Abolisi Tom Lembong dan amnesti Hasto Kristiyanto: Keputusan hukum bermuatan politis
- Written by Muammar Syarif, Podcast Producer, The Conversation

Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Keputusan ini diumumkan pada 31 Juli 2025.
Pengumuman ini disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad usai rapat konsultasi antara pemerintah, pimpinan DPR, dan seluruh fraksi. Dalam rapat tersebut, DPR juga menyetujui pemberian amnesti kepada 1.116 orang, termasuk Hasto.
Secara sederhana, abolisi adalah hak presiden untuk menghentikan proses hukum terhadap seseorang yang tengah menghadapi tuntutan pidana, bahkan sebelum kasusnya diputus pengadilan. Sementara amnesti adalah pengampunan yang diberikan presiden untuk menghapus hukuman pidana yang sudah dijatuhkan oleh pengadilan.
Dalam konteks ini, keputusan Presiden berlaku atas dua tokoh politik yang sempat terseret kasus hukum.
Tom Lembong sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus korupsi impor gula, sedangkan Hasto dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara dalam perkara suap yang melibatkan Harun Masiku.
Apakah pemberian amnesti dan abolisi ini bermuatan politik?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Andhik Beni Saputra, akademisi dari departemen politik Universitas Andalas.
Menurutnya, keputusan ini dapat memperkuat pola patronase dalam sistem demokrasi Indonesia. Ia menilai, pemberian amnesti dan abolisi terhadap pejabat yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan bukan hanya menimbulkan kesan favoritisme, tetapi juga berpotensi mencederai prinsip keadilan.
Ia menyoroti secara khusus kasus Tom Lembong, yang menurutnya tidak bisa dilepaskan dari konteks politik yang lebih luas. Waktu pemberian abolisi kepada Tom dipandang mencurigakan, karena bisa saja menjadi bagian dari strategi untuk membungkam atau mencegah tumbuhnya kekuatan oposisi baru di masa mendatang.
Lebih jauh, Andhik juga mengulas kondisi oposisi politik di Indonesia yang menurutnya masih menghadapi berbagai tantangan serius, terutama dalam era pasca-Reformasi.
Walaupun secara formal keberadaan oposisi tetap dijamin, secara substansi kekuatan mereka sering kali melemah karena minimnya dukungan, baik dari sisi sumber daya maupun kepercayaan publik.
Partai-partai oposisi cenderung bergabung dengan pemerintah untuk memperoleh akses terhadap kekuasaan dan kesempatan mengimplementasikan agenda mereka. Situasi ini menciptakan kekosongan dalam oposisi kritis yang seharusnya memainkan peran penting dalam mekanisme check and balance.
Andhik melihat bahwa politik Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh pendekatan yang pragmatis dan transaksional. Proses politik, terutama saat pencalonan hingga pascapemilu, sering kali diwarnai oleh kompromi antarelite dan pertukaran kepentingan yang bersifat jangka pendek.
Meski demikian, ia juga mengakui adanya perkembangan yang menjanjikan. Partisipasi publik kini menunjukkan tren yang semakin kritis, di mana para pemilih mulai menuntut lebih banyak akuntabilitas dari para kandidat.
Tekanan publik untuk menghadirkan rekam jejak dan visi kebijakan yang jelas menjadi tanda bahwa demokrasi Indonesia, perlahan tapi pasti, sedang bergerak menuju kematangan.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Authors: Muammar Syarif, Podcast Producer, The Conversation