Asian Spectator

Men's Weekly

.

80 tahun Indonesia: Runtuhnya negara hukum dan wajah baru otoritarianisme

  • Written by Herlambang P Wiratraman, Secretary General of ALMI and Assistant Professor of Constitutional Law and Human Rights, Universitas Gadjah Mada
80 tahun Indonesia: Runtuhnya negara hukum dan wajah baru otoritarianisme

● 80 tahun kemerdekaan Indonesia sekaligus menjadi penanda runtuhnya prinsip negara hukum di negeri ini.

● Oligarki menguasai instrumen demokrasi Indonesia untuk kepentingan mereka.

● Otoritarianisme gaya baru berujung pada menyempitnya ruang sipil.

Delapan dekade setelah kemerdekaan, cita-cita pendiri bangsa Indonesia[1] sebagai negara hukum semakin jauh terperosok ke dalam jurang.

UUD 1945[2] memang menegaskan bahwa tidak ada otoritas yang lebih tinggi dari hukum. Namun, tren kompromi politik dan legislasi belakangan menunjukkan arah sebaliknya: hukum marak dipakai untuk mengamankan kekuasaan, melemahkan lembaga pengawas maupun kekuasaan peradilan, hingga membungkam kebebasan.

Fenomena ini lebih buruk dari kemunduran demokrasi. Runtuhnya negara hukum menyibak wajah baru otoritarianisme—rezim yang menggunakan perangkat hukum dan prosedur demokrasi untuk menekan kebebasan dan melanggengkan kekuasaan.

Artikel terbaru saya menjelaskan ciri-ciri utama[3] yang mencerminkan pergeseran ini.

Read more: Tantangan demokrasi Indonesia: dari transisi menjadi konsolidasi[4]

Legalisme otokratik

Ilmuwan politik Javier Corrales menyebut istilah legalisme otokratik autocratic legalism[5] untuk menggambarkan proses pembentukan hukum yang sewenang-wenang, partisipasi publik yang semu, dan penggunaan praktik ilegal untuk melanggengkan kekuasaan.

Dalam kerangka ini, rezim otoriter sangat mudah memanipulasi hukum untuk kepentingan mereka.

Kondisi ini gamblang terjadi di Indonesia. Hukum dibuat bukan untuk melindungi kepentingan rakyat, melainkan untuk mengamankan posisi rezim dan jejaring oligarki (segelintir elite berkuasa) yang mengelilinginya.

Contoh paling mencolok adalah pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja[6] secara tertutup serta minim partisipasi publik. Imbasnya, aturan yang sangat tebal ini sungguh sarat masalah: mulai dari pasal yang tumpang tindih, kesalahan pengetikan, hingga rumusan yang kabur.

Demo UU Cipta Kerja di Jakarta
Demonstrasi UU Cipta Kerja di Jakarta pada Mei 2023. (Toto Santiko Budi/Shutterstock)

Dokumen risalah dan naskah akademik pun UU Cipta Kerja tidak dibuka secara jelas kepada publik. Bahkan saat disahkan, tak jelas rancangan versi mana yang berlaku[7].

Sengkarut hukum semakin kentara ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memvonis pembentukan UU Cipta Kerja cacat formil[8] dan bertentangan dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Alih-alih mematuhi putusan, pemerintah justru memperburuk masalah dengan menerbitkan salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja[9]—hanya sebulan setelah putusan MK. Mengabaikan putusan MK menjadi salah satu tanda menguatnya otoritarianisme di era Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Pembuatan UU yang sewenang-wenang juga berlanjut di era Presiden Prabowo Subianto. Salah satunya adalah revisi UU TNI[10] yang muncul tiba-tiba tanpa masuk ke dalam Proyek Legislasi Nasional.

Pembahasan revisi UU TNI pun berlangsung secara tertutup di hotel mewah. Sebuah paradoks di tengah gencarnya pemangkasan anggaran puluhan triliun oleh kabinet Prabowo.

