Asian Spectator

Men's Weekly

.

Abolisi dan amnesti: Sinyal Prabowo lepas dari bayang-bayang Jokowi?

  • Written by Zainal Abidin, Dosen, Universitas Padjadjaran
Abolisi dan amnesti: Sinyal Prabowo lepas dari bayang-bayang Jokowi?

● Keputusan Prabowo memberikan amnesti dan abolisi berpotensi mengubah konstelasi politik.

● Prabowo hendak menunjukkan dirinya sebagai pemimpin dengan arah kekuasaan sendiri, tak lagi dibayangi Jokowi.

● Prabowo harus membuktikan abolisi dan amnesti bukan bentuk impunitas politik, melainkan visi keadilan yang inklusif.

Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan abolisi kepada bekas menteri perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti kepada elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto telah memantik gelombang interpretasi politik di ruang publik.

Kritik tajam[1] datang dari aktivis antikorupsi dan sebagian masyarakat sipil yang mengkhawatirkan dampaknya terhadap integritas hukum dan agenda pemberantasan korupsi.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, meskipun pemberian abolisi dan amnesti dari presiden itu sah, prosesnya sarat dengan nuansa politik dan potensi “barter kekuasaan”[2].

Read more: Abolisi Tom Lembong dan amnesti Hasto Kristiyanto: Keputusan hukum bermuatan politis[3]

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) memperingatkan[4] langkah ini bisa mencoreng independensi peradilan dan pemberantasan korupsi.

Di tengah ekspektasi publik terhadap kualitas dan independensi kepemimpinan Prabowo, langkah ini membuka babak baru dalam konstelasi kekuasaan nasional dan konsekuensi politik yang signifikan. Salah satunya tentang kemandirian politik Prabowo di balik bayang-bayang Joko “Jokowi” Widodo.

Lembong dan Hasto: Dua wajah rekonsiliasi

Sejak awal, banyak kalangan menilai vonis terhadap Lembong bermuatan politis. Apalagi Lembong merupakan pendukung utama Anies Baswedan, rival utama Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024.

Tom Lembong diberikan abolisi oleh Prabowo atas kasus impor gula yang menjeratnya.
Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong (tengah) sedang berpidato dalam suatu aksi demonstrasi bersama mahasiswa dan buruh di depan gedung DPR/MPR. Donny Hery/Shutterstock[5]

Sementara itu, amnesti untuk Hasto, Sekjen PDI-P, menjadi sinyal politik yang tak kalah penting.

PDI-P, yang idealnya menjadi partai oposisi setelah pasangan capres-cawapres yang diusungnya kalah dalam Pilpres, kini seolah mau dirangkul.

Read more: Mendambakan keseimbangan kekuasaan: masih bisakah kita berharap pada oposisi?[6]

Prabowo tidak hanya memulihkan posisi Hasto secara hukum, tetapi juga membuka peluang rekonsiliasi yang lebih besar dengan partai yang sebelumnya berseberangan secara politis.

Sinyal menjauhnya Prabowo dari Jokowi?

Amnesti dan abolisi dari Prabowo tidak dapat dilepaskan dari konteks relasi kekuasaan yang berubah.

Dua tokoh yang diberi pengampunan—Lembong dan Hasto—adalah figur yang secara simbolik mewakili ketegangan atau kutub politik yang berseberangan dengan Jokowi.

Secara politis, Jokowi berada dalam kubu Prabowo-Gibran sejak Pilpres 2024. Gibran, putra kandung Jokowi, kini menjadi Wakil Presiden.

Namun, tidak tampak indikasi bahwa Jokowi terlibat dalam proses pengampunan Lembong maupun Hasto. Sebaliknya, langkah Prabowo terlihat sebagai upaya membangun poros kekuasaan yang baru dengan fondasi dan jejaring yang independen dari pengaruh lama.

Ini menjadi semacam deklarasi politik penting. Presiden Prabowo menobatkan dirinya sebagai pemimpin dengan arah dan basis kekuasaan sendiri, bukan lagi penerus agenda Jokowi.

Prabowo memberikan amnesti pada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Ini diduga sebagai upaya merangkul oposisi.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto. Ardiansyah Fadli/Shutterstock[7]

Langkah ini hampir pasti menimbulkan keresahan di kalangan Koalisi Indonesia Maju yang banyak diisi oleh loyalis Jokowi. Banyak dari mereka menempati posisi strategis di kabinet[8] dan perusahaan pelat merah[9].

Langkah Prabowo tersebut membuka kemungkinan perombakan kabinet besar-besaran dalam waktu dekat.

