Asian Spectator

Men's Weekly

.

Bergerak itu baik: Pentingnya permainan tradisional di era digital

  • Written by Rizky Sugianto Putri, Lecturer at the Department of Anthropology, Universitas Airlangga
Bergerak itu baik: Pentingnya permainan tradisional di era digital

● Penyakit tidak menular kian marak di kalangan anak muda Indonesia akibat gaya hidup sedentari dan kurang aktivitas fisik.

● Permainan tradisional membuat anak aktif, sedangkan gim daring meningkatkan risiko masalah kesehatan jangka panjang.

● Menghidupkan kembali permainan tradisional dapat menjadi strategi murah dan efektif untuk mencegahnya.

Kasus penyakit tidak menular di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya, bahkan di kalangan kaum muda[1]. Contohnya[2], diabetes, stroke, penyakit jantung, darah tinggi, gagal ginjal, dan lain sebagainya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2024[3] bahkan mencatat 70% kematian di usia dewasa muda secara global, akibat penyakit tidak menular.

Salah satu penyebabnya adalah gaya hidup ‘mager’ (malas gerak) atau dikenal pula sebagai sedentari[4] (aktivitas dengan pengeluaran energi sangat rendah, seperti duduk atau berbaring dalam waktu lama).

Ilustrasi Gaya Hidup Sedentari dalam Evolusi Manusia. Freepik, CC BY-NC[5][6]

Meski membawa kemudahan, kemajuan teknologi[7] ternyata menjebak anak-anak dalam rutinitas yang pasif. Contohnya, duduk lama menatap layar laptop maupun komputer, bermain gawai selama berjam-jam, serta jarang berolahraga.

Ini berbeda dengan anak-anak zaman dulu [8] yang masih banyak beraktivitas fisik atau bermain di luar ruangan. Permainan tradisional, seperti petak umpet, enggrang, bentengan, boy-boyan, dan lompat tali, secara alami mendorong anak untuk aktif bergerak, berlari, melompat, dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

Aktivitas tersebut tidak hanya menyenangkan, tetapi juga memperkuat otot, melatih koordinasi tubuh, dan tentu saja membakar kalori.

Mengembalikan permainan tradisional sebagai bagian dari keseharian anak-anak, dapat menjadi intervensi kesehatan yang murah. Namun agar bisa berhasil, kampanye ini memerlukan kolaborasi lintas sektor antara akademisi, komunitas lokal, sekolah, dan juga pemerintah daerah.

Read more: Biarkan anak-anak bermain, mereka butuh kebebasan untuk berkembang[9]

Mengapa harus bergerak?

Dari sudut pandang antropologi ragawi, manusia adalah makhluk yang didesain untuk bergerak[10]. Sejak awal berevolusi, tubuh kita beradaptasi untuk berjalan jauh, berlari, melompat, dan melakukan berbagai aktivitas dengan tangan dan juga kaki.

Aktivitas motorik kasar dan daya tahan tubuh manusia, terbentuk dari interaksi kompleks[11] antara lingkungan, aktivitas fisik, dan fungsi tubuh.

Gaya hidup sedentari secara perlahan tapi pasti, akan mengubah postur serta fisiologis manusia. Tubuh kita menjadi lebih lemah, otot menjadi kaku, dan akhirnya kita tidak lagi adaptif terhadap lingkungan sekitar.

Lari adalah aktivitas fisik tertua yang dilakukan sejak zaman prasejarah. Mapping Ignorance. Author provided., CC BY-NC[12][13]

Sementara dari perspektif antropologi olahraga, WHO[14] menyarankan beraktivitas fisik minimal 60 menit per hari untuk usia anak, dan 150-300 menit per minggu untuk orang dewasa.

Kurangnya aktivitas fisik berisiko menurunkan beragam kekuatan fisik[15], seperti menurunnya kekuatan otot, fleksibilitas sendi, hingga kinerja jantung dan paru-paru kita.

Jika ini terus terjadi selama beberapa generasi ke depan, maka kita tidak hanya akan menghadapi krisis kesehatan, tapi juga krisis fisiologis yang berdampak pada perubahan fisik atau postur manusia modern ke depannya.

Permainan tradisional vs gim ‘online’

Indonesia memiliki ribuan jenis permainan tradisional[16]. Ironisnya, di era digital, permainan tradisional hanya sekadar romantisme masa lalu. Pergeseran mengenai konsep bermain terjadi pada generasi digital[17].

Gawai dan gim online, adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari generasi digital[18]. “Bermain” bagi mereka adalah melalui gawai.

Ketenaran gim online seperti Roblox, Mobile Legend, Free Fire, PUBG, pun seakan menjadi virus yang menyerang anak-anak dan remaja di seluruh dunia.

Generasi alpha yang tidak dapat lepas dari gadget.

Gim online menjadi populer karena menawarkan visual yang apik, ragam cerita yang unik, serta jenis permainan yang sangat bervariasi[19]. Gim online juga mudah diakses di mana saja, serta menawarkan pengalaman yang berbeda dari kehidupan sehari-hari.

Di sisi lain, permainan tradisional dianggap ketinggalan zaman dan merepotkan untuk dimainkan. Sehingga, permainan tradisional tidak diminati kaum muda.[20][21]

Selain itu, terdapat juga permasalahan mengenai ruang publik yang terbatas[22]. Permainan tradisional membutuhkan tempat yang luas untuk memainkannya—tempat semacam ini kini semakin sulit ditemukan di Indonesia.

Belum lagi permasalahan polusi udara dan suara bising[23] yang menjadi ciri khas area perkotaan. Kondisi ini adalah hambatan lain yang harus dihadapi anak-anak ketika ingin bermain di ruang publik.

