Bagaimana puisi dapat membantu kita berempati dan menangkal polarisasi
- Written by Alex Hubbard, Associate lecturer in English Literature and Creative Writing, Aberystwyth University

Masyarakat semakin terpecah belah dan kurang informasi. Pada Januari 2024, laporan World Economic Forum[1] mengidentifikasi misinformasi dan disinformasi sebagai “risiko global paling parah yang diantisipasi selama dua tahun ke depan”.
Laporan tersebut juga memprediksi “persepsi terhadap kenyataan kemungkinan juga akan terpolarisasi"—dan bahwa kerusuhan akibat informasi yang tidak dapat diandalkan dapat menyebabkan "protes kekerasan … kejahatan kebencian … konfrontasi sipil dan terorisme”.
Banyak orang sepakat bahwa diperlukan sesuatu untuk menjembatani kesenjangan pandangan yang semakin melebar di antara kita.
Menurut saya, ini bukan sekadar masalah kumpulan fakta alternatif, tetapi kegagalan dalam memahami dan berempati dengan hal-hal yang berada di luar pengalaman diri kita sendiri.
Smartphone—yang menyediakan sumber informasi dari seluruh dunia kepada pengguna—dapat memberikan kesempatan tak terbatas untuk mempelajari perspektif dan pengalaman lain. Namun, penelitian menunjukkan[2] media sosial semakin mengurung pengguna dalam minat mereka sendiri.
Situasi ini menjebak kita dalam lingkaran setan algoritma[3]—kerap disebut sebagai ruang gema (echo chamber)—tempat pengalaman, nilai, dan keinginan kita sendiri dipandang sebagai norma.
Sebaliknya, membaca puisi dapat berfungsi sebagai latihan untuk melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda. Sebab, puisi mendorong orang untuk berimajinasi di luar pengalaman mereka sendiri.
Puisi selalu bersifat politis. Penulis dan aktivis hak-hak sipil Audre Lorde[4] berpendapat bahwa puisi menghasilkan “intisari pengalaman yang mencerahkan”. Artinya, dengan menyaring aspek-aspek suatu pengalaman, puisi dapat mengungkapkan kebenaran yang kuat tentang realitas.
Puisi Lorde Afterimages[5] (1981) merekam kenangannya saat berusia 21 tahun di tahun yang sama ketika Emmett Till yang berusia 14 tahun dihakimi massa[6] di Mississippi, Amerika Serikat (AS).
Pengungkapan puisi ini sederhana. Bagi warga Amerika kulit hitam, kedewasaan berarti berdamai dengan ancaman kekerasan rasial ekstrem yang terus-menerus.
Keberhasilan puisi sering kali bergantung pada kemampuan untuk menunjukkan kepada orang-orang tentang aspek-aspek dunia yang mungkin mereka abaikan, tekan, atau lewatkan begitu saja.
Beberapa puisi bereksperimen dengan bentuk untuk menghasilkan efek yang mengungkap ini. Estate Fragments[7] (2014), contohnya, adalah puisi panjang karya Gavin Goodwin, yang mengeksplorasi perumahan dewan Bettws di Newport, AS. Puisi ini menyandingkan kutipan dari tulisan akademis dengan wawancara dengan warga—sebuah praktik yang disebut sebagai “puisi temuan”.
Goodwin mencoba mempertimbangkan dampak pengambilan keputusan dan diskusi politik yang tampaknya abstrak terhadap suatu tempat dan komunitas tertentu. Perhatikan bait berikut:
Meningkatnya ketimpangan
meningkatkan taruhannya
‘Orang yang lebih muda darimu
lebih berbahaya.’
Dua baris pertama mengutip Common Culture[8] karya Paul Willis (1990), sebuah studi sosiologis tentang budaya anak muda. Kutipan kedua berasal dari wawancara dengan seorang warga.
Baik baris pertama maupun kutipan sama-sama menceritakan kisah ketimpangan ekonomi nasional yang menyebabkan orang-orang di komunitas kelas pekerja saling takut.
Puisi lirik yang lebih konvensional tetap dapat mengungkap realitas sosial-politik. Kumpulan puisi North End Love Songs[9] (2012) karya penulis Kanada, Katherena Vermette, mengeksplorasi North End di Winnipeg, Kanada. Dalam sebuah wawancara CBC[10], Vermette membahas bagaimana masyarakat setempat:
Orang-orang yang dikritik dan disalahkan … tetapi yang saya coba lakukan dalam pekerjaan saya adalah melihat lebih dekat dan lebih dalam … dan melihat bahwa mereka bukanlah seperti yang terlihat.