Read more: Pilkada 2024: Kemenangan rakyat atau Jokowi-Prabowo?[10]

Ada beberapa alasan kuat mengapa loyalis Jokowi kemungkinan besar merasa resah.

Pertama, ada risiko mereka tersingkir dari pusat kekuasaan. Jika Prabowo semakin memperluas basis politik di luar jaringan Jokowi, posisi politik para loyalis ini akan terancam.

Kedua, ini bisa menjadi preseden pembongkaran kasus-kasus kriminalisasi masa lalu dan kemungkinan pengusutan kasus-kasus korupsi yang di masa pemerintahan sebelumnya tidak disentuh. Abolisi terhadap Lembong dan amnesti terhadap Hasto bisa membuka ruang revisi terhadap kebijakan-kebijakan hukum di era Jokowi yang dinilai tidak adil.

Read more: Rapor merah reformasi hukum peradilan pidana Jokowi, PR untuk Prabowo[11]

Ketiga, memunculkan ketidakpastian arah koalisi. Jika PDI-P—yang secara politik berseteru dengan Jokowi pasca-pilpres 2024—mulai didekati Prabowo, maka peta politik bisa berubah drastis. Akibatnya, loyalis Jokowi akan kehilangan posisi tawar.

Prediksi politik pasca-abolisi dan amnesti

Setidaknya terdapat tiga dampak yang mungkin akan terjadi setelah pengampunan ini.

Pertama, Prabowo akan melakukan konsolidasi politik untuk memperkuat diri sebagai pemilik sah kekuasaan 2024–2029.

Kedua, dibentuk koalisi baru dan perombakan kabinet. Akan muncul poros baru yang mungkin melibatkan PDI-P, bahkan kelompok teknokrat dan reformis yang profesional.

Ketiga, Ketiga, menurunnya pengaruh Jokowi. Meski Gibran kini menjabat sebagai Wapres, posisinya dinilai belum cukup kuat untuk menjaga kesinambungan jejaring kekuasaan yang sebelumnya dibangun Jokowi.

Ini semua akan menjadi ujian atas legitimasi pemerintah dan komitmen reformasi.

Langkah Prabowo memberikan amnesti dan abolisi pada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong mengindikasikan melemahnya bayang-bayang Jokowi.
Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memimpin sidang perdana Dewan Pertahanan Nasional di Istana Presiden di Bogor, Jawa Barat, pada 7 Februari 2025. image meaning/Shutterstock[12]

Oleh sebab itu, Prabowo harus membuktikan bahwa abolisi dan amnesti tersebut bukan bentuk impunitas politik, melainkan bagian dari visi keadilan yang inklusif.

Keputusan Prabowo untuk memberikan abolisi dan amnesti adalah langkah politik besar, berani, sekaligus berisiko. Ia bisa menjadi awal dari politik yang lebih terbuka dan inklusif, atau justru hanya mengganti wajah dari kompromi elite yang berulang.

Publik akan menilainya dari konsistensi langkah ke depan.

Kini pilihan ada di tangan Prabowo: menjawab mandat rakyat dengan langkah besar, atau larut dalam kompromi politik yang hanya menyenangkan sejumlah elit tertentu.

Dukungan publik yang luas adalah modal besar, dan rakyat menunggu bagaimana langkah ini benar-benar bertujuan untuk kebaikan bangsa, bukan sekadar kepentingan kekuasaan jangka pendek.

Authors: Zainal Abidin, Dosen, Universitas Padjadjaran

Read more https://theconversation.com/abolisi-dan-amnesti-sinyal-prabowo-lepas-dari-bayang-bayang-jokowi-262796

Magazine

Abolisi dan amnesti: Sinyal Prabowo lepas dari bayang-bayang Jokowi?

Joko "Jokowi" Widodo dan Presiden Prabowo Subianto sedang berbicara di Graha Utama Akademi Militer Magelang pada 29 Januari 2024.Elnauraa/Shutterstock● Keputusan Prabowo memberikan amnesti dan a...

Jejak karbon Spotify semakin besar sejak pakai fitur video musik

CarlosBarquero/ShutterstockSpotify saat ini memiliki sekitar 675 juta pengguna aktif. Seiring eskpansinya menggunakan video untuk streaming musik serta meningkatnya jumlah pengguna aplikasi ini, jejak...

Abolisi Tom Lembong dan amnesti Hasto Kristiyanto: Keputusan hukum bermuatan politis

CC BYPresiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Keputusan ini d...