Bandar antariksa Indonesia dibangun untuk luncurkan roket dan satelit, tapi ada 2 kendala
- Written by Yaries Mahardika Putro, Lecturer in Air and Space Law, Universitas Surabaya
Indonesia sudah mengembangkan satelit antariksa sejak tahun 1963, hanya enam tahun sejak peluncuran Sputnik 1, satelit buatan pertama milik Uni Soviet, pada tahun 1957.
Awal tahun 1963, Indonesia membuat dan meluncurkan roket Sonda[1] yang menjadi satelit pertama yang diluncurkan di Asia Tenggara, dan kedua di Asia, setelah Jepang.
Semenjak itu, Indonesia mulai aktif mengembangkan kegiatan keantariksaan.
Kegiatan keantariksaan adalah kegiatan yang berhubungan dengan antariksa, mulai dari peluncuran roket, pengoperasian satelit, kegiatan riset, dan penggunaan ruang antariksa untuk tujuan-tujuan ekonomi seperti penyewaan transponder (alat pemancar), bisnis jasa peluncuran satelit, pembuatan satelit, serta bisnis pembuatan roket peluncuran.
Indonesia memiliki potensi besar dalam mengembangkan industri yang berkaitan dengan kegiatan keantariksaan karena posisi geografisnya yang berada di khatulistiwa.
Daerah ekuator memiliki beberapa keuntungan[2] sebagai tempat peluncuran roket atau satelit karena beberapa alasan, salah satunya adalah adanya tambahan daya dorong yang muncul dari gaya rotasi bumi yang bisa menghemat bahan bakar roket.
Bisnis peluncuran roket antariksa pada tahun 2040 diproyeksikan mencapai US$1 triliun atau setara dengan Rp 15 ribu triliun[3] atau naik hampir tiga kali lipat dibanding nilai tahun ini.
Namun, masih ada kendala untuk dapat mengembangkan industri ini di Indonesia, antara lain karena masalah regulasi dan keberadaan lembaga yang bertanggung jawab pada sektor ini.
Rencana bangun bandar antariksa belum dieksekusi
Indonesia sudah mengesahkan Undang-Undang (UU) Keantariksaan[4] pada tahun 2013. Ahli Hukum Udara dan Antariksa dari Universitas Atma Jaya Jakarta, Ida Bagus Rahmadi Supancana, mengatakan[5] bahwa UU ini visioner dan melihat jauh ke depan.
Ini karena substansi dari UU Keantariksaan juga mengatur beberapa ketentuan termasuk pembangunan bandar antariksa dan komersialisasi antariksa di Indonesia. Bandar Antariksa[6] adalah kawasan di daratan yang dipergunakan sebagai landasan dan/atau peluncuran Wahana Antariksa yang dilengkapi dengan fasilitas Keamanan dan Keselamatan serta fasilitas penunjang lainnya.
Sejak peluncuran Sputnik 1 di tahun 1957, setidaknya ada 28 bandar antariksa di seluruh dunia[7] yang telah digunakan untuk melayani peluncuran roket, baik yang mengangkut satelit maupun manusia, ke orbit Bumi.
Namun, dari 28 bandar antariksa tersebut hanya 3 bandar yang masih aktif[8] melayani peluncuran roket bermuatan satelit dan manusia ke orbit Bumi, yaitu Kennedy Space Center yang berada di Florida, Amerika Serikat (AS), milik National Aeronautics and Space Administration (NASA); Kosmodrom Baikonur yang berada di selatan Kazakhstan milik Roscosmos, Rusia; dan Jiuquan Satellite Launch Center yang berada di Cina, milik pemerintah Cina.
References
- ^ roket Sonda (www.lapan.go.id)
- ^ beberapa keuntungan (www.scienceabc.com)
- ^ pada tahun 2040 diproyeksikan mencapai US$1 triliun atau setara dengan Rp 15 ribu triliun (www.cnbc.com)
- ^ Undang-Undang (UU) Keantariksaan (www.dpr.go.id)
- ^ mengatakan (books.google.co.id)
- ^ Bandar Antariksa (www.dpr.go.id)
- ^ 28 bandar antariksa di seluruh dunia (aerospace.csis.org)
- ^ 3 bandar yang masih aktif (aerospace.csis.org)
- ^ CC BY (creativecommons.org)
- ^ dokumen tersebut (jdih.setkab.go.id)
- ^ masih menggodok (www.thejakartapost.com)
- ^ Mission Technology Regimes Control (mtcr.info)
- ^ Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) (www.lapan.go.id)
- ^ melakukan penelitian dan pengembangan kedirgantaraan (peraturan.bpk.go.id)
- ^ Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (hukor.brin.go.id)
- ^ Indonesian Space Agency (INASA) (www.thejakartapost.com)
Authors: Yaries Mahardika Putro, Lecturer in Air and Space Law, Universitas Surabaya





