Ironi pendidikan tinggi: Belum merdeka, dituntut segera berdampak
- Written by Rizma Afian Azhiim, Dosen, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
● Pergantian kebijakan Kampus Merdeka ke Diktisaintek Berdampak tidak disertai evaluasi menyeluruh dan transparan.
● Program magang mahasiswa justru menjauhkan perguruan tinggi dari semangat memerdekakan manusia.
● Pemerintah perlu menjamin kebebasan akademis dosen, melindungi mahasiswa, dan menyesuaikan metode pembelajaran.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) telah menetapkan arah kebijakan baru, yaitu gerakan nasional Diktisaintek Berdampak[1]. Kebijakan ini menggantikan arah kebijakan Kampus Merdeka yang diterapkan Menteri sebelumnya, Nadiem Makarim.
Namun, lagi-lagi arah kebijakan yang baru ini tidak dilandasi evaluasi kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Tidak ada kajian dan transparansi pertanggungjawaban kepada publik, terutama komunitas akademis.
Padahal empat tahun terakhir, pimpinan perguruan tinggi, dosen, dan mahasiswa telah bekerja keras untuk menyelaraskan kurikulum serta kegiatan tridarma dengan kebijakan MBKM[2].
Ketika diluncurkan akhir Januari 2020, sivitas akademis dipaksa untuk menerima serta melaksanakan[3] begitu saja kebijakan ‘merdeka’ pemerintah.
Tanpa pemahaman atas pendidikan yang memerdekakan manusia seperti yang diyakini oleh tokoh nasional Ki Hajar Dewantara[4], program MBKM hanya menghasilkan praktik-praktik teknis dan administratif untuk mengonversi kegiatan di luar kampus menjadi Satuan Kredit Semester (SKS) pembelajaran.
Gagal memerdekakan mahasiswa?
Dalam acara podcast memperingati Hari Pendidikan Nasional 2021, Jokowi mengatakan, sistem pendidikan Indonesia harus memerdekakan manusia serta membangun jiwa dan raga[5].
Sayangnya, transformasi pendidikan yang memerdekakan manusia sebagaimana disampaikan pemerintah hanya teoritis dan tidak memiliki landasan kuat tentang nilai-nilai kemerdekaan yang harus diimplementasikan dalam pendidikan tinggi.
Dalam berbagai kasus, mahasiswa justru terjebak dengan program magang[6] yang pada praktiknya justru melaksanakan pekerjaan seperti pegawai penuh waktu di bidangnya.
Tidak jarang mahasiswa magang mendapatkan upah yang lebih murah dari pekerja lainnya, kurang dari ketentuan upah minimum. Ada pula yang bekerja tanpa mendapatkan imbalan.[7]
Alih-alih mengembangkan keahlian mahasiswa untuk merdeka dari hambatan sosio-ekonomi, program magang MBKM cenderung memberikan pembelajaran kepada mahasiswa untuk pasrah. Mereka seakan wajib tunduk pada pekerjaan yang tidak layak.
Puncak gunung es dari masalah pemagangan MBKM adalah pengusutan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam program magang internasional ferienjob ke Jerman[9]. Ada 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia menjadi korban pada Maret 2024.
Read more: Nelangsa mahasiswa magang: mengenal 'ferienjob' dan aturan ketenagakerjaan di Jerman[10]
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan waktu itu, Muhadjir Effendy, mengungkapkan bahwa para mahasiswa berangkat ke Jerman tanpa sepengetahuan dan rekomendasi dari kementerian[11].
Padahal, kebijakan MBKM tidak pernah mengatur secara tegas bahwa pembelajaran mahasiswa di luar kampus harus terlebih dahulu diketahui atau direkomendasikan pemerintah.
Bahkan, Permendikbud No. 3 Tahun 2020 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi[12] membolehkan perguruan tinggi bermitra dengan lembaga lain dalam program magang. Program ini diakui sebagai hasil kuliah hingga 20 SKS dalam satu semester.
Artinya, sejak awal diluncurkan, program MBKM cenderung berorientasi untuk ‘membebaskan’ praktik pembelajaran daripada ‘memerdekakan’ manusia melalui sistem pendidikan. Tanpa batasan dan proteksi tegas berdasarkan nilai-nilai kemanusian, kebebasan untuk belajar di luar kampus justru tidak terlindungi dari praktik kerja tidak manusiawi.
Merdekakan dosen, merdekakan kampus
Agar kampus dapat mendorong kemerdekaan manusia, pemerintah perlu mengubah paradigma pengelolaan pendidikan tinggi yang berorientasi kerja-kerja tridarma dosen.
Pertama, perlu adanya transformasi otonomi perguruan tinggi menjadi otonomi akademisi. Dosen, sebagai pendidik dan ilmuwan profesional steril dari berbagai hambatan sosial dan hambatan administratif dalam bereksplorasi dan berinovasi.
Sebagai pekerja, dosen juga harus sejahtera. Hambatan mencapai kesejahteraan[13] seperti upah murah[14], perlu dihilangkan agar pikirannya tidak terganggu dengan kesukaran ekonomi selama bekerja.
