Asian Spectator

.
Business Advice

.

Tuberkulosis sulit dikendalikan, tenaga kefarmasian bisa berperan optimal untuk atasi masalah TB di Indonesia

  • Written by Ivan Surya Pradipta, Peneliti di Departemen Farmakologi & Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran
Tuberkulosis sulit dikendalikan, tenaga kefarmasian bisa berperan optimal untuk atasi masalah TB di Indonesia

Artikel ini diterbitkan untuk memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia 24 Maret.

Data terbaru dari Badan Kesehatan Dunia (WHO)[1] menunjukkan 10,6 juta orang menderita tuberkulosis (TB) di dunia dengan jumlah kematian akibat TB mencapai 1,4 juta orang pada 2022.

Kondisi di Indonesia tidak kalah mengkhawatirkan. Negara kita merupakan negara terbesar kedua di dunia setelah India[2] dengan kasus TB baru mencapai 969 ribu orang dan angka kematian sebanyak 144 ribu orang.

Kondisi semakin diperparah dengan belum optimalnya pelaporan kasus dan keberhasilan pengobatan TB di Indonesia. Angka pelaporan kasus TB masih berada pada angka 45,7% dengan cakupan pengobatan masih kurang dari separuh, hanya 45% dari total kasus yang diestimasi[3].

Studi sebelumnya yang kami lakukan pada 2021 menunjukkan[4] faktor aksesibilitas masyarakat untuk mendapatkan pelayanan pengobatan yang berkualitas dan ketidakpatuhan pengobatan telah berkontribusi terhadap kegagalan pengobatan TB di Indonesia.

Kompleksitas permasalahan TB mendorong WHO untuk memformulasikan strategi global dalam pencapaian target eliminasi TB. Salah satu di antaranya adalah mendorong keterlibatan semua sektor dalam penanganan TB, termasuk kefarmasian.

Permasalahan TB di Indonesia

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis yang dapat ditularkan melalui udara. Kemudahan penularan tersebut menyebabkan TB menjadi penyakit yang tidak mudah dikendalikan.

Permasalahan menjadi kompleks ketika ditemukan kuman TB yang kebal terhadap pengobatan lini pertama TB atau dikenal dengan istilah TB Resisten Obat (TB RO).

Adanya kuman kebal obat tersebut menyebabkan pengobatan semakin kompleks yakni pasien TB RO harus menuntaskan pengobatan selama 9 hingga 24 bulan dengan mengkonsumsi jenis obat yang bervariasi.

Meski angka keberhasilan keseluruhan jenis pengobatan TB relatif tinggi (85%), namun keberhasilan pengobatan pada kasus TB resisten obat berganda masih relatif rendah, yaitu sebesar 47%[5].

Hal tersebut menandakan lebih dari separuh pasien TB resisten obat ganda yang menjalani pengobatan mengalami kegagalan pengobatan berupa kematian, resistensi lebih lanjut, tidak sembuh, tidak melanjutkan pengobatan atau hilang kontak.

Gambaran data TB di tingkat nasional menyiratkan terdapat dua permasalahan utama dalam pengendalian TB di Indonesia, yaitu belum optimalnya pelaporan kasus dan keberhasilan pengobatan TB.

Rendahnya angka pelaporan TB dapat disebabkan oleh kegagalan sistem kesehatan dalam mendata dan melaporkan kasus TB yang telah terdiagnosis, baik yang berada di fasilitas kesehatan publik maupun swasta.

Namun kemungkinan lain yang lebih mengerikan lagi adalah kegagalan sistem kesehatan dalam menemukan, mendiagnosis, dan mengobati kasus TB yang ada di masyarakat. Hal ini berdampak pada penularan TB yang semakin masif di masyarakat.

Kegagalan pengobatan TB juga masih banyak dilaporkan dengan berbagai faktor yang melatarbelakanginya, seperti dalam temuan studi kami[6].