Politik kartel

Banalnya praktik legislasi dimungkinkan karena sistem politik kartel[11] di Indonesia semakin menguat. Dalam kartel, para pedagang (dalam konteks ini partai politik) bersekongkol untuk mengisap keuntungan sebanyak-banyaknya—baik berupa kekuasaan ataupun uang masyarakat.

Sistem politik kartel[12] terjadi karena berakar dari sistem pemilu langsung yang diwarnai politik keroyokan—bukan ideologi.

Sistem ini juga membuat maraknya (praktik abusive constitutional borrowing)[13], yaitu penggunaan prinsip-prinsip konstitusional demokratis untuk tujuan antidemokrasi.

Sistem kartel pun nyaris tak mengenal oposisi. Semua partai terjebak dalam politik transaksional. Presiden yang terpilih pun musykil membangun pemerintahan independen karena harus mengakomodasi kepentingan koalisi kartel.

Read more: Mendambakan keseimbangan kekuasaan: masih bisakah kita berharap pada oposisi?[14]

Publik menjadi saksi kartel politik yang menguat saat Presiden Joko Widodo menunjuk kompetitornya dalam Pemilu 2019, Prabowo Subianto, sebagai Menteri Pertahanan[15].

Pola senada pun seakan ditiru oleh Prabowo yang berupaya menggaet Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP)—saat ini tak masuk dalam Kabinet Merah Putih[16].

Upaya ini bahkan dibumbui penggunaan hak istimewa presiden melalui amnesti[17] kepada Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, yang terbelit kasus korupsi.

Prinsip keseimbangan kekuasaan (check and balances) pun nyaris nihil dalam sistem politik kartel. Contohnya adalah DPR. Alih-alih mengontrol kinerja pemerintah, anggota dewan justru menjadi “kepanjangan tangan rezim” untuk melegitimasi agenda-agenda pemerintah.

Begitu pula kekuasaan kehakiman[18]. Mahkamah Konstitusi, misalnya, mengabulkan permohonan uji materi UU Pemilihan Umum yang terbukti diwarnai pelanggaran etik[19].

Sebaliknya, MK yang semestinya menjadi penjaga gawang terakhir atas lahirnya banyak UU bermasalah seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Ibu Kota Negara (IKN) justru kehilangan tajinya. MK gagal menyeimbangkan kekuasaan dari kesewenang-wenangan praktik legislasi.

Pengujian UU TNI pun berada di ujung tanduk setelah MK banyak mementahkan gugatan formil yang diajukan beragam pihak[20].

Pemberangusan kebebasan

Kebebasan berekspresi adalah elemen kunci negara hukum. Namun di tengah menguatnya otoritarianisme, ruang kebebasan sipil menyusut.

Kebijakan era Jokowi menunjukkan pola yang membatasi kebebasan berpendapat, termasuk pemberangusan kritik. Peraturan baru[21] memberi pemerintah kewenangan untuk memantau dan menindak ucapan, tindakan, bahkan pikiran warga yang dianggap melanggar hukum. Praktik ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan mengancam demokrasi.

Data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada 2019[22] mencatat 78 serangan terhadap kebebasan berekspresi, yang berdampak pada lebih dari 6.000 orang, termasuk 51 korban meninggal dan 324 anak.

Kekerasan terhadap pembela HAM juga marak, seperti kasus percobaan pembunuhan terhadap Yertin Ratu[23], aktivis antikorupsi di Palopo, Sulawesi Selatan.

Read more: Menyempitnya ruang sipil: Bagaimana kelompok pembela HAM kini makin rentan dikriminalisasi oleh negara[24]

Soal kebebasan pers, hingga akhir 2024, Aliansi Jurnalis Independen (AJI)[25] mencatat 319 kasus kekerasan terhadap jurnalis — dari serangan fisik hingga kriminalisasi. Pola baru seperti serangan siber juga semakin sering, terutama di era pemerintahan Prabowo.

Di sisi kebebasan akademis, masih ada kasus seperti pembatalan seminar[26] Constitutional Law Society UGM pada 2020 dan teror terhadap dosen Universitas Islam Indonesia, Ni’matul Huda[27], yang membahas masalah pemakzulan presiden.