Sebagai ilmuwan, dosen harus bebas untuk menentukan bagaimana, di mana, dan dengan siapa dirinya mengkaji dan menuntaskan masalah-masalah sesuai dengan bidangnya. Dalam aktivitas ini, dosen seharusnya terlepas dari kewajiban surat tugas penelitian dan pengabdian yang menjadi syarat pelaporan Beban Kerja Dosen (BKD)[15], dan “surat lolos butuh”[16] untuk berpindah kampus.
Kedua, kebijakan dan standar pendidikan tinggi perlu menempatkan kampus sebagai laboratorium yang dapat mewadahi eksperimen-eksperimen terkait transformasi sosial ekonomi. Pemerintah harus menjamin setiap kampus membuka ruang-ruang dialog yang kritis dan kreatif terhadap realitas masalah yang mereka hadapi.
Perlu juga perumusan parameter ukuran akreditasi tingkat kebebasan akademis dan kebebasan kampus dari masalah-masalah laten yang menghambat pengembangan iklim akademis, seperti kekerasan[17], intimidasi[18], dan kekerasan seksual[19].
Merdeka belajar di tengah revolusi dunia kerja
Pemerintah sebaiknya tidak terburu-buru merumuskan program magang yang berdampak pada kualitas dan relevansi lulusan, karena corak produksi dan karakteristik pekerjaan tengah berubah.
World Economic Forum, dalam “Future Of Jobs Report 2025”[21], misalnya, mengemukakan bahwa 92 juta pekerjaan akan hilang dan digantikan dengan 170 juta pekerjaan baru. Karena itu, pemerintah harus hati-hati dalam menentukan metode pembelajaran di luar kampus agar tidak memunculkan masalah-masalah baru.
Dalam laporan tersebut[22], berbagai pekerjaan telah terdisrupsi dan mulai hilang: petugas layanan pos, teller bank, kasir, dan pembukuan keuangan. Disrupsi juga tengah terjadi dalam pekerjaan dengan kebutuhan kemampuan kognitif dan kreativitas tinggi seperti desainer grafis dan penegak hukum.
Sudah saatnya pemerintah merumuskan metode pengembangan kemampuan mahasiswa untuk mengevaluasi pekerjaan dan merumuskan transformasi dunia kerja, hingga menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru. Pemerintah perlu mendorong perguruan tinggi untuk mentransformasi program magang bagi mahasiswa tingkat akhir, dari praktik kerja menjadi penelitian lapangan dunia kerja sesuai dengan bidang studinya.
Read more: Mengapa mahasiswa perlu melakukan magang penelitian[23]
Transformasi tersebut dapat memberikan kesempatan bagi mahasiswa dan dosen pembimbing untuk mengembangkan inovasi pekerjaan dengan mengevaluasi bagaimana cara masyarakat melaksanakan pekerjaan.
Setidaknya, mahasiswa harus dapat menentukan mata kuliah di luar program studi di tahun terakhir perkuliahan dan rencana pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning) agar lebih mahir beradaptasi dengan ketidakpastian dunia kerja.
References
- ^ gerakan nasional Diktisaintek Berdampak (www.kompas.id)
- ^ menyelaraskan kurikulum serta kegiatan tridarma dengan kebijakan MBKM (www.kompas.id)
- ^ sivitas akademis dipaksa untuk menerima serta melaksanakan (komunita.widyatama.ac.id)
- ^ pendidikan yang memerdekakan manusia seperti yang diyakini oleh tokoh nasional Ki Hajar Dewantara (pundi.or.id)
- ^ sistem pendidikan Indonesia harus memerdekakan manusia serta membangun jiwa dan raga (www.kompas.id)
- ^ mahasiswa justru terjebak dengan program magang (news.detik.com)
- ^ bekerja tanpa mendapatkan imbalan. (theconversation.com)
- ^ CC BY-NC (creativecommons.org)
- ^ program magang internasional ferienjob ke Jerman (www.bbc.com)
- ^ Nelangsa mahasiswa magang: mengenal 'ferienjob' dan aturan ketenagakerjaan di Jerman (theconversation.com)
- ^ tanpa sepengetahuan dan rekomendasi dari kementerian (www.kompas.id)
- ^ Permendikbud No. 3 Tahun 2020 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (lldikti13.kemdikbud.go.id)
- ^ Hambatan mencapai kesejahteraan (www.kompas.id)
- ^ upah murah (www.kompas.id)
- ^ surat tugas penelitian dan pengabdian yang menjadi syarat pelaporan Beban Kerja Dosen (BKD) (lldikti3.kemdikbud.go.id)
- ^ “surat lolos butuh” (lldikti3.kemdikbud.go.id)
- ^ kekerasan (surabaya.kompas.com)
- ^ intimidasi (www.tempo.co)
- ^ kekerasan seksual (www.detik.com)
- ^ Little Pig Studio/shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ World Economic Forum, dalam “Future Of Jobs Report 2025” (reports.weforum.org)
- ^ laporan tersebut (reports.weforum.org)
- ^ Mengapa mahasiswa perlu melakukan magang penelitian (theconversation.com)
Authors: Rizma Afian Azhiim, Dosen, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Read more https://theconversation.com/ironi-pendidikan-tinggi-belum-merdeka-dituntut-segera-berdampak-250104