WHO menekankan bahwa TB merupakan permasalahan multidimensi yang tidak hanya bertumpu pada aspek medis saja. Namun, juga melibatkan aspek-aspek ilmu pengetahuan,teknologi, manajerial, sosial, politik, dan budaya.

Oleh karena itu, penyelesaian yang melibatkan semua pihak sangat diperlukan sehingga dapat melahirkan terobosan baru dalam menyelesaikan masalah TB di Indonesia.

Read more: Mengapa kegagalan pengobatan tuberkulosis banyak terjadi di Indonesia?[7]

Peran tenaga kefarmasian untuk kendalikan TB

Paradigma dunia kefarmasian telah berubah.

Saat ini, orientasi pelayanan kefarmasian tidak hanya berfokus pada aktivitas penyediaan obat saja, namun juga berfokus pada kerasionalan penggunaan obat yang berorientasi pada luaran pengobatan.

Atas dasar tersebut, pelayanan langsung kepada pasien untuk memastikan rasionalitas dan luaran pengobatan yang optimal menjadi bagian yang terintegrasi dalam pelayanan kefarmasian modern.

Inovasi pelayanan kefarmasian dalam pengendalian penyakit TB telah berkembang. Saya dan tim melakukan studi tinjauan sistematis terhadap 201 artikel ilmiah yang relevan terkait dengan pelayanan kefarmasian TB di luar negeri.

Studi-studi yang ada menunjukkan berbagai model pelayanan kefarmasian TB baik dalam setting komunitas (apotek, puskesmas) maupun rumah sakit.

Pada setting komunitas, model pelayanan kefarmasian mencakup berbagai jenis pelayanan. Seperti, pelayanan untuk meningkatkan penemuan kasus TB di masyarakat melalui aktivitas skrining dan rujukan kasus TB. Lalu pelayanan pemeriksaan dan pembacaan tes tuberkulin[8] untuk penegakan diagnosis TB laten (TB yang tidak bergejala).

Selain itu, ada praktik kolaborasi untuk meningkatkan penyelesaian pengobatan pasien TB melalui pemantauan dan penyelesaian permasalahan mengenai pengobatan.

Studi di Pakistan[9] menunjukkan keberhasilan tenaga kefarmasian dalam penemuan kasus TB di masyarakat. Dari 500 apotek yang terlibat, sebanyak 1.901 pengunjung apotek telah dirujuk ke fasilitas kesehatan untuk melakukan pemeriksaan TB lanjutan.

Dari total rujukan tersebut, sebanyak 547 pengunjung dinyatakan positif TB melalui pemeriksaan lanjutan tersebut.

Selain itu, studi di Amerika Serikat (AS) menunjukkan[10] keberhasilan tenaga kefarmasian dalam pelayanan uji tuberkulin untuk memberikan akses yang mudah bagi masyarakat dalam pemeriksaan TB laten.

Sebanyak 94 apoteker yang dilatih secara intensif berhasil melakukan tes tuberkulin terhadap 578 orang dan 92,73% pasien tersebut berhasil kembali lagi untuk pembacaan hasil tes.

Dalam praktik kolaborasi dalam penyelesaian pengobatan, studi di AS[11] menunjukkan keberhasilan tenaga kefarmasian untuk terlibat dalam meningkatkan penyelesaian pengobatan pasien TB laten.

Dari 40 pasien TB laten yang dimonitor oleh apoteker, tercatat 398 kali kunjungan konsultasi tatap muka antara pasien dan apoteker.

Studi tersebut menunjukkan 75% pasien berhasil menyelesaikan pengobatannya. Sisanya mengalami penghentian pengobatan akibat efek samping obat yang di deteksi oleh apoteker dan dirujuk ke fasilitas kesehatan untuk tindakan lebih lanjut.

Hal yang menarik juga adalah keterlibatan apoteker berhasil menghemat waktu dari tenaga kesehatan publik (puskesmas) dalam penanganan pasien TB laten sebanyak 143 jam[12]. Ini terjadi karena adanya kolaborasi praktik dengan tenaga kefarmasian di sektor swasta.

