Asian Spectator

Men's Weekly

.

Potret tragis para korban PHK di tengah maraknya perusahaan pailit

  • Written by Sahid Hadi, Peneliti Hak Asasi Manusia dan Dosen Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

● Laporan PUSHAM UII atas kasus kepailitan menunjukkan deindustrialisasi nasional memang nyata.

● Para pekerja yang terkena PHK, terutama akibat kepailitan, tidak memiliki kepastian mendapatkan pesangon dan hak lainnya.

● PHK massal di sektor padat karya berpotensi terus berlangsung, tapi tidak ada perlindungan memadai dari negara.

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Hal inilah yang dialami Sulastri (nama samaran), korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari PT Pandanarum Kenanga Textile atau Panamtex, pabrik tekstil di Jawa Tengah.

Kontribusinya selama 26 tahun untuk Panamtex harus berakhir setelah perusahaan itu dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada 12 September 2024[1].

Tertutup sudah sumber pendapatan tunggal keluarga Sulastri yang pada waktu bersamaan kondisi kesehatan sang suami sedang menurun.

Harapan satu-satunya untuk biaya pengobatan dan kehidupan sehari-hari ada pada hak yang seharusnya ia terima: upah terutang, pesangon, dan penghargaan masa kerja.

Namun, hingga hari ini, proses pengurusan dan pemberesan harta pailit masih berlangsung tanpa kepastian.

Read more: Riset: UU Cipta Kerja gagal sejahterakan buruh, hanya untungkan pemodal[2]

Kisah Sulastri ini hanyalah satu potret dari banyak kisah pekerja yang mengalami PHK beberapa tahun terakhir. Merekalah bukti nyata betapa rentannya kelas menengah di Indonesia untuk terpeleset ke jurang kemiskinan.

Dampak nyata perlambatan industri nasional

Pertumbuhan ekonomi[3] nasional memang relatif stabil di kisaran 5% beberapa tahun terakhir. Namun, stabilitas ekonomi makronya rapuh.

Lima tahun terakhir, laporan kami mencatat[4] jumlah kasus kepailitan di Indonesia meningkat secara signifikan. Kepailitan terjadi saat suatu perusahaan dianggap tak bisa membayar utang kepada kreditornya.

Sejak 2021 hingga kuartal ketiga 2025, tidak kurang dari 150 kasus diputus pailit setiap tahun. Sementara secara kumulatif ada 1.152 kasus kepailitan yang diputus oleh pengadilan.

Yang perlu jadi perhatian adalah dalam periode 2022-2024. Saat itu, putusan kepailitan konsisten berada di atas angka 250 kasus setiap tahun.

Dalam kurun waktu tersebut, tidak sedikit entitas sektor padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki yang bergururan.

Potret tragis para korban PHK di tengah maraknya perusahaan pailit
Sejak tahun 2022, jumlah sidang keputusan kepailitan di pengadilan stabil melewati rekor tertinggi ketika pandemi 2020. Hal ini jadi sinyal buruk yang menandakan banyak badan usaha dalam negeri mengalami kontraksi ekonomi. Infografis: Andi Ibnu/The Conversation Indonesia | Sumber: PUSHAM UII

Berdasarkan data BPS,[5] industri tekstil dan garmen hanya tumbuh 2,64% pada triwulan I-2024. Pertumbuhan bahkan sempat minus 0,03% pada triwulan berikutnya.

Data ini menunjukkan, sektor penyerap tenaga kerja yang besar justru tumbuh di bawah rata-rata nasional.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) memang mewajibkan perusahaan wajib lapor jika ada PHK. Tapi apakah peraturan ini dijalankan? Bahkan belakangan ini Kemenaker enggan membuka data publik mengenai PHK yang terjadi[6].

Sementara BPJS Ketenagakerjaan[7] memprediksi sepanjang tahun ini bakal ada 280 ribu orang korban PHK. Sedangkan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara[8] mencatat sejak 2023 industri tekstil sudah memutus pekerjaan 126 ribu orang.

Hal ini tidak boleh disepelekan. Jika sektor padat karya justru menunjukkan kelesuan dan kasus kepailitan meningkat, artinya ada ribuan bahkan jutaan orang yang kehidupannya terancam.

