Asian Spectator

Men's Weekly

.

Apakah ChatGPT membuat kita jadi bodoh?

  • Written by Aaron French, Assistant Professor of Information Systems, Kennesaw State University
Apakah ChatGPT membuat kita jadi bodoh?

Pada 2008, majalah The Atlantic menggemparkan publik dengan laporan kontroversial berjudul: Is Google Making Us Stupid?[1] (Apakah Google membuat kita jadi bodoh?)

Dalam esai sepanjang 4 ribu kata yang kemudian menjadi sebuah buku[2] itu, sang penulis yaitu Nicholas Carr menjawab pertanyaan menohok tersebut.

Jawaban singkatnya adalah ya: Teknologi seperti mesin pencari memperburuk kemampuan berpikir mendalam dan menguasai pengetahuan.

Sampul majalah The Atlantic di tahun 2008.
Edisi Juli/Agustus majalah The Atlantic. Wikimedia Foundation[3]

Inti argumen Carr adalah teknologi membuat manusia “bodoh” karena orang-orang tak perlu lagi mengingat atau mempelajari fakta-fakta tertentu. Kita bisa dengan mudah mencarinya di internet kapan saja.

Argumen Carr ada benarnya[4]. Namun, sebenarnya mesin pencarian masih mendorong kita untuk berpikir kritis dalam memaknai dan menyesuaikan[5] hasil pencarian dengan konteks tertentu.

Zaman kemudian bergeser dengan cepat. Teknologi berkembang pesat. Kini kita berada di era artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan. Penggunaan AI generatif seperti ChatGPT, Gemini, dan DeepSeek tak hanya membuat kita berhenti mengingat informasi, tetapi juga berhenti untuk berpikir.

Read more: Kamu nyaman curhat dengan AI? Hati-hati kena gangguan mental[6]

AI generatif tak hanya menampilkan informasi, tetapi juga memproduksi, menganalisis, dan merangkum data yang ada. Kemampuan AI ini benar-benar mengubah cara kita berpikir dan mencari informasi.

Dapat dikatakan bahwa AI generatif adalah teknologi pertama yang dapat “menggantikan” pemikiran dan kreativitas manusia.

Dengan perkembangan AI ini, muncul sebuah pertanyaan: apakah ChatGPT (atau AI generatif lain) membuat kita jadi bodoh?

Sebagai profesor sistem informasi[7] yang telah mengeksplorasi AI selama lebih dari dua dekade, saya menjadi saksi awal transformasi besar dari teknologi ini. Kini, ketika semakin banyak orang mulai menyerahkan tugas berpikir kepada AI, saya percaya penting bagi kita untuk memahami manfaat dan risikonya.

AI and efek Dunning–Kruger

AI generatif mengubah cara kita mengakses dan memproses informasi. Bagi banyak orang, AI memudahkan proses pencarian informasi karena tak perlu lagi membuka banyak sumber, membandingkan berbagai sudut pandang, dan bingung dengan informasi yang bertentangan.

AI menyajikan informasi jelas dan siap pakai hanya dalam beberapa detik. Hasilnya memang belum tentu akurat[8], tapi prosesnya memang efisien. Kemampuan AI ini telah merombak[9] cara berpikir dan gaya kerja kita.

Sayangnya, kepraktisan ini berefek samping. Ketika kita bergantung pada AI untuk berpikir, proses ini dapat menurunkan kemampuan berpikir kritis, penyelesaian masalah kompleks, dan pendalaman informasi.

Riset terkait poin ini memang masih terbatas. Namun, perilaku konsumsi konten hasil AI memang dapat melemahkan rasa penasaran, menurunkan konsentrasi, dan menimbulkan ketergantungan[10]. Dalam jangka panjang, perilaku konsumsi ini dapat menghambat perkembangan kognitif.

Pengaruh negatif AI pada kemampuan berpikir kita dapat dijelaskan dengan konsep efek Dunning-Kruger[11].

Efek ini dapat terlihat pada situasi ketika terkadang, orang yang paling percaya diri adalah orang yang paling tak berpengetahuan. Sebab, mereka tidak tahu ada lebih banyak hal yang perlu dipahami.

Sementara orang yang kompeten sering kali tak terlalu percaya diri. Soalnya mereka tahu bahwa banyak hal-hal kompleks yang masih belum mereka pahami.

Read more: Mengapa tulisan asli bisa terdeteksi buatan AI, benarkah deteksi AI tidak akurat? Pahami cara kerja dan tips mengatasinya[12]

Efek Dunning-Kruger ini banyak terlihat di pengguna AI generatif. Sebagian pengguna AI sudah benar-benar ketergantungan dengan AI karena mereka tak perlu susah-susah untuk berpikir[13].

Bagi individu yang “kecanduan”, mereka merasa telah memahami suatu topik. Padahal, mereka hanya bisa dengan mudah mengulang informasi hasil AI yang selalu siap pakai.

AI membuat orang merasa sudah “pintar”. Sementara kemampuan kognitif mereka justru tak terpakai sama sekali, sehingga menjadi tumpul.

Perbedaan penggunaan AI ini memunculkan dua kelompok. Terdapat kelompok yang terjebak di “Gunung Ketidaktahuan[14]” karena menjadikan AI sebagai “otak” untuk berpikir kritis dan kreatif.

Namun, ada pula yang menggunakan AI untuk “memberi makan otak” yaitu mengasah kemampuan berpikir mereka.

