Asian Spectator

Men's Weekly

.

Dari ‘AADC’ hingga ‘Yuni’: bagaimana kritik sosial dalam film Indonesia berevolusi?

  • Written by Luthfi T. Dzulfikar, Editor Pendidikan + Anak Muda
Dari ‘AADC’ hingga ‘Yuni’: bagaimana kritik sosial dalam film Indonesia berevolusi?

Sejak Reformasi, film Indonesia membuka diri terhadap muatan kritik sosial[1] dan menyajikan tema yang menantang penonton Indonesia dengan berbagai cara.

Kita melihatnya dalam film seperti Sang Penari (2009)[2] karya Ifa Ifansyah yang membongkar pengalaman kelompok tari korban peristiwa 1965. Ada pula film Kucumbu Tubuh Indahku (2018)[3] arahan Garin Nugroho yang menjelajahi seksualitas dalam budaya Indonesia.

Masyarakat juga disajikan penggambaran figur “laki-laki yang baru[4]”. Lihat saja sosok Rangga di Ada Apa dengan Cinta (2002)[5] yang intelektual dan kritis, atau Sakti dalam Arisan (2003)[6] yang mendefinisikan ulang makna maskulinitas.

Yang menarik, kita juga menjumpai penggambaran isu gender dan kekerasan seksual semakin gencar dalam satu tahun ke belakang.

Misalnya, Yuni (2021)[7] yang mengangkat tradisi pernikahan dini di daerah rural, ataupun Penyalin Cahaya (2021)[8] yang menyoroti terjalnya pencarian keadilan dalam kasus pelecehan.

Para pembuat film pun semakin banyak menggunakan teknik visual seperti penerapan “female gaze[9]” (sudut pandang perempuan) hingga metafora tentang gender[10] yang kaya.

Berbagai film ini searah dengan bangkitnya kesadaran masyarakat terkait kesetaraan gender dan terbongkarnya gunung es kekerasan seksual[11] secara perlahan di Indonesia.

Bagaimana kritik sosial berkembang di Indonesia sejak Reformasi? Bagaimana para sineas menggambarkan tema menantang seperti gender dan seksualitas di era modern?

Untuk membedahnya, pada episode podcast SuarAkademia[12] kali ini, kami berbincang dengan Gilang Desti Parahita. Ia merupakan seorang dosen komunikasi di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan juga mahasiswa PhD di King’s College London, Inggris.

Gilang menceritakan berbagai hal, dari kebebasan ekspresi seksualitas pada film era Orde Baru, munculnya kritik sosial dalam perfilman pasca Reformasi, kebangkitan sutradara perempuan, hingga gencarnya pembahasan dan penggambaran isu gender dalam film seperti Yuni dan Penyalin Cahaya.

Simak episode lengkapnya di SuarAkademia[13] – ngobrol seru isu terkini bareng akademisi.

References

  1. ^ membuka diri terhadap muatan kritik sosial (theconversation.com)
  2. ^ Sang Penari (2009) (www.imdb.com)
  3. ^ Kucumbu Tubuh Indahku (2018) (www.imdb.com)
  4. ^ laki-laki yang baru (theconversation.com)
  5. ^ Ada Apa dengan Cinta (2002) (www.imdb.com)
  6. ^ Arisan (2003) (www.imdb.com)
  7. ^ Yuni (2021) (www.imdb.com)
  8. ^ Penyalin Cahaya (2021) (www.imdb.com)
  9. ^ female gaze (www.jawapos.com)
  10. ^ metafora tentang gender (www.cnnindonesia.com)
  11. ^ gunung es kekerasan seksual (theconversation.com)
  12. ^ podcast SuarAkademia (open.spotify.com)
  13. ^ SuarAkademia (open.spotify.com)

Authors: Luthfi T. Dzulfikar, Editor Pendidikan + Anak Muda

Read more https://theconversation.com/dari-aadc-hingga-yuni-bagaimana-kritik-sosial-dalam-film-indonesia-berevolusi-180441

Magazine

Hadapi rentannya emosi remaja, sekolah perlu kembangkan ekosistem empati

● Kasus kekerasan dan kematian remaja mencerminkan kegagalan sekolah membaca dan merespons kesehatan mental siswa.● Indonesia perlu mengembangkan ekosistem empati sesuai konteks budaya aga...

Meningkatnya cemaran antibiotik di perairan dunia bisa membuat bakteri makin kebal

Antibiotik dan obat lainnya yang mencemari lingkungan bisa menyebabkan bakteri lebih kebal terhadap efek pengobatan.tawanroong/ShutterstockArtikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris untuk mempering...

Potret tragis para korban PHK di tengah maraknya perusahaan pailit

● Laporan PUSHAM UII atas kasus kepailitan menunjukkan deindustrialisasi nasional memang nyata.● Para pekerja yang terkena PHK, terutama akibat kepailitan, tidak memiliki kepastian mendapa...