Kekayaan sejarah tentang kecintaan kita pada kemewahan
- Written by Peter McNeil, Distinguished Professor of Design History, UTS, University of Technology Sydney

Di masa kini, dengan satu atau lain cara, orang yang dianggap relatif tak mampu secara ekonomi pun bersentuhan dengan kemewahan.
Jika Anda menikmati pendingin ruangan, akses pencahayaan, daging ayam atau coklat, Anda tengah berkelindan dengan apa yang dulunya dianggap mewah.
Hal-hal yang dianggap – dan tak dianggap – sebagai kemewahan berubah seiring waktu.
Kemerosotan dan kemewahan
Ketika kita mendeskripsikan makanan penutup sebagai sesuatu yang “menggugah selera” (decadent), kita harus mengingat bahwa kata ini berhubungan dengan “kemunduran” (decaying), konsep yang erat terkait dengan “Romans of the decadence[1]” (masyarakat Romawi pada era kemunduran) yang gaya hidup mewahnya menjadi bukti mengapa kekaisaran ini harus ambruk.
Masyarakat Romawi melihat kemewahan sebagai sesuatu yang pada dasarnya asing dan karenanya berbeda dengan semangat asli dan kuno dari polis Romawi[2]. Ini mengapa kemewahan kerap direpresentasikan sebagai sesuatu yang oriental atau datang dari “Timur”, asal muasal wewangian, rempah-rempah, permata, gading, dan budak yang langka.
Sebagai hasilnya, Kekaisaran Romawi memperkenalkan hukum terkait pengeluaran[3], demi mengatur konsumsi untuk pakaian dan perhiasan mahal, serta untuk pengeluaran seperti perjamuan dan bahkan pemakaman.
Langkah ini penting, sebab masyarakat Romawi pada zaman itu begitu menikmati kemewahan yang semarak. Mereka doyan menikmati kelezatan seperti unggas yang digemukkan, burung merak, tiram, ham, babi hutan dan burung sikatan yang dimakan utuh – terkadang semuanya dikombinasikan di dalam kulit paté walaupun ini dilarang oleh regulasi soal pengeluaran yang baru dikeluarkan saat itu.
Kemewahan bahkan ditemukan dalam perbudakan. Juvenal, penyair Romawi, berkomentar satir[4] tentang bagaimana dibanding pembantu rumah tangga yang tak tampak elok, lebih baik menghadirkan sekumpulan budak pria cantik berseragam (exoleti) – yang ditata berdasarkan kebangsaan, ukuran tubuh, dan warna rambut – untuk menyajikan minuman.
Gaya konsumsi ini berlangsung selama periode yang panjang. Pada abad ke-19, misalnya, ada kesan mewah dari memiliki sejumlah pelayan laki-laki yang ukuran badannya serupa, dan masyarakat era Victoria menikmati perjamuan yang dirancang dengan detail dan dengan hidangan beraneka rupa.
Read more https://theconversation.com/kekayaan-sejarah-tentang-kecintaan-kita-pada-kemewahan-197985