3 alasan perundingan perjanjian plastik global berakhir tanpa kesepakatan
- Written by Steve Fletcher, Professor of Ocean Policy and Economy, University of Portsmouth

Upaya negosiasi terakhir mengenai perjanjian plastik global atau global plastic treaty di bawah naungan PBB berakhir tanpa kesepakatan[1].
Setelah lebih dari tiga tahun pembahasan, perbedaan pandangan yang mendasar masih belum terjembatani. Bagi banyak negara, aktivis, dan organisasi pengamat, hasil ini sangat mengecewakan.
Setelah pertemuan terakhir yang berlangsung hingga larut malam di Jenewa, Swiss, ketua komite antarpemerintah (INC) yang memimpin perundingan secara resmi menutup sidang pada 15 Agustus tanpa teks perjanjian yang disepakati.
Ini tentu bukanlah akhir segalanya. Perundingan belum runtuh. Namun, belum ada tanggal maupun tempat yang pasti untuk putaran perundingan selanjutnya. Pun, tidak ada mandat untuk kegiatan resmi di masa jeda.
Banyak delegasi menyerukan masa refleksi, bahkan “reset” proses, agar dapat memulai kembali dengan pendekatan yang lebih segar.
Seperti dalam putaran sebelumnya[2], perundingan perjanjian plastik global berjalan lambat.
Diskusi terhambat oleh persoalan ambiguitas prosedur, taktik penghambatan yang disengaja dari negara-negara penghasil bahan bakar fosil dan petrokimia yang menolak perjanjian ambisius, serta kompleksitas isu yang dibahas. Ujungnya, waktu habis sebelum tercapai konsensus.
Saat perundingan ditutup, ada tiga hal utama yang tampak memperpanjang kebuntuan ini:
1. Upaya ketua belum memadai
Duta Besar Republik Ekuador untuk Kerajaan Inggris, Luis Vayas Valdivieso selaku ketua perundingan, memang mengambil peran lebih aktif dibanding sesi sebelumnya. Ia mempercepat ritme diskusi dan menyusun dua draf teks perjanjian untuk menjadi fokus debat.
Draf pertama menghilangkan sejumlah poin penting, termasuk pembatasan produksi plastik, aturan global tentang regulasi produk plastik, kontrol bahan kimia berbahaya, serta mekanisme pendanaan yang kuat.
Negara-negara berambisi tinggi yang mendorong langkah tegas menolak draf pertama tersebut karena dianggap tidak seimbang, tidak ambisius, dan tidak layak dijadikan dasar diskusi lebih lanjut.
Draf kedua yang dirilis menjelang pukul 1 dini hari di malam terakhir setelah konsultasi intensif memang menambahkan beberapa perbaikan, tetapi masih mengabaikan elemen-elemen inti tersebut.
Namun, banyak negara yang menilai teks itu berat sebelah, lebih condong berpihak pada keinginan negara produsen minyak.
2. Tak bisa berkompromi
Sepanjang negosiasi, negara-negara dengan ambisi rendah hampir tidak memberikan kelonggaran. Mereka menolak berkompromi dengan “garis merah” mereka, tapi mengharapkan pihak lain untuk mengalah.
Hal ini kembali mengulang perdebatan lama mengenai tujuan dan lingkup perjanjian, meski keduanya sudah menjadi mandat PBB sejak tiga tahun lalu.
Banyak pihak menilai dibutuhkan pendekatan berbeda dengan memberi lebih banyak waktu membahas isu-isu yang diperdebatkan, menguji argumen yang berlawanan secara ketat, serta aktif mencari titik kompromi.
3. Enggan mengambil opsi ‘voting’
Proses perundingan masih bergantung pada konsensus. Dalam sidang pleno terakhir, banyak delegasi—terutama yang memiliki kepentingan ekonomi pada plastik—menekankan bahwa konsensus adalah hal penting.
Namun dalam tiga tahun terakhir, beberapa delegasi sudah mendorong agar ketua memanfaatkan opsi voting untuk memecah kebuntuan—mekanisme resmi dalam negosiasi PBB ketika konsensus gagal dicapai.
Voting dianggap langkah politis yang berisiko tinggi, dengan implikasi serius bagi hubungan antarnegara. Hingga kini, ketua menolak melakukannya, dan negara-negara berambisi tinggi pun tidak mendorong opsi ini, meski mereka sering menekankan urgensi dan ambisi.
Di luar penolakan terhadap teks yang dianggap lemah, mereka jarang memanfaatkan instrumen prosedural yang tersedia untuk mendorong hasil lebih kuat. Akibatnya, kebuntuan tetap berulang.
Read more: 3 isu penghambat perjanjian plastik global: Bagaimana sikap Indonesia?[4]
Jalan ke depan
Masa jeda antarsesi—periode antara sekarang hingga pertemuan resmi berikutnya—sangat krusial. Tanpa tanggal pasti untuk tahap selanjutnya, inilah waktunya reset dan menyiapkan langkah konkret menuju kemajuan.
Fokus utama haruslah menjembatani perbedaan sikap politik. Negara-negara berambisi tinggi perlu membangun aliansi lebih luas, mencari titik temu dengan pihak yang mungkin tidak sepenuhnya sejalan, tetapi terbuka pada tindakan lebih tegas.
Detail penting seperti mekanisme pendanaan, sistem pemantauan dan pelaporan, serta model hukum untuk kepatuhan sebaiknya dikembangkan sejak sekarang, di luar forum resmi, agar dapat menghemat waktu kelak.
Negara-negara ambisi tinggi—seperti Uni Eropa, Panama, Kolombia, Australia, Inggris, dan negara-negara pulau kecil—juga harus mempererat koordinasi dan berani menggunakan instrumen prosedural seperti voting bila diperlukan, meskipun secara politik terasa tidak nyaman.
Tujuan yang ditetapkan PBB pada 2022[5] untuk mengakhiri polusi plastik di seluruh siklus hidupnya masih mungkin dicapai.
Namun, hal ini menuntut pemerintah untuk memanfaatkan bulan-bulan mendatang untuk melakukan konsolidasi, berdiskusi politik secara jujur, dan berkomitmen pada langkah yang lebih tegas saat bertemu kembali.
Dunia tidak bisa lagi kehilangan satu putaran perundingan hanya karena kebuntuan prosedural. Krisis plastik semakin parah. Sains sudah jelas. Solusi sudah diketahui. Hal yang hilang bukanlah pengetahuan, melainkan kemauan politik untuk mengubah kata-kata menjadi tindakan yang mengikat.
References
- ^ berakhir tanpa kesepakatan (theconversation.com)
- ^ Seperti dalam putaran sebelumnya (theconversation.com)
- ^ chayanuphol/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ 3 isu penghambat perjanjian plastik global: Bagaimana sikap Indonesia? (theconversation.com)
- ^ yang ditetapkan PBB pada 2022 (www.unep.org)
Authors: Steve Fletcher, Professor of Ocean Policy and Economy, University of Portsmouth