Asian Spectator

Men's Weekly

.

Waspada mikroagresi di tempat kerja: Hinaan diskriminatif berbalut pujian

  • Written by Alies Poetri Lintangsari, Assistant lecturer, Universitas Brawijaya
Waspada mikroagresi di tempat kerja: Hinaan diskriminatif berbalut pujian

● Mikroagresi adalah ujaran yang tampak biasa saja atau seperti pujian, namun sebenarnya diskriminatif.

● Di tempat kerja, mikroagresi berpotensi menyebabkan stres kronis.

● Kesadaran terhadap bentuk dan dampak mikroagresi dapat mendorong respons yang cermat.

Pernahkah kalian mendengar ujaran seperti ini di tempat kerja:

“Kamu kalau kurusan pasti lebih cantik, deh”

“Kamu hebat bisa menyelesaikan tugas itu, padahal kamu perempuan”

“Kamu pasti bisa lebih ‘perform’ lagi soalnya kan kamu laki-laki”

Sepintas terdengar seperti pujian dan motivasi atau kalimat biasa saja. Jangan salah, kalimat-kalimat tersebut kerap bermakna sebaliknya. Hal tersebut termasuk ke dalam mikroagresi. Sebuah candaan/pujian/basa-basi yang bermakna atau bertujuan untuk mendiskriminasi lawan bicara.

Diskriminasi ini[1] seringkali dipicu oleh perbedaan identitas gender, orientasi seksual, status disabilitas, usia, kelas sosial, agama, dan identitas lainnya.

Istilah mikroagresi pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Chester M. Pierce pada 1970 [2] untuk mendeskripsikan rasisme terselubung yang dialami oleh orang-orang kulit hitam.

Seringkali mikroagresi tidak disadari baik oleh pelaku maupun individu yang terdampak. Apalagi jika ini terjadi di tempat kerja.

Meskipun sering disepelekan, mikroagresi bisa memicu beban emosional yang signifikan bagi[3] individu yang terdampak.

Read more: Mikroagresi verbal bisa hancurkan hidup pasien kanker: Kenali cara komunikasi yang inklusif[4]

Akumulasi akibat memaklumi tindakan mikroagresi rekan kerja, tanpa disadari bisa merusak kesehatan korban baik mental, kognitif maupun fisik[5].

Bahkan, korban mikroagresi bisa stres akut, mengikis sense of belonging sehingga menghambat kreativitas dan produktivitas kerja[6].

Sebab dan pola mikroagresi di masyarakat

Mikroagresi dapat muncul di mana pun dan kapan pun dalam kehidupan bermasyarakat. Ragam bentuk mikroagresi antara lain komentar merendahkan, pengabaian pendapat, atau asumsi stereotip yang merugikan.

Ilustrasi mikroagresi di tempat kerja. PeopleImages.com - Yuri A/Shutterstock[7]

Di lingkungan kerja, mikroagresi muncul bukan sekadar komentar sepele atau candaan yang tidak disengaja, melainkan manifestasi dari sistem sosial dan kultural yang menempatkan kelompok mayoritas sebagai standar[8].

Salah satu studi[9] menyoroti guru perempuan menjadi korban mikroagresi berbasis gender di lingkungan sekolah. Mereka lebih sering mendapat perlakuan buruk seperti pengabaian pendapat, stigma terhadap kemampuan profesional, serta pembatasan partisipasi dalam pengambilan keputusan.

Penulis pernah mengalaminya saat mengikuti seleksi beasiswa. Alih-alih bertanya soal kapasitas akademik, penyeleksi justru menanyakan siapa yang akan mengurus anak.

Pertanyaan ini mencerminkan bias struktural[10] yang mempertanyakan kapasitas perempuan untuk berkarier sekaligus menjadi ibu.

Penyandang disabilitas juga sering mengalami mikroagresi yang dikenal sebagai ableist microaggressions[11]. Contohnya adalah penerapan beberapa persyaratan khusus yang secara implisit meragukan kemampuan mereka[12] dalam proses rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS).

Dampak mikroagresi

Mikrogresi bisa menerpa siapa saja tanpa terkecuali. Yang paling umum memang terjadi di lingkungan kerja.

Salah satu dampak mikroagresi di tempat kerja adalah weathering,[13], yakni stres kronis akibat berbagai diskriminasi identitas seperti ras, gender, disabilitas, serta relasi kuasa disertai dengan tuntutan profesionalisme secara bersamaan.

Stres ini timbul karena individu dituntut menyesuaikan diri dengan standar mayoritas dan bekerja secara maksimal tanpa cela.

Di level personal, mikroagresi menyebabkan seseorang menjadi hyper-aware[14], kondisi yang menyebabkan seseorang menjadi sangat waspada. Risiko kecemasan sosial dan rasa tidak aman secara psikologis akan memengaruhi kehidupan sosial korban ke depannya.

Read more: Budaya kerja 'toxic' dimulai dari perilaku tak menyenangkan dan kepemimpinan medioker. Apa yang dapat kamu lakukan?[15]

Meskipun pencegahan melalui kebijakan organisasi dan perubahan budaya kerja adalah langkah ideal, respons individu yang efektif juga penting untuk meminimalisasi dampak mikroagresi.

Stigma kelompok yang melekat pada setiap individu

Di Australia, mikroagresi berbasis ras di dunia kerja menjadi salah satu bentuk yang paling sering dialami oleh pekerja nonkulit putih. Penulis pernah menerima komentar: “You are so good at technical stuff, are those what most Indonesian people are known for?

Mengaitkan kemampuan seseorang dengan asal-usul etnisnya, alih-alih mengakui usaha dan kapasitas pribadinya, merupakan bentuk microinsult. Pernyataan semacam ini tidak hanya merendahkan kualitas individu, tetapi juga memperkuat stereotip yang menyederhanakan identitas seseorang[16].

Pernyataan lain yang umum dialami oleh pekerja berkulit berwarna di Australia adalah, “Your English is so good. How do you do that?”

Kalimat tersebut terdengar seperti