Refleksi nasib sejawat ‘nillionaire’ Indonesia: Kerja keras tanpa jaminan stabilitas
- Written by Mgs. Ahmad Ramadhani, a PhD student in the Department of Social Policy and Social Work at Masaryk University, Brno, the Czech Republic, Masaryk University
● Setelah disebut kaum mendang-mending, kaum tepi jurang, hingga ‘generasi sandwich’, kelas menengah mendapat sebutan baru yakni ‘nillionaire’.
● Dengan gaji pas-pasan dan laju inflasi selangit, ,mereka harus berjibaku menghidupi dirinya dan keluarganya.
● Pemerintah perlu benahi hampir semua aspek agar nillionaire naik kelas dan bukan justru jatuh miskin.
Untuk orang-orang berkantung tebal, sebutan yang disematkan kepada mereka sedari dulu selalu millionaire (jutawan) dan billionaire (miliarder)[1].
Tapi untuk teman-teman kelas menengah, khususnya yang rentan miskin, sebutan mereka kerap berganti-ganti. Mulai dari kaum mendang-mending, kaum tepi jurang[2], generasi sandwich, hingga yang terbaru disebut nillionaire[3].
Nillionaire sering disebut sebagai golongan nir (tidak ada) dan millionaire jutawan atau kelompok tanpa aset bernilai tinggi. Singkatnya untuk kelompok ini, uang datang dan pergi begitu cepat[4] sehingga tak sempat terakumulasi menjadi aset.
Para nillionaire inilah yang mendominasi demografi ekonomi Indonesia. Teman-teman nillionaire berjumlah 66% penduduk Indonesia[5] tergolong sebagai kelas menengah dan kelas menengah aspiratif pada 2024.
Bank Dunia[6] menetapkan kelas menengah sebagai mereka yang berpenghasilan antara Rp9,8-47,6 juta per bulan.
Adapun para nillionaire berada di cakupan Rp4,2-9,8 juta digolongkan sebagai kelas menengah aspiratif (tidak miskin, namun rentan jadi miskin).
Read more: Di balik kategori "miskin" BPS: Standar bertahan hidup, bukan taraf kesejahteraan[7]
Bertepatan dengan International Day for the Eradication of Poverty atau “Hari Peringatan Penanggulangan Kemiskinan Dunia”, seperti apa refleksi kehidupan para Nillionaire Tanah Air selama ini dan di masa depan?
Himpitan kewajiban yang menggerus pendapatan
Salah satu isu yang populer dalam diskusi publik adalah faktor generasi sandwich[8].
Para nillionaire banyak yang memiliki pendapatan tetap atau setidaknya pendapatan hasil pekerjaan paruh waktu alias freelancer.
Kuantitas dan kualitas pekerjaan[9] masih menjadi tantangan utama. Sebagian besar orang memang bekerja, tetapi bukan di sektor formal yang stabil dan layak memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Setengah di antara total pekerja juga merasa terjebak antara kewajiban menanggung orang tua dan keluarga karena dorongan timbal balik, emosi, dan norma budaya[10].
Meskipun hal ini membantu menjelaskan mengapa sulitnya rumah tangga berkembang, faktor struktural yang lebih mendalam menjadi penyebab utama kehidupan nillionaire kian berat.
Sekitar 47% pekerjaan[11] pada 2023 berada di tingkat pendapatan kelas menengah, tapi tidak ada data resmi tentang berapa banyak pekerja yang benar-benar berada di kategori ini.
Read more: Aktivisme kelas menengah: Sempat redup, kini bangkit melawan rezim[12]
Dominasi pekerjaan informal[13] (sekitar 51% di perkotaan dan 27% di pedesaan) mendorong 8,2% pekerja[14] atau sekitar 19 juta orang harus mencari kerja sampingan karena pendapatan utama mereka tidak mencukupi.
Tertekan gaya hidup pribadi
Pengeluaran pribadi turut memperlebar ketimpangan. Hal ini disebabkan kenaikan biaya hidup, pasar kerja yang tidak stabil, kemudahan akses kredit digital,dan rendahnya literasi keuangan memperlebar jurang pendapatan dan pengeluaran.
Sekitar 64% milenial memakai layanan buy now, pay later (BNPL[15]), sebagian karena kekurangan dana dan 80% karena kebutuhan darurat.
Padahal, 85% dari mereka memiliki dana darurat dan 71% sudah berinvestasi. Hampir setengah hanya menyisihkan kurang dari 10% pendapatan untuk kesehatan atau asuransi. Sekitar 18% di antaranya tidak menyisihkan apapun.
Generasi Z lebih sering berbelanja dalam nominal kecil, sementara Baby Boomers lebih jarang tetapi dalam jumlah besar. Milenial berada di tengah, dengan perilaku campuran[16] antara perencanaan dan impulsivitas yang dipengaruhi gaya hidup digital.
Meski begitu, tiga per empat[17] di antaranya khawatir BNPL mendorong konsumsi berlebihan.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah berencana[18] menetapkan batas usia dan pendapatan mulai Januari 2027.
Penetapan ini membuat kredit BNPL hanya akan tersedia bagi individu berusia 18 tahun (atau sudah menikah) ke atas yang berpenghasilan minimal 3 juta rupiah (US$ 185) per bulan agar mitigasi risiko terhadap potensi kredit macet terjaga dengan peningkatan ambang batas pendapatan yang terukur.
