Diplomasi di persimpangan: Antara solidaritas Palestina dan kepentingan dagang dengan Israel
- Written by Aniello Iannone, Indonesianists | Research Fellow at the research centre Geopolitica.info | Lecturer, Universitas Diponegoro
● Indonesia selalu mendukung kemerdekaan Palestina, tapi secara ekonomi, tak bisa lepas dari Israel.
● Dualitas diplomasi ini bukanlah fenomena unik, melainkan ciri khas tatanan multipolar.
● Di era saat ini, kapitalisme global mengikat hampir seluruh negara di dunia.
Dalam berbagai pidato internasionalnya, termasuk di PBB, Presiden Prabowo Subianto selalu mengecam kekerasan di Gaza[1], menekankan urgensi melindungi warga sipil, dan menegaskan kembali bahwa solusi dua negara merupakan satu-satunya jalan menuju perdamaian.
Diplomasi Prabowo menghidupkan kembali warisan antikolonial Indonesia di bawah Sukarno[2]. Kala itu, Jakarta termasuk yang paling awal dan paling vokal mendukung perjuangan Palestina atas dasar persamaan nasib melawan kolonialisme.
Di panggung internasional, dukungan terhadap Palestina turut mendefinisikan moralitas Indonesia.
Namun, di balik retorika dukungan terhadap Palestina, terdapat realitas yang lebih kompleks. Ada kontradiksi struktural posisi Indonesia dalam dunia multipolar dan multilateral ini.
Dalam politik, Indonesia selalu mendukung kemerdekaan Palestina, tetapi secara ekonomi, faktanya, Indonesia tak bisa lepas dari Israel. Ini mencerminkan adanya dualitas dalam diplomasi Indonesia.
Lain di mulut, lain di angka
Indonesia memang tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel, tetapi perdagangan kedua negara tetap berlangsung “diam-diam”.
Menurut laporan perdagangan Indonesia yang dikutip oleh Asia-Pacific Solidarity Net[4], nilai perdagangan bilateral Indonesia-Israel naik dari sekitar US$187,7 juta (sekitar Rp 2,9 triliun rupiah) pada 2023 menjadi hampir $237,9 juta pada 2024 (sekitar Rp 3,7 triliun rupiah)
Dalam tujuh bulan pertama 2025, nilainya sudah mencapai $165,7 juta, meningkat hampir 19% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara itu, data dari Observatory of Economic Complexity (OEC)[5] menunjukkan bahwa ekspor utama Indonesia ke Israel pada 2023 adalah alas kaki kulit (senilai $39 juta), minyak sawit ($23 juta), dan komoditas lain seperti karet.
Sementara itu, Israel memasok teknologi irigasi presisi, misalnya sistem irigasi tetes Netafim yang telah beroperasi[6] di Indonesia melalui anak usaha lokal—serta perangkat agritech seperti sensor kelembapan tanah dan sistem otomasi irigasi yang digunakan secara luas dalam produksi hortikultura dan perkebunan di Asia.
Read more: Indonesia konsisten mendukung Palestina, namun tidak sepenuhnya menolak hubungan dengan Israel[7]
Angka-angka ini berbeda dari data UN Comtrade[8] karena banyak transaksi dilakukan melalui negara ketiga[9] seperti Hong Kong dan Thailand[10].
Lain di luar, lain di dalam
Di dalam negeri, opini publik sangat pro-Palestina[11]. Ini diperkuat oleh organisasi Islam, gerakan mahasiswa, dan media. Artinya, setiap indikasi normalisasi dengan Israel akan menimbulkan biaya politik besar.
Pemerintah harus sangat hati-hati dalam membuat segala keputusan dan kebijakan politik luar negeri. Sedikit saja menunjukkan keberpihakan atau keterbukaan pada Israel, bisa berujung gelombang protes besar.
Namun di sisi lain, Israel memainkan peran penting dalam rantai pasok teknologi dan pertahanan global, sehingga pemutusan hubungan sepenuhnya akan mahal bagi ambisi pertumbuhan Indonesia.
Read more: Aksi boikot Israel: 5 dukungan yang bisa pemerintah lakukan alih-alih buka hubungan diplomatik[12]
Pidato Prabowo di PBB yang menekankan two-state solution[13] bagi Palestina, misalnya, dapat dibaca sebagai strategi dual signaling: bagi masyarakat domestik dan mitra Muslim, sebuah komitmen terhadap Palestina; bagi pasar internasional, sinyal bahwa Indonesia tetap pragmatis dan tidak akan mengorbankan peluang ekonomi demi kemurnian ideologis.
Normalisasi dualitas di era multipolar
Dualitas ini bukanlah fenomena unik Indonesia, melainkan ciri dari tatanan multipolar saat ini.
Cina dan India[14] berdagang dengan Israel, tapi tetap menyuarakan hak-hak Palestina. Beberapa negara Arab[15] bahkan menormalisasi hubungan melalui Abraham Accords[16], serangkaian perjanjian normalisasi antara Israel dan negara-negara Arab seperti UEA, Bahrain, dan Maroko yang ditandatangani sejak 2020, tanpa menghentikan narasi solidaritas.
