Asian Spectator

Men's Weekly

.

Pelarangan bendera One Piece: Negara makin paranoid, demokrasi makin sempit

  • Written by Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
Pelarangan bendera One Piece: Negara makin paranoid, demokrasi makin sempit

● Pelarangan bendera One Piece oleh pemerintah menunjukkan adanya paranoid politik.

● Negara tak melihat aksi masyarakat sebagai ekspresi budaya, melainkan sebagai ancaman.

● Masyarakat sipil, akademisi, media, dan warga perlu menolak logika paranoid yang mempersempit makna ekspresi.

Belakangan ini netizen Indonesia ramai mengibarkan bendera One Piece menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-80, sebagai bentuk kritik simbolik terhadap pemerintah dan kondisi bangsa yang dianggap merosot.

Bendera One Piece adalah kain hitam bergambar tengkorak yang dikenal sebagai jolly roger—simbol ikonik dalam One Piece, seri manga yang ditulis oleh Eiichiro Oda[1]. Manga ini menceritakan serangkaian petualangan Monkey D. Luffy, tokoh utama dalam serial tersebut, yang bercita-cita menjadi raja bajak laut.

Lucunya, pemerintah bereaksi dengan mengecam dan melarang[2] warga mengibarkan bendera One Piece ini.

Pemerintah mengklaim aksi tersebut sebagai mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, bahkan upaya pemecah belah bangsa.

Read more: Seni perlawanan: Makin dibungkam, rakyat akan makin kuat melawan[3]

Jika melihat reaksi ketakutan berlebihan ini, sepertinya pemerintah sedang mengalami paranoid politik. Negara tampak sedang cemas, sehingga merasa perlu menegaskan kuasanya. Bahkan terhadap hal yang, secara objektif, tak membahayakan siapa pun.

Jelly Roger dan ketakutan politik

Istilah paranoid politik[4] pertama kali dikenalkan oleh sejarawan Amerika Serikat, Richard Hofstadter, dalam esainya The Paranoid Style in American Politics[5].

Dalam politik, paranoid muncul ketika penguasa memandang dunia penuh ancaman tersembunyi. Segala hal dicurigai sebagai bagian dari konspirasi, dan karena itu perlu tindakan agresif untuk membatasi kebebasan demi “melindungi kekuasaan”.

Lebih dari rasa curiga terhadap lawan politik, cara berpikir ini menganggap kekuasaan selalu terancam, bahkan dari hal-hal sepele. Musuh dianggap tidak hanya ada di luar, tetapi juga mengintai dari dalam.

Dalam kasus bendera One Piece, negara melihatnya bukan sebagai ungkapan ekspresi protes semata, tetapi sebagai sinyal ancaman dan gangguan. Sikap ini muncul karena paranoid politik tak mampu menilai situasi secara jernih.

Read more: Dari Teater Payung Hitam hingga Sukatani: Pembungkaman yang mengancam kebebasan berekspresi[6]

Dengan pola pikir semacam ini, pemerintah meyakini bahwa stabilitas hanya bisa dijaga dengan cara mengawasi dan menertibkan segala bentuk ketidakpastian—termasuk simbol-simbol budaya populer.

Reaksi terhadap bendera One Piece bukan semata tentang simbol, melainkan refleksi dari mekanisme pertahanan kekuasaan yang sedang cemas. Jadi, apapun yang tidak berasal dari narasi resmi pemerintah, akan dianggap sebagai bentuk pembangkangan.

Paranoid yang menghancurkan demokrasi

Ketika ekspresi masyarakat tak lagi dilihat sebagai bagian dari budaya, tetapi malah dicurigai sebagai makar, maka pemerintah bukan sedang bekerja dalam logika demokrasi, melainkan logika ketakutan[7]

Dalam konteks demokrasi, paranoid politik adalah racun[8] yang perlahan tapi pasti menggerogoti prinsip-prinsip kebebasan sipil.

Padahal, demokrasi yang sehat memerlukan dua syarat mendasar: kepercayaan terhadap warga dan ruang yang aman untuk perbedaan ekspresi.

Ketika negara mulai menafsirkan ekspresi budaya populer sebagai ancaman terhadap otoritas, maka yang terjadi adalah pergeseran dari prinsip keterbukaan menuju politik penertiban simbol.

Kekuasaan yang dicengkeram oleh rasa takut semacam ini tidak akan membuka dialog, melainkan dominasi. Negara lebih tertarik mengatur persepsi publik daripada mendengar keluhannya.

3 dampak pelarangan bendera One Piece

Pelarangan bendera One Piece bisa menjadi preseden berbahaya: negara merasa berhak membatasi kreativitas warganya sebagai potensi disrupsi politik.

Situasi seperti ini bisa menciptakan tiga dampak buruk bagi demokrasi.