Misinformasi dan polarisasi menyebabkan ketegangan sosial, karena kelompok tertentu digeneralisasi dan disalahkan.
Puisi Vermette yang berjudul Indians[11], secara eksplisit mengeksplorasi kehancuran yang disebabkan oleh prasangka terhadap masyarakat dan tempat.
Puisi ini mengenang saudara laki-laki Vermette yang hilang sebelum ditemukan di Sungai Merah, sebuah sungai deras yang melintasi Winnipeg.
Puisi ini berfokus pada sikap apatis kepolisian Winnipeg, yang memberi tahu keluarga bahwa “tidak ada gunanya mencari”, karena pria itu akan kembali ketika “dia bosan/atau bangkrut”.
Pihak berwenang sampai pada kesimpulan ini bukan melalui investigasi, tetapi karena mengkriminalisasi saudara laki-laki Vermette dengan stereotip rasis.
Sajak ini kemudian membandingkan kesimpulan polisi dengan apa yang “diketahui” oleh keluarga tersebut. Bukan hanya saudara laki-lakinya yang tenggelam, tetapi juga “tanahnya dibanjiri/dengan mayat orang Indian”.
Nasib saudara laki-lakinya juga merupakan nasib banyak orang Métis lainnya di Winnipeg. Pengalaman kehilangan pribadi ini menjadi bukti bagi banyak kehilangan lainnya:
orang Indian mabuk
tidakkah kita tahu itu?
melakukan hal-hal bodoh
seperti menjadi muda
seperti pulang sendirian
seperti berjalan menyeberangi sungai yang membeku
tidak benar-benar beku
Vermette mengaitkan kesedihan dengan perjuangan melawan apatisme dan penindasan sistematis. Makna politik, manusia, dan tempat dalam puisi ini merupakan bagian sentral dalam nuansa puitisnya.
Adanya kejelasan tersebut menjadi pertanda bahwa puisi ini terhubung secara bermakna dengan isu-isu politik penting—menyoroti tingginya jumlah orang hilang yang ditemukan dan diduga berada di Sungai Merah.
Oleh karena itu, puisi ini juga dapat dikaitkan dengan inisiatif akar rumput penting seperti Drag the Red[15], yang bertujuan untuk “menemukan jawaban tentang orang-orang terkasih yang hilang” yang mungkin terdampar di sungai.
Walaupun North End Love Songs diterbitkan dua tahun sebelum terbentuknya Drag the Red, puisi dan inisiatifnya jelas dibentuk oleh peristiwa traumatis dan sosial politik yang sama.
Dalam konteks Indonesia, puisi dengan semangat yang sama dapat ditemukan pada puisi Okky Madasari yang berjudul Kepala Babi:
Kau kirim kepala babi kami olah dan sajikan rica pedas perlawanan yang akan membuatmu mulas mencret-mencret sepanjang masa jabatan
Kau kirim bangkai tikus kami ramu jadi teluh yang menghantui malammu dalam wajah para korban dan nyanyian dosa-dosamu
Kau kirim teror dan ketakutan kami matangkan pembangkangan
Puisi ini ditulis Okky pada 22 Maret 2025 lalu untuk merespons teror kepala babi kepada jurnalis Tempo.
Di tengah algoritma berita yang semakin membatasi kita dalam cara berpikir dan persepsi yang nyaman, pernyataan Lorde bahwa puisi “bukanlah kemewahan” memiliki makna baru. Kini, puisi bukan hanya ekspresi, tapi juga menjadi kebutuhan politik.
References
- ^ World Economic Forum (www.weforum.org)
- ^ penelitian menunjukkan (www.sciencedirect.com)
- ^ dalam lingkaran setan algoritma (www.google.co.uk)
- ^ Audre Lorde (rhinehartibenglish.weebly.com)
- ^ Afterimages (www.poetryfoundation.org)
- ^ Emmett Till yang berusia 14 tahun dihakimi massa (www.loc.gov)
- ^ Estate Fragments (www.knivesforksandspoonspress.co.uk)
- ^ Common Culture (www.google.co.uk)
- ^ North End Love Songs (katherenavermette.com)
- ^ wawancara CBC (www.youtube.com)
- ^ Indians (blog.nfb.ca)
- ^ Teng Guan/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Wiki Commons (commons.wikimedia.org)
- ^ CC BY (creativecommons.org)
- ^ Drag the Red (www.cbc.ca)
Authors: Alex Hubbard, Associate lecturer in English Literature and Creative Writing, Aberystwyth University