Pada setting rumah sakit, model pelayanan kefarmasian mencakup aktivitas mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan terkait dengan obat, seperti ketidaktepatan jenis obat dan dosis, kejadian efek samping obat, adanya interaksi obat, dan ketidakpatuhan pengobatan.

Pelayanan-pelayanan tersebut melibatkan aktivitas kolaborasi bersama tim medis di rumah sakit. Aktivitasnya meliputi monitoring pengobatan, konsultasi obat, informasi, dan edukasi pasien TB baik yang bersifat tatap muka atau pun melalui media komunikasi (telepon, internet).

Studi di Brazil[13] menunjukkan kemampuan apoteker rumah sakit dalam mengidentfikasi 128 kejadian terkait dengan permasalahan dengan pengobatan pada 62 pasien TB yang dimonitor.

Permasalahan yang ditemukan meliputi adanya pengobatan yang tidak perlu digunakan, perlunya penambahan jenis obat, dosis terlalu rendah, kejadian reaksi obat tidak dikehendaki dan ketidakpatuhan pengobatan.

Sebanyak 115 intervensi atas permasalahan tersebut dilakukan oleh apoteker yang menunjukkan mayoritas intervensi berdampak pada hasil yang positif[14] terhadap luaran pengobatan pasien TB.

Read more: Tuberkulosis-diabetes melitus makin mengkhawatirkan, bagaimana mengatasinya?[15]

Tantangan penerapan pelayanan kefarmasian TB di Indonesia

Tenaga kefarmasian di Indonesia memiliki potensi yang besar dalam berkontribusi terhadap pengendalian permasalahan TB di Indonesia.

Dua studi di Indonesia[16] menunjukkan sarana apotek merupakan salah satu tempat utama[17] untuk mendapatkan pengobatan pertama terhadap gejala TB pada pasien-pasien TB yang belum terdiagnosis.

Studi ini menunjukkan tingginya potensi terhadap penemuan kasus TB di apotek. Selain itu, sarana apotek yang tersebar luas bahkan hingga tingkat kecamatan menjadikan apotek sebagai sarana kesehatan yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Mereka juga dapat mendukung program puskesmas dalam melakukan upaya pendeteksian kasus dan pendampingan pengobatan pasien TB.

Meski demikian, terdapat berbagai tantangan dalam implementasi pelibatan tenaga kefarmasian dalam penanganan TB di Indonesia. Survei yang kami lakukan pada 1.129 tenaga kefarmasian di 979 apotek[18] di wilayah timur, tengah dan barat Indonesia, menunjukkan masih minimnya praktik penemuan kasus[19] dan pendampingan pengobatan TB di apotek.

Faktor penting yang mempengaruhi minimnya praktik pelayanan kefarmasian tersebut, antara lain, minimnya paparan pelatihan terhadap tenaga kefarmasian. Hal itu menyebabkan pengetahuan terbaru dalam penanganan pasien TB dan kesadaran akan permasalahan TB belum optimal.

Studi tersebut juga menyiratkan terdapat faktor ekternal lainnya yang mempengaruhi praktik kefarmasian, meski mayoritas partisipan menunjukkan sikap internal yang positif terhadap praktik pelayanan kefarmasian TB tersebut.

Strategi yang komprehensif sangat diperlukan untuk pelibatan apoteker dalam mendukung penanganan TB di Indonesia.

Flottorp dan koleganya (2013) dari Norwegian Knowledge Centre for the Health Services Oslo telah memformulasikan[20] beberapa aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi pelayanan kesehatan. Aspek itu antara lain ketersediaan petunjuk pelaksanaan, penguatan sumber daya, adanya sistem insentif, interaksi profesional yang baik, kemudahan dan kenyamanan pasien, kemampuan perubahan organisasi, dan adanya dukungan sosial, politik dan regulasi.

Kementerian Kesehatan sebagai pemimpin sektoral dalam penanganan TB perlu mendorong sistem praktik kefarmasian yang terintegrasi dengan program TB nasional dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut. Sehingga, akan tercipta sistem pelayanan kefarmasian yang terkoneksi langsung dengan program-program pencapaian target eliminasi TB di Indonesia.