Pertama, publik menjadi enggan mengekspresikan diri karena takut dianggap melanggar norma yang samar. Ketika negara mulai memperluas tafsir terhadap simbol dan ekspresi budaya, batas antara yang “boleh” dan “tidak boleh” menjadi kabur.

Ketidakjelasan ini melahirkan apa yang disebut sebagai chilling effect[9]. Ini adalah sebuah kondisi ketika warga secara terpaksa menyensor dirinya sendiri (self censorship) demi menghindari represi.

Alhasil, warga cenderung “bermain aman”. Kreativitas dan kebebasan berpikir jadi mandek. Padahal, demokrasi menuntut ruang yang terbuka bagi kebebasan berpendapat, selera humor, dan keberagaman ekspresi.

Ketika ruang itu digerogoti oleh ketakutan, maka yang tersisa adalah masyarakat yang bungkam. Bukan karena mereka tidak punya gagasan, tetapi karena takut salah langkah.

Kedua,* pelarangan bendera One Piece membuat negara kehilangan fokus. Alih-alih menuntaskan masalah serius seperti kemiskinan, korupsi, atau ketimpangan sosial, negara malah sibuk mengawasi simbol fiksi.

Ketika aparat bergerak cepat menurunkan bendera fiktif, tetapi lambat merespons kasus korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah, maka kepercayaan publik bisa runtuh.

Negara yang sibuk mengurusi simbol berisiko melupakan tujuan utamanya: menyejahterakan rakyat. Akibatnya, jarak antara penguasa dan warga makin melebar.

Ketiga, demokrasi berubah menjadi sekadar pertunjukan kepatuhan simbolik, bukan arena pertarungan ide. Warga dituntut menunjukkan kesetiaan melalui bahasa, lambang, dan ekspresi yang telah disetujui negara.

Perbedaan pandangan, humor politik, atau bentuk kritik alternatif dianggap tidak sopan, tidak nasionalis, atau bahkan subversif. Demokrasi pun kehilangan maknanya. Ia bukan lagi tempat untuk bertukar gagasan secara terbuka, tetapi arena penyesuaian diri terhadap satu narasi dominan.

Pengibaran bendera One Piece sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah sedang viral di media sosial.
Siswa di Indonesian mengibarkan bendera merah putih dalam perayaan 17 Agustus. Tiwuk Suwantini/Shutterstock[10]

Dalam atmosfer seperti ini, keberanian berpikir berbeda menjadi sesuatu yang berisiko, dan masyarakat kehilangan daya kritisnya sebagai pengontrol kekuasaan.

Negara tak percaya rakyatnya?

Negara yang percaya diri tidak akan takut terhadap bendera bajak laut anime. Sebaliknya, negara yang paranoid akan menganggap semua bentuk ekspresi sebagai konspirasi tersembunyi.

Masyarakat sipil, akademisi, media, dan publik luas perlu menolak logika paranoid yang mempersempit makna ekspresi ini.

Simbol-simbol budaya populer bukan musuh demokrasi. Justru di dalamnya terkandung potensi untuk memperluas imajinasi kebangsaan, merayakan perbedaan, dan memperkaya makna kemerdekaan.

Read more: Menyempitnya ruang sipil: Bagaimana kelompok pembela HAM kini makin rentan dikriminalisasi oleh negara[11]

Menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia, kita menyaksikan paradoks yang menyedihkan. Di satu sisi pemerintah bicara soal kebebasan, tapi di sisi lain membatasi ekspresi masyarakat.

Dalam peringatan kemerdekaan, negara seharusnya membuka ruang bagi imajinasi dan keberagaman suara, bukannya merampas kemerdekaan rakyat atas nama stabilitas kekuasaan yang rapuh karena rasa takut berlebihan.

Authors: Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia

Read more https://theconversation.com/pelarangan-bendera-one-piece-negara-makin-paranoid-demokrasi-makin-sempit-262517

Magazine

Pelarangan bendera One Piece: Negara makin paranoid, demokrasi makin sempit

Bendera Jolly Rogers dari seri manga One Piece Anime Rave/X, CC BY● Pelarangan bendera One Piece oleh pemerintah menunjukkan adanya paranoid politik.● Negara tak melihat aksi masyarakat se...

Research: Endemic anoa and babirusa show surprising resilience on small islands

● Small-island populations are thriving in their small numbers.● Small islands can be natural refugia for endangered megafauna.● Protecting ecosystems on small islands is crucial for...

Jebakan ritme kerja modern: Selalu aktif, selalu lelah, kadang kasar

A groaning inbox by 6am?Nanci Santos Iglesias/ShutterstockJika tugas pertamamu hari ini adalah memilah kotak masuk email yang penuh pada pukul 6 pagi, kamu tidak sendirian. Sebuah laporan Microsoft te...