Gambar ini menggambarkan perjalanan seseorang yang percaya diri berlebihan karena menggunakan AI sebagai pengganti proses berpikir (puncak dari Gunung Ketidaktahuan), menuju ke lembah kekecewaan, dan kembali beranjak ke arah penciptaan nilai yang sesungguhnya. Diambil dari '_Artificial Intelligence to Augmented Intelligence: A Shift in Perspective, Application, and Conceptualization of AI_' (2024) oleh Aaron French and J.P. Shim. Dalam kata lain, yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita memanfaatkan AI. Bukan soal apakah seseorang menggunakan AI generatif atau tidak. Jika digunakan mentah-mentah, ChatGPT akan menurunkan kemampuan intelektual kita. Penurunan intelektual ini dapat terjadi ketika seseorang memakai informasi dari AI tanpa mengujinya dengan asumsi pribadi, tak mempertimbangkan pandangan alternatif, atau mengadopsi analisis yang mungkin masih dangkal. Namun, ketika AI digunakan sebagai alat bantu[15], AI dapat mendorong rasa penasaran, memunculkan ide-ide baru, dan membantu kita memahami topik yang kompleks. AI juga bisa menjadi teman berbicara yang pintar sehingga kita jadi berpikir kritis. Cara menggunakan AI menentukan apakah kita akan jadi bodoh atau justru semakin ahli di bidang kita. AI generatif seharusnya digunakan untuk memperkuat kemampuan berpikir manusia, bukan menggantikannya. Artinya kita menggunakan ChatGPT untuk mendukung proses pencarian jawaban, bukan untuk jalan pintas. Itu berarti memperlakukan respons AI sebagai ide awal (brainstorm), bukan hasil akhir. AI, cara berpikir, dan masa depan produktivitas Membeludaknya penggunaan AI generatif didorong oleh pertumbuhan pesat ChatGPT yang mencapai 100 juta pengguna[16] hanya dalam waktu dua bulan setelah peluncuran. Demam ChatGPT ini membawa kita ke persimpangan jalan. Satu jalan mengarah ke penurunan intelektual karena kita membiarkan AI yang berpikir. Jalan lainnya mengantarkan kita ke peluang mengembangkan kemampuan berpikir kita: bekerja bersama AI, memanfaatkan kekuatan teknologi untuk membuat kita berkembang. Kini sering disebut bahwa AI tak akan merebut pekerjaan kita, tetapi seseorang yang menggunakan AI dapat melakukannya[17]. Namun, individu yang menggunakan AI tanpa berpikir kritis justru menjadi sosok yang paling mudah untuk tergantikan. Read more: AI mendongkrak efisiensi pekerja, tapi tidak akan menggeser manusia[18] Jika memanfaatkan AI sebagai alat bantu, kita dapat memproduksi hasil yang tak bisa dihasilkan oleh manusia sendiri atau AI sendiri. Inilah arah masa depan kita. Tulisan ini dimulai dengan sebuah pertanyaan apakah ChatGPT membuat kita jadi bodoh. Namun, saya ingin mengakhirinya dengan pertanyaan yang berbeda: Bagaimana menggunakan ChatGPT agar kita jadi lebih pintar? Jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut tak bergantung pada teknologinya, tapi pada penggunanya.

References

  1. ^ Is Google Making Us Stupid? (www.theatlantic.com)
  2. ^ menjadi sebuah buku (www.nicholascarr.com)
  3. ^ Wikimedia Foundation (en.wikipedia.org)
  4. ^ ada benarnya (www.jstor.org)
  5. ^ memaknai dan menyesuaikan (doi.org)
  6. ^ Kamu nyaman curhat dengan AI? Hati-hati kena gangguan mental (theconversation.com)
  7. ^ profesor sistem informasi (www.kennesaw.edu)
  8. ^ belum tentu akurat (doi.org)
  9. ^ telah merombak (theconversation.com)
  10. ^ ketergantungan (www.igi-global.com)
  11. ^ Dunning-Kruger (www.scientificamerican.com)
  12. ^ Mengapa tulisan asli bisa terdeteksi buatan AI, benarkah deteksi AI tidak akurat? Pahami cara kerja dan tips mengatasinya (theconversation.com)
  13. ^ tak perlu susah-susah untuk berpikir (doi.org)
  14. ^ Gunung Ketidaktahuan (medium.com)
  15. ^ alat bantu (doi.org)
  16. ^ 100 juta pengguna (www.reuters.com)
  17. ^ AI tak akan merebut pekerjaan kita, tetapi seseorang yang menggunakan AI dapat melakukannya (tech.yahoo.com)
  18. ^ AI mendongkrak efisiensi pekerja, tapi tidak akan menggeser manusia (theconversation.com)

Authors: Aaron French, Assistant Professor of Information Systems, Kennesaw State University

Read more https://theconversation.com/apakah-chatgpt-membuat-kita-jadi-bodoh-262702

Magazine

Apakah ChatGPT membuat kita jadi bodoh?

Ilustrasi aplikasi artificial intelligence (AI) yang sering digunakanTada Images/ShuttershockPada 2008, majalah The Atlantic menggemparkan publik dengan laporan kontroversial berjudul: Is Google Makin...

20 tahun perdamaian GAM-pemerintah: Pelaku kejahatan perang di Aceh masih dibiarkan

Foto momen penandatanganan Kesepakatan Helsinki yang ditampilkan di Museum Tsunami Banda Aceh.SyarTok/Shutterstock● Sudah dua dekade sejak Perjanjian Helsinki diteken, kejahatan perang oleh mili...

Mau tinggal di mana saat tua nanti? Saatnya mempersiapkan diri jadi lansia mandiri

Ilustrasi pasangan lansia di Indonesia sedang minum sambil memandangi alam bersama. Moirai Photography/Shutterstock● Mayoritas lansia di Indonesia tinggal bersama keluarganya di masa tua.●...