Yang membedakan Indonesia adalah bahwa pemisahan antara politik dan ekonomi dipertahankan sebagai kebijakan resmi: perdagangan tanpa pengakuan, keterlibatan tanpa normalisasi.
Cara ini memungkinkan Jakarta menjaga otoritas moral sekaligus tetap berpartisipasi dalam sistem global yang mengintegrasikan Israel.
Tidak seperti kekuatan besar layaknya Amerika Serikat (AS), Indonesia tidak memiliki instrumen yang bersifat memaksa—yang dimiliki adalah legitimasi historis dan status sebagai demokrasi Muslim terbesar di dunia.
Di sinilah sejarah dan ekonomi bertemu. Warisan Sukarno dalam mendukung Palestina adalah bagian dari visi Bandung dan Gerakan Non-Blok[18].
Read more: Mempertanyakan komitmen Prabowo terhadap Palestina: Dua kaki kebijakan luar negeri Indonesia[19]
Bahasa diplomatik itu masih hidup. Tetapi dunia di tahun 2025 bukanlah dunia 1955. Kapitalisme global mengikat bahkan negara yang menolak secara politik. Alhasil, Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari jaringan perdagangan dan teknologi yang melibatkan Israel.
Solidaritas vs perdagangan
Sering kali ada kontradiksi antara solidaritas dan perdagangan. Ini sudah menjadi konsekuensi struktural negara middle power seperti Indonesia.
Contohnya, jika Indonesia terlalu keras mengambil sikap dan tindakan langsung dalam membela Palestina—misalnya ikut berperang melawan tentara Israel—ini berisiko mengganggu hubungan diplomasi penting dengan negara-negara Barat.
Namun jika terlalu terang-terangan berada di tengah, bisa mengkhianati identitas dasarnya.
Untuk saat ini, Prabowo berhasil menjaga keseimbangan ini: dukungan moral terhadap Palestina sebagai simbolik, sambil mempertahankan aktivitas ekonomi dengan Israel.
Namun, keseimbangan ini tidak bisa bertahan selamanya.
Ketika arus perdagangan dengan Israel tumbuh dan krisis Palestina terus berlangsung, pertanyaan tentang posisi Indonesia akan semakin mendesak. Dinamika multipolar akan memaksa Istana mengambil keputusan yang tidak bisa lagi dibungkus dengan retorika.
Bukan munafik
Pidato Prabowo di PBB bukanlah bentuk kemunafikan, melainkan dilema struktural sebuah negara yang harus menengahi nilai dan pasar—antara ingatan memori anti-imperialisme dan realitas kapitalisme global.
Read more: Riset: Warga non-Muslim Indonesia juga bersolidaritas memboikot produk Israel[21]
Tantangan pemerintah ke depan adalah mengubah kontradiksi ini menjadi strategi, bukan kelemahan. Jika berhasil, Indonesia bisa menegaskan perannya sebagai middle power yang mencerminkan dilema Global South sambil menemukan cara efektif untuk bertindak di dalamnya.
Jika gagal, suara moral Indonesia akan tenggelam di bawah kepentingan perdagangan semata.
References
- ^ mengecam kekerasan di Gaza (www.presidenri.go.id)
- ^ Sukarno (en.antaranews.com)
- ^ duy 86/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Asia-Pacific Solidarity Net (www.asia-pacific-solidarity.net)
- ^ Observatory of Economic Complexity (OEC) (tradingeconomics.com)
- ^ irigasi tetes Netafim yang telah beroperasi (www.netafim.co.id)
- ^ Indonesia konsisten mendukung Palestina, namun tidak sepenuhnya menolak hubungan dengan Israel (theconversation.com)
- ^ Angka-angka ini berbeda dari data UN Comtrade (tradingeconomics.com)
- ^ ketiga (www.asia-pacific-solidarity.net)
- ^ Hong Kong dan Thailand (www.jpost.com)
- ^ sangat pro-Palestina (www.middleeastmonitor.com)
- ^ Aksi boikot Israel: 5 dukungan yang bisa pemerintah lakukan alih-alih buka hubungan diplomatik (theconversation.com)
- ^ two-state solution (www.presidenri.go.id)
- ^ Cina dan India (rsis.edu.sg)
- ^ negara Arab (www.bbc.com)
- ^ Abraham Accords (www.state.gov)
- ^ Donny Hery/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Bandung dan Gerakan Non-Blok (www.ifri.org)
- ^ Mempertanyakan komitmen Prabowo terhadap Palestina: Dua kaki kebijakan luar negeri Indonesia (theconversation.com)
- ^ Funnyphoto/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Riset: Warga non-Muslim Indonesia juga bersolidaritas memboikot produk Israel (theconversation.com)
Authors: Aniello Iannone, Indonesianists | Research Fellow at the research centre Geopolitica.info | Lecturer, Universitas Diponegoro