Tidak ada kehadiran negara

Laporan PUSHAM UII[9] (2025) menunjukkan bahwa pekerja acap jadi korban yang paling dirugikan.

Padahal, Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[10] menegaskan bahwa perlindungan dan pemenuhan HAM, termasuk hak asasi pekerja, adalah tanggung jawab negara.

Sebagaimana dialami Sulastri, para korban PHK akibat penyelesaian kasus kepailitan mendapat banyak bentuk pelanggaran mulai dari ketidakadilan prosedural, kerentanan sosial-ekonomi, hingga ancaman nyata pada penghidupan yang layak.

PHK massal akan terus terjadi beberapa tahun ke depan
Gambaran banyaknya tenaga kerja yang terserap di sektor padat karya seperti pabrik tekstil. Algi Febri Sugita/ Shutterstock.com[11]

Ketidakadilan prosedural mengakar pada keterlambatan informasi kepailitan: pekerja baru mengetahui kepailitan perusahaan pada 11 bulan (309 hari) setelah pengadilan menerbitkan keputusan.

Padahal, regulasi[12] mengharuskan informasi tersebut tersampaikan paling lambat 30 hari setelah putusan dibacakan.

Tak ayal pemberesan harta pailit kerap lambat, molor, tidak transparan, dan tidak akuntabel.

Dalam kasus kepailitan PT Sinarupjaya Utama (PT SJU) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, misalnya, salah satu pekerja yang mengalami PHK turut menceritakan bahwa:

“Pabrik itu sudah pailit ternyata, tapi kita masih kerja karena tidak tahu…Bulan puasa kemarin (2025), kita kerja untuk diekspor. Tangan sudah lecet-lecet karena kerja diburu-buru, dijanjikan gaji dan THR juga, tapi kenyataannya tidak. Kita mau juga karena berharap gaji yang tidak dibayar-bayar,” kata Maemunah (bukan nama sebenarnya), 45 tahun, salah satu pekerja PT SJU.

Temuan kami[13] menunjukkan bahwa pekerja bisa mengalami ketidakpastian lebih dari 1 tahun tanpa adanya penjelasan dari perusahaan.

Read more: Pengangguran muda Indonesia sebanyak 17,3%: Penciptaan lapangan kerja makin bermasalah?[14]

Situasi ini mengancam kehidupan mereka, sebagaimana dialami Sulastri dan Maemunah. Alhasil, hak ekonomi dan sosial yang harusnya dinikmati optimal oleh pekerja dan dilindungi oleh negara, hanya jadi angan-angan.

Pemerintah perlu segera bertindak

Pemerintah harus segera membenahi hal ini. Sebab, badai PHK berpotensi akan terus terjadi hingga beberapa tahun ke depan.

Penyelesaian sebuah kasus kepailitan bisa berlangsung tahunan. Banyaknya keputusan kasus kepailitan dalam beberapa tahun terakhir merupakan akumulasi dari berkas perkara yang telah berproses hingga menumpuk sejak beberapa tahun sebelumnya.

Apalagi dalam beberapa tahun ke belakang, tren berkas permohonan sidang yang diterima pengadilan cukup tinggi dan terus meningkat.

Potret tragis para korban PHK di tengah maraknya perusahaan pailit
Tren PHK akan terus meningkat jika kita merujuk pada jumlah pengajuan sidang kepailitan yang terjadi sejak tahun 2021. Infografis: Andi Ibnu/The Conversation Indonesia | Sumber: PUSHAM UII

Kerugian HAM bagi pekerja[15] dalam penyelesaian kasus kepailitan bersumber dari tiga hal utama: regulasi yang minim perspektif dan perlindungan HAM, kurator yang tidak akuntabel, dan institusi negara yang abai.

Dari sisi regulasi, pekerja memang diprioritaskan mendapatkan uang hasil penyelesaian kepailitan, tetapi pengakuan ini berhenti di atas kertas. Dalam praktiknya, tidak ada jaminan agar hak pekerja dipenuhi secara cepat, transparan, dan akuntabel.

