Ruang sipil makin sempit, kaum muda makin takut berekspresi
- Written by Muammar Syarif, Multiplatform Manager, The Conversation
Ruang sipil kini menjadi topik yang semakin penting dibicarakan. Di tengah dinamika politik dan derasnya arus informasi digital, muncul pertanyaan besar: seberapa bebas kaum muda Indonesia bisa mengekspresikan diri mereka?
Kebebasan ini seperti berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, teknologi memberi ruang baru bagi anak muda untuk berjejaring dan menyampaikan gagasan secara kreatif. Di sisi lain, muncul ketakutan yang nyata terhadap pembatasan hukum, persekusi digital, dan tekanan sosial yang bisa membungkam suara kritis.
Terkait situasi ini, Yayasan Partisipasi Muda mengeluarkan sebuah laporan yang berjudul “Understanding Youth Space and Civic Space in Indonesia[1]”.
Laporan ini membahas bagaimana kaum muda menghadapi ruang sipil yang semakin menyempit, termasuk persepsi mereka terhadap ruang publik yang aman dan ramah anak muda, tantangan yang mereka hadapi untuk mengakses ruang-ruang tersebut, serta pandangan mereka terhadap respons pemerintah.
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas penelitian ini secara lebih mendalam bersama Muhammad Fajar dan Rahardhika Utama dari Institute For Advanced Research (IFAR).
Rahardhika mengungkapkan bahwa kaum muda mendefinisikan ruang sipil bukan hanya sebagai kebebasan berbicara, tetapi juga kebebasan berserikat, berekspresi, dan berpartisipasi dalam kehidupan publik tanpa rasa takut.
Menurutnya, penting bagi negara untuk menjamin hak-hak dasar warga dan membangun ruang sipil yang sehat demi menjaga iklim demokrasi yang kondusif.
Fajar menyoroti bahwa ruang sipil di Indonesia kini menghadapi ancaman serius. Ambisi sebagian elite politik untuk memperluas kekuasaan serta lemahnya lembaga demokrasi menjadi faktor utama penyempitan ruang partisipasi publik. Kekecewaan masyarakat terhadap janji-janji demokrasi yang tidak terpenuhi juga memperdalam krisis kepercayaan terhadap politik formal.
Fenomena menarik sekaligus mengkhawatirkan muncul dari data yang diungkap Rahardhika, yaitu 74% anak muda mengaku takut mengekspresikan pendapatnya di media sosial.
Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Banyak dari mereka khawatir terhadap jerat hukum seperti Undang-Undang ITE yang kerap disalahgunakan, serta ancaman serangan personal seperti pelecehan atau doxing, terutama yang dialami kelompok minoritas.
Namun, rasa takut ini tak selalu berujung pada keheningan. Fajar mengatakan kaum muda menunjukkan cara beradaptasi dan mencari cara-cara baru untuk menyalurkan pendapat mereka.
Dari musik, seni, hingga humor di media sosial, berbagai bentuk ekspresi kreatif menjadi sarana untuk menyuarakan kritik tanpa harus berhadapan langsung dengan risiko hukum.
Rahardhika juga melihat aktivisme digital menjadi bentuk baru partisipasi sipil. Anak muda kini tak lagi bergantung pada organisasi tradisional, melainkan membangun gerakan melalui platform digital.
Fajar dan Rahardhika menekankan perlunya dukungan nyata agar aktivisme ini bisa bertahan, mulai dari literasi digital, keamanan siber, hingga strategi konten kreatif yang bisa menggerakkan audiens.
Mereka menambahkan meski ruang sipil Indonesia menghadapi tekanan dari banyak arah, semangat anak muda untuk berbicara dan berpartisipasi belum padam.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
References
- ^ Understanding Youth Space and Civic Space in Indonesia (partisipasimuda.org)
Authors: Muammar Syarif, Multiplatform Manager, The Conversation
Read more https://theconversation.com/ruang-sipil-makin-sempit-kaum-muda-makin-takut-berekspresi-268999




