

  1. ^ laporan Microsoft terbaru (www.microsoft.com)
  2. ^ platform yang paling banyak digunakan di negara ini (www.instagram.com)
  3. ^ laporan Microsoft tersebut (www.microsoft.com)
  4. ^ Teori Batas (www.jstor.org)
  5. ^ para profesional Belanda (psycnet.apa.org)
  6. ^ Sebuah penelitian (link.springer.com)
  7. ^ sebuah studi tahun 2024 (link.springer.com)
  8. ^ fizkes/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  9. ^ Penelitian doktoral (profiles.sussex.ac.uk)
  10. ^ rangkaian eksperimen (www.sciencedirect.com)
  11. ^ Penelitian tentang kontrol batas (onlinelibrary.wiley.com)
  12. ^ Piagam (psycnet.apa.org)
  13. ^ otonomi adalah sumber daya utama (dx.doi.org)
  14. ^ diinvestasikan kembali dalam pekerjaan mendalam (iaap-journals.onlinelibrary.wiley.com)
  15. ^ “hak untuk memutuskan hubungan kerja” (theconversation.com)
  16. ^ penetapan batas (doi.org)

Authors: Marc Fullman, Docotoral Researcher in Organisational Behaviour, University of Sussex Business School, University of Sussex

Read more https://theconversation.com/jebakan-ritme-kerja-modern-selalu-aktif-selalu-lelah-kadang-kasar-262438

Magazine

Research: Endemic anoa and babirusa show surprising resilience on small islands

● Small-island populations are thriving in their small numbers.● Small islands can be natural refugia for endangered megafauna.● Protecting ecosystems on small islands is crucial for...

Jebakan ritme kerja modern: Selalu aktif, selalu lelah, kadang kasar

A groaning inbox by 6am?Nanci Santos Iglesias/ShutterstockJika tugas pertamamu hari ini adalah memilah kotak masuk email yang penuh pada pukul 6 pagi, kamu tidak sendirian. Sebuah laporan Microsoft te...

Intoleransi agama kian memburuk di tengah rezim yang makin otoriter

Gedung Gereja Katedral yang terlihat dari Jendela Masjid Istiqlal di Jakarta Pusat, Indonesia.ardiwebs/Shutterstock● Deretan peristiwa intoleransi menjadi sinyal memburuknya perlindungan hak asa...