Kontributor negara terbesar, namun minim kontribusi dari pemerintah
Meskipun menjadi penyumbang pajak terbesar[19], perlindungan sosial bagi para kelas menengah masih minim.
Belanja publik[20] untuk perlindungan sosial justru menurun dari 11,5% pada 2016 menjadi 10,9% pada 2024.
Ini menunjukkan bahwa kesejahteraan sosial masih kalah prioritas dibanding pembangunan infrastruktur dan penguatan keamanan.
Beberapa kebijakan terbaru[22] untuk memperkuat perlindungan seperti penurunan iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM), perpanjangan insentif PPh 21, dan dukungan pembiayaan perumahan melalui BPJS Ketenagakerjaan memang positif.
Namun, semua hal itu belum berlaku efektif dan tidak menjawab persoalan yang lebih luas.
Read more: Masyarakat Indonesia masih rentan jatuh miskin, apa penyebabnya?[23]
Sebagian besar program pemerintah masih menyasar pekerja formal. Sementara pekerja informal yang jumlahnya besar mendapat perlindungan terbatas.
Insentif PPh 21 diberikan hanya untuk sektor tertentu dan nilainya jauh dari cukup (Rp60 ribu-Rp400 ribu per bulan yang tidak sebanding dengan biaya hidup). Kebijakan ini juga belum menjamin pekerjaan yang stabil, upah layak, atau perlindungan yang memadai.
Diskriminasi usia[24] dalam rekrutmen tetap marak meski ada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan 2025 yang mendorong perlakuan adil lintas usia.
Apalagi regulasi ini bersifat imbauan, bukan hukum yang mengikat, dan tidak disertai sanksi atau pengawasan yang ketat.
Akibatnya, bias usia tetap mengakar dan membuat banyak pekerja senior yang juga merupakan nillionaire tersisih di pasar kerja yang kompetitif.
Apa yang perlu dilakukan pemerintah?
Untuk mengatasinya, Indonesia perlu strategi yang lebih luas dan inklusif melalui kolaborasi antar kementerian dan lembaga keuangan.
Kelompok miskin ekstrem tetap perlu menjadi prioritas utama. Namun, kelas menengah dan aspiratif juga perlu dukungan lebih kuat karena merekalah golongan mayoritas dan amat rentan terhadap guncangan ekonomi.
Tantangannya bukanlah sekadar menambah lapangan kerja, tetapi menciptakan pasar kerja yang memberi stabilitas. Perlindungan sosial perlu didesain ulang agar mampu menahan ketidakpastian dan mencegah kemunduran ekonomi.
Kebijakan ketenagakerjaan harus memperluas pekerjaan formal, menjamin upah layak, dan memperluas perlindungan bagi pekerja lepas dan informal.
Biaya hidup dapat ditekan lewat penyediaan perumahan layak dan murah, peningkatan mutu layanan BPJS Kesehatan yang adil dan merata, serta akses pendidikan berkualitas dan terjangkau—bukan sekadar program politis seperti MBG.
Kerentanan finansial perlu diatasi dengan akses kredit murah, perlindungan konsumen, dan pengawasan pinjaman yang ketat.
Pertumbuhan regional dan konektivitas juga penting untuk membuka peluang di luar kota besar.
Semua langkah ini memerlukan komitmen politik yang kuat dan pelaksanaan yang konsisten lintas lembaga.
Dengan tekad seperti itu, Indonesia dapat mencegah lahirnya generasi pekerja keras tapi minim aset (generasi nillionaire) dan membangun kelas menengah yang lebih adil dan tangguh.
References
- ^ millionaire (jutawan) dan billionaire (miliarder) (www.liputan6.com)
- ^ kaum tepi jurang (www.worldbank.org)
- ^ nillionaire (www.kompas.com)
- ^ datang dan pergi begitu cepat (www.parapuan.co)
- ^ 66% penduduk Indonesia (klc2.kemenkeu.go.id)
- ^ Bank Dunia (www.worldbank.org)
- ^ Di balik kategori "miskin" BPS: Standar bertahan hidup, bukan taraf kesejahteraan (theconversation.com)
- ^ sandwich (cdn.idntimes.com)
- ^ Kuantitas dan kualitas pekerjaan (eastasiaforum.org)
- ^ menanggung orang tua dan keluarga karena dorongan timbal balik, emosi, dan norma budaya (lup.lub.lu.se)
- ^ 47% pekerjaan (thedocs.worldbank.org)
- ^ Aktivisme kelas menengah: Sempat redup, kini bangkit melawan rezim (theconversation.com)
- ^ Dominasi pekerjaan informal (www.bps.go.id)
- ^ 8,2% pekerja (lpem.org)
- ^ BNPL (cdn.idntimes.com)
- ^ perilaku campuran (www.mdpi.com)
- ^ tiga per empat (cdn.idntimes.com)
- ^ pemerintah berencana (fintechnews.sg)
- ^ penyumbang pajak terbesar (nasional.kontan.co.id)
- ^ Belanja publik (anggaran.kemenkeu.go.id)
- ^ onyengradar/ Shutterstock.com (www.shutterstock.com)
- ^ kebijakan terbaru (www.ekon.go.id)
- ^ Masyarakat Indonesia masih rentan jatuh miskin, apa penyebabnya? (theconversation.com)
- ^ Diskriminasi usia (stratex.asia)
Authors: Mgs. Ahmad Ramadhani, a PhD student in the Department of Social Policy and Social Work at Masaryk University, Brno, the Czech Republic, Masaryk University