Undang-Undang Kepailitan[16] dan Undang-Undang Perseroan Terbatas[17] memang memberi kepastian hukum bagi para pemilik PT untuk memisahkan harta pribadi dengan harta perusahaan. Tapi beleid ini kurang memberi perhatian pada hak asasi para pekerja dalam situasi kepailitan.

Dalam penegakan hukumnya[18], hakim tidak diberi ruang untuk mempertimbangkan bagaimana putusan pailit dan proses penyelesaian kasus dapat berdampak buruk pada hak ekonomi dan sosial pekerja.

Dari sisi aktor[19], kurator (pengurus kepailitan) kerap gagal memenuhi tujuan substantif dari penerapan asas publisitas dalam penyelesaian kasus kepailitan.

Banyak kurator tidak transparan dan akuntabel dalam mengurus aset kasus. Ini mengindikasikan penyalahgunaan kewenangan sebagaimana terjadi dalam kasus-kasus terdahulu.

Kasus PT Panamtex dan PT SJU menunjukkan bagaimana negara membiarkan kerugian hak ekonomi dan sosial menumpuk tanpa upaya pemulihan.

Semua ini menggambarkan bahwa di balik penyelesaian kasus kepailitan yang tampak prosedural dan teknis, ada pelanggaran hak asasi manusia yang nyata dan berulang.

Read more: Semua pekerja adalah buruh: pentingnya mendorong solidaritas kelas pekerja[20]

References

  1. ^ Pengadilan Niaga pada 12 September 2024 (www.cnbcindonesia.com)
  2. ^ Riset: UU Cipta Kerja gagal sejahterakan buruh, hanya untungkan pemodal (theconversation.com)
  3. ^ Pertumbuhan ekonomi (www.bps.go.id)
  4. ^ laporan kami mencatat (pusham.uii.ac.id)
  5. ^ data BPS, (web-api.bps.go.id)
  6. ^ data publik mengenai PHK yang terjadi (www.tempo.co)
  7. ^ BPJS Ketenagakerjaan (www.tempo.co)
  8. ^ Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (finance.detik.com)
  9. ^ PUSHAM UII (pusham.uii.ac.id)
  10. ^ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (peraturan.bpk.go.id)
  11. ^ Algi Febri Sugita/ Shutterstock.com (www.shutterstock.com)
  12. ^ regulasi (jdih.mahkamahagung.go.id)
  13. ^ kami (pusham.uii.ac.id)
  14. ^ Pengangguran muda Indonesia sebanyak 17,3%: Penciptaan lapangan kerja makin bermasalah? (theconversation.com)
  15. ^ Kerugian HAM bagi pekerja (pusham.uii.ac.id)
  16. ^ Undang-Undang Kepailitan (peraturan.bpk.go.id)
  17. ^ Undang-Undang Perseroan Terbatas (peraturan.bpk.go.id)
  18. ^ penegakan hukumnya (pusham.uii.ac.id)
  19. ^ Dari sisi aktor (pusham.uii.ac.id)
  20. ^ Semua pekerja adalah buruh: pentingnya mendorong solidaritas kelas pekerja (theconversation.com)

Authors: Sahid Hadi, Peneliti Hak Asasi Manusia dan Dosen Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Read more https://theconversation.com/potret-tragis-para-korban-phk-di-tengah-maraknya-perusahaan-pailit-269503

Magazine

Hadapi rentannya emosi remaja, sekolah perlu kembangkan ekosistem empati

● Kasus kekerasan dan kematian remaja mencerminkan kegagalan sekolah membaca dan merespons kesehatan mental siswa.● Indonesia perlu mengembangkan ekosistem empati sesuai konteks budaya aga...

Meningkatnya cemaran antibiotik di perairan dunia bisa membuat bakteri makin kebal

Antibiotik dan obat lainnya yang mencemari lingkungan bisa menyebabkan bakteri lebih kebal terhadap efek pengobatan.tawanroong/ShutterstockArtikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris untuk mempering...

Potret tragis para korban PHK di tengah maraknya perusahaan pailit

● Laporan PUSHAM UII atas kasus kepailitan menunjukkan deindustrialisasi nasional memang nyata.● Para pekerja yang terkena PHK, terutama akibat kepailitan, tidak memiliki kepastian mendapa...