Kolaborasi sangat dibutuhkan di antara pemangku kepentingan dalam implementasi praktik peyanan kefarmasian TB. Pemerintah pusat dan daerah, pengelola program TB, organisasi profesi, jejaring peneliti TB, dan masyarakat perlu bersama-sama dalam membangun sistem praktik kefarmasian yang efektif dan berkesinambungan.

Kita berharap, hadirnya inovasi-inovasi baru dalam pendekatan penyelesaian permasalahan TB dapat mengakselerasi pencapaian target eliminasi TB di Indonesia pada 2030[21].

References

  1. ^ Badan Kesehatan Dunia (WHO) (www.who.int)
  2. ^ terbesar kedua di dunia setelah India (www.who.int)
  3. ^ kurang dari separuh, hanya 45% dari total kasus yang diestimasi (www.who.int)
  4. ^ Studi sebelumnya yang kami lakukan pada 2021 menunjukkan (bmcpublichealth.biomedcentral.com)
  5. ^ sebesar 47% (www.who.int)
  6. ^ temuan studi kami (bmcpublichealth.biomedcentral.com)
  7. ^ Mengapa kegagalan pengobatan tuberkulosis banyak terjadi di Indonesia? (theconversation.com)
  8. ^ tes tuberkulin (www.health.qld.gov.au)
  9. ^ Pakistan (www.ncbi.nlm.nih.gov)
  10. ^ Amerika Serikat (AS) menunjukkan (www.ncbi.nlm.nih.gov)
  11. ^ studi di AS (www.cdc.gov)
  12. ^ sebanyak 143 jam (www.cdc.gov)
  13. ^ Brazil (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  14. ^ mayoritas intervensi berdampak pada hasil yang positif (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  15. ^ Tuberkulosis-diabetes melitus makin mengkhawatirkan, bagaimana mengatasinya? (theconversation.com)
  16. ^ di Indonesia (www.sciencedirect.com)
  17. ^ sarana apotek merupakan salah satu tempat utama (academic.oup.com)
  18. ^ Survei yang kami lakukan pada 1.129 tenaga kefarmasian di 979 apotek (www.ncbi.nlm.nih.gov)
  19. ^ penemuan kasus (www.ncbi.nlm.nih.gov)
  20. ^ Flottorp dan koleganya (2013) dari Norwegian Knowledge Centre for the Health Services Oslo telah memformulasikan (implementationscience.biomedcentral.com)
  21. ^ pada 2030 (www.stoptbindonesia.org)

Authors: Ivan Surya Pradipta, Peneliti di Departemen Farmakologi & Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran

Read more https://theconversation.com/tuberkulosis-sulit-dikendalikan-tenaga-kefarmasian-bisa-berperan-optimal-untuk-atasi-masalah-tb-di-indonesia-202511

Magazine

Ada apa dengan Manchester United? Memahami naik turunnya prestasi klub sepak bola dalam mitos ‘Sisifus’

Stadion Old Trafford di Manchester, Inggris.Nook Thitipat/ShutterstockSisifus adalah salah satu tokoh terkenal dalam mitologi Yunani kuno. Ia memiliki peran penting dalam sejarah, termasuk sebagai pen...

Sulitnya televisi lokal bermigrasi digital, bagaimana solusinya?

Dunia penyiaran kita masih menyimpan persoalan kompleks yang belum ada jalan keluarnya. Amanah Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang memiliki semangat desentralisasi kepemilikan ...

Bukan lagi ‘shadow war’: rivalitas Israel-Iran kini menjadi perang nyata–adakah jalan untuk kembali?

Sistem pertahanan udara Israel mencegat hampir semua rudal yang ditembakkan dari Iran pada 13 April 2024.AP Photo/Tomer NeubergSelama beberapa dekade, Iran dan Israel telah terlibat dalam ‘shado...



NewsServices.com

Content & Technology Connecting Global Audiences

More Information - Less Opinion