20 tahun LinkedIn: bagaimana kemunculan jenis _influencer_ baru mengubah sang raksasa jejaring bisnis
- Written by Theo Tzanidis, Senior Lecturer in Digital Marketing, University of the West of Scotland
Ketika seseorang menyebut media sosial, LinkedIn mungkin tak serta merta muncul di benak kita. Tapi tak ada yang bisa menyangkal bahwa situs jejaring bisnis ini tahan banting: LinkedIn kini genap berusia 20 tahun sejak pertama kali berdiri di Silicon Valley, Amerika Serikat (AS).
LinkedIn adalah buah pikiran dari Reid Hoffman. Ia adalah pengusaha asal AS yang pernah bekerja untuk sebuah platform media sosial milik Apple sebelum meluncurkan platfom miliknya sendiri, SocialNet[1], pada 1997. Sayangnya, situs kencan dan jejaring profesional tersebut kandas dalam dua tahun setelah gagal menemukan cukup basis pengguna.
Hoffman kemudian menjadi manajer senior di PayPal, dan mengantungi uang dalam jumlah besar ketika platform pembayaran digital itu dibeli oleh eBay pada 2002. Uang inilah yang membantunya mendirikan LinkedIn bersama mantan kolega-koleganya di SocialNet pada 28 Desember 2002. Hoffman menjadi CEO pertama LinkedIn sebelum akhirnya menjadi executive chairman[4].
Ini adalah masa ketika orang-orang menyadari pentinngnya keterhubungan individu dan interaksi peer-to-peer (rekan ke rekan). Platform LinkedIn diluncurkan pada Mei 2003, sebelum Myspace dan Facebook ada. Tapi ketika keduanya maupun platform lain seperti Friendster[5] menyasar pasar konsumen, Hoffman selalu memfokuskan LinkedIn pada dunia bisnis.
Bagaimana LinkedIn bertumbuh
LinkedIn awalnya dirancang sebagai tempat bagi pengguna untuk membagikan CV dan membangun jejaring dengan orang-orang yang dapat memberikan mereka rekomendasi profesional. Butuh waktu bagi LinkedIn untuk menemukan pijakannya – melalui inovasi yang memungkinkan pengguna menggunggah daftar kontak mereka (2004), serta membuka lowongan pekerjaan (2005) dan membuat profil publik (2006).
LinkedIn masuk ke ranah internasional pada akhir dekade 2000-an, membuka kantor di Inggris pada 2008, dan meluncurkan versi bahasa Spanyol dan Prancis pada tahun yang sama. Jeff Weiner, sebelumnya dari Yahoo, masuk sebagai CEO setahun berselang, seiring dengan metamorfosis perusahaan menjadi bisnis yang serius.
Platform tersebut menghasilkan laba dari fitur-fitur premium[6] yang memungkinkan pengguna untuk melakukan hal-hal seperti mengirimkan pesan ke luar jaringan mereka, mengirimkan email dan mengakses portal analisis data. LinkedIn juga menyediakan tempat dan paket iklan untuk membantu perekrut menggaet pencari kerja yang sesuai kebutuhan.
LinkedIn merambah pasar saham pada 2011 dengan valuasi senilai US$9 miliar (Rp 136,24)[7]. Hasil penjualan sahamnya mendanai sejumlah besar akuisisi yang secara bertahap menghadirkan berbagai fitur baru ke dalam platform, seperti kemampuan mengunggah artikel (2015) dan video (2017).
Microsoft kemudian mengakuisisi LinkedIn pada tahun 2016 lewat transaksi senilai US$26 miliar. Dengan bergabungnya Hoffman ke jajaran eksekutif raksasa teknologi asal Seattle tersebut, dan Weiner masih menjadi CEO LinkedIn hingga sekarang, Microsoft menerapkan kepemilikan yang cenderung minim intervensi[8].
Diuntungkan pandemi
Kini, LinkedIn bisa dikatakan sebagai media sosial terbesar ketujuh setelah Facebook/Messenger, YouTube, WhatsApp, Instagram, Twitter dan Tik Tok. Pada 2021, platform tersebut memiliki hampir 824 juta pengguna dari 200 negara dan wilayah. Sekitar 6% (49 juta) adalah pelanggan premium yang membayar minimal $29,99 (atau sekitar Rp 450 ribu) per bulan.
Fokus bisnis LinkedIn tak hanya berhasil menarik basis pengguna kelas atas, tapi juga anak muda[9]. Mayoritas (59%) pengguna berusia 25-34, disusul oleh kelompok usia 18-24 (20%) dan 35-54 (18%). Perusahaan berhasil membukukan pemasukan US$10 miliar lebih[10] pada 2021.
Media sosial terbesar dunia
Kondisi pandemi membawa kemujuran[12] untuk LinkedIn, dengan interaksi di platform meningkat 43% dan aktivitas berbagi konten naik 30%. LinkedIn menuai untung dari bergesernya cara orang berjejaring, dan ini berkaitan dengan temunan dari sejumlah studi[13] bahwa koneksi profesional kita yang paling lemah – misalnya sekadar kolega dari seorang kolega – justru yang paling berperan memberikan kita informasi penting yang pada akhirnya mengarahkan kita ke lowongan atau pekerjaan-pekerjaan impian.
Pada masa ketika hambatan ruang dan waktu menjadi kurang relevan dan panggilan Zoom mudah ditemui di mana-mana, ini jadi momen yang tepat untuk berhubungan kembali dengan para kenalan ini. Apalagi, dengan banyaknya orang yang mempertanyakan situasi kerjanya masing-masing[14], LinkedIn menjadi tempat ideal untuk melihat unggahan orang lain dan berkomunikasi dengan mereka.
Read more: _Quiet quitting_: mengapa bekerja lebih sedikit itu bagus untukmu -- dan juga bosmu[15]
Ini berarti LinkedIn memegang peranan sentral dalam fenomena great resignation – merujuk pada fenomena meroketnya jumlah pekerja yang mengundurkan diri setelah pandemi COVID-19 pecah. Layaknya sebagian besar pengguna LinkedIn, gerakan ini pun didominasi oleh kelompok milenial. Unggahan soal pindah atau keluar dari pekerjaan menarik banyak likes dan komentar, menginspirasi[16] orang untuk melakukan hal yang sama. Fakta bahwa sangat banyak orang yang terhubung lewat LinkedIn menggandakan efek tersebut dan menjadikannya sebagai katalis maupun solusi utama bagi pemberi kerja.
Pertumbuhan pengguna LinkedIn dari waktu ke waktu