Penyelenggara dan narasumber mendapat serangan digital dan ancaman, tetapi hingga kini tak ada pihak yang bisa dituntut pertanggungjawaban.

Setelah 80 tahun kemerdekaan

Dalam usia ke-80, Indonesia sudah berada dalam fase konsolidasi para oligarki dalam politik. Kekuatan ini membajak supremasi hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi. Mereka pun membajak dan menikmati “dukungan publik” semu yang diraih dari proses elektoral.

Dalam usia ini, fenomena sham election atau pemilu yang tampak demokratis di era Suharto terkesan sudah usang. Tanpa perlawanan dari rakyat, otoritarianisme baru Indonesia ini akan semakin berkuasa dengan logika predator: mencengkeram dan memangsa.

References

  1. ^ pendiri bangsa Indonesia (perpustakaan.kemlu.go.id)
  2. ^ UUD 1945 (bphn.go.id)
  3. ^ ciri-ciri utama (scholarhub.ui.ac.id)
  4. ^ Tantangan demokrasi Indonesia: dari transisi menjadi konsolidasi (theconversation.com)
  5. ^ autocratic legalism (www.journalofdemocracy.org)
  6. ^ Undang-Undang Cipta Kerja (peraturan.bpk.go.id)
  7. ^ rancangan versi mana yang berlaku (www.hukumonline.com)
  8. ^ cacat formil (peraturan.bpk.go.id)
  9. ^ aturan turunan UU Cipta Kerja (peraturan.bpk.go.id)
  10. ^ revisi UU TNI (www.kompas.id)
  11. ^ sistem politik kartel (ejournal.brin.go.id)
  12. ^ Sistem politik kartel (books.google.co.id)
  13. ^ (praktik abusive constitutional borrowing) (doi.org)
  14. ^ Mendambakan keseimbangan kekuasaan: masih bisakah kita berharap pada oposisi? (theconversation.com)
  15. ^ Menteri Pertahanan (nasional.kompas.com)
  16. ^ Kabinet Merah Putih (www.tempo.co)
  17. ^ amnesti (icjr.or.id)
  18. ^ kekuasaan kehakiman (www.kompas.id)
  19. ^ pelanggaran etik (www.tempo.co)
  20. ^ diajukan beragam pihak (www.kompas.id)
  21. ^ Peraturan baru (theconversation.com)
  22. ^ pada 2019 (kumparan.com)
  23. ^ Yertin Ratu (daerah.sindonews.com)
  24. ^ Menyempitnya ruang sipil: Bagaimana kelompok pembela HAM kini makin rentan dikriminalisasi oleh negara (theconversation.com)
  25. ^ Aliansi Jurnalis Independen (AJI) (aji.or.id)
  26. ^ pembatalan seminar (www.tempo.co)
  27. ^ Ni’matul Huda (kumparan.com)

Authors: Herlambang P Wiratraman, Secretary General of ALMI and Assistant Professor of Constitutional Law and Human Rights, Universitas Gadjah Mada

Read more https://theconversation.com/80-tahun-indonesia-runtuhnya-negara-hukum-dan-wajah-baru-otoritarianisme-241574

Magazine

Demotivasi bukan kemalasan: Pahami sinyal psikologis yang satu ini

● Demotivasi adalah kondisi psikologis yang sering muncul saat makna, kendali, atau keterhubungan dalam aktivitas terganggu.● Penyebabnya meliputi hilangnya relevansi tugas, beban kerja be...

Everything You Need to Know About a Lorry Water Tank and Its Uses

A lorry water tank plays an essential role in industries and applications where large-scale water transportation is required. From construction sites and agriculture to firefighting and municipal se...

80 tahun Indonesia: Runtuhnya negara hukum dan wajah baru otoritarianisme

Menpan.go.id● 80 tahun kemerdekaan Indonesia sekaligus menjadi penanda runtuhnya prinsip negara hukum di negeri ini.● Oligarki menguasai instrumen demokrasi Indonesia untuk kepentingan mer...