Mempopulerkan kembali permainan tradisional

Agar permainan tradisional lebih relevan dengan generasi sekarang, permainan tradisional perlu dikemas ulang dengan cara-cara sebagai berikut:

1. Mengadakan kerja sama antara perguruan tinggi dan juga komunitas pelestari budaya di berbagai daerah. Akademisi dan aktor budaya dapat menjadi inisiator untuk mengenalkan kembali beragam permainan tradisional pada anak-anak atau generasi muda.

2. Mengadakan agenda rutin seperti ‘Pekan Dolanan Tradisional’ di ruang-ruang publik. Pekan dolanan juga dapat diadakan saat acara car free day, atau di pusat keramaian seperti alun-alun. Sasarannya tentu saja anak-anak dan para orang tua.

Ketika orang tua bernostalgia memainkan permainan tradisional, harapannya mereka akan mengajarkan dan mengajak anak-anaknya untuk kembali memainkannya ketika di rumah.

Selain itu, pemerintah daerah juga dapat menambahkan ruang terbuka hijau (RTH) di wilayah masing-masing. RTH dapat menjadi sarana rekreasi, olahraga, interaksi sosial, dan juga mendukung program sustainable development goals (SDGs) ke-11[24] mengenai pembangunan kota yang inklusif dan berkelanjutan.

3. Memastikan keterlibatan aktif sekolah lokal, mulai dari SD, SMP, hingga SMA. Sekolah Dasar dapat menjadi basis awal dari kampanye ini, misalnya dengan menjadikan permainan tradisional sebagai salah satu bentuk ekstrakurikuler.

Dengan begitu, anak-anak tidak hanya mengenal permainan tradisional, tetapi juga melakukannya secara rutin setiap saat, baik di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggalnya.

Anak-anak bermain lompat tali. Dokumentasi Pribadi | Rizky Sugianto Putri (2025), Author provided (no reuse)

4. **Mengedukasi para guru dan orang tua. Guru dan orang tua harus memahami pentingnya aktivitas fisik, bahaya gaya hidup sedentari, serta risiko penyakit tidak menular di usia muda.

Dukungan dari pemerintah kota maupun daerah juga sangat dibutuhkan agar pesan holistik dari kampanye gaya hidup aktif ini dapat tersampaikan dengan baik.

Bonus demografi yang akan kita dapatkan tidak akan berarti jika generasi mudanya sakit-sakitan dan tidak produktif. Menyiapkan generasi yang aktif, sehat, dan tangguh sejak dini, harus menjadi prioritas nasional.

Upaya ini dapat dimulai dari langkah kecil yang murah meriah, seperti mengajak anak bermain lompat tali atau engklek di sore hari.

Read more: Cara terbaik dan murah jaga kesehatan anak: ajak mereka bermain di luar rumah[25]

References

  1. ^ di kalangan kaum muda (www.unicef.org)
  2. ^ Contohnya (www.who.int)
  3. ^ Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2024 (www.who.int)
  4. ^ sedentari (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
  5. ^ Freepik (www.freepik.com)
  6. ^ CC BY-NC (creativecommons.org)
  7. ^ kemajuan teknologi (www.sciencedirect.com)
  8. ^ zaman dulu (www.liputan6.com)
  9. ^ Biarkan anak-anak bermain, mereka butuh kebebasan untuk berkembang (theconversation.com)
  10. ^ bergerak (humanorigins.si.edu)
  11. ^ terbentuk dari interaksi kompleks (www.researchgate.net)
  12. ^ Mapping Ignorance. Author provided. (mappingignorance.org)
  13. ^ CC BY-NC (creativecommons.org)
  14. ^ WHO (www.who.int)
  15. ^ menurunkan beragam kekuatan fisik (kemkes.go.id)
  16. ^ ribuan jenis permainan tradisional (data.go.id)
  17. ^ terjadi pada generasi digital (www.bloombergtechnoz.com)
  18. ^ tidak dapat dipisahkan dari generasi digital (repository.unesa.ac.id)
  19. ^ sangat bervariasi (www.cermati.com)
  20. ^ ketinggalan zaman dan merepotkan untuk dimainkan (ejournal.uin-malang.ac.id)
  21. ^ tidak diminati kaum muda. (ojs.unimal.ac.id)
  22. ^ ruang publik yang terbatas (www.tempo.co)
  23. ^ suara bising (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
  24. ^ (SDGs) ke-11 (sdgs.un.org)
  25. ^ Cara terbaik dan murah jaga kesehatan anak: ajak mereka bermain di luar rumah (theconversation.com)

Authors: Rizky Sugianto Putri, Lecturer at the Department of Anthropology, Universitas Airlangga

Read more https://theconversation.com/bergerak-itu-baik-pentingnya-permainan-tradisional-di-era-digital-265586

Magazine

Sakti perempuan Bali: Kekuatan penopang pariwisata yang terabaikan

Sejumlah perempuan di Bali berbaris membawa sesajen saat melakukan tradisi Mepeed di Desa Munggu, Badung.I Made Rai Yasa/Shutterstock● Perempuan, dalam budaya Bali, membawa Śakti, yakni ene...

Bergerak itu baik: Pentingnya permainan tradisional di era digital

● Penyakit tidak menular kian marak di kalangan anak muda Indonesia akibat gaya hidup sedentari dan kurang aktivitas fisik.● Permainan tradisional membuat anak aktif, sedangkan gim daring ...

Membedah stimulus ekonomi 8+4+5: Benarkah bisa menghentak denyut lemah perekonomian nasional?

Pemerintah resmi meluncurkan paket stimulus ekonomi 2025. Langkah strategis ini diharapkan menjawab tantangan perekonomian nasional yang dihimpit dinamika global dan internal yang berkepanjangan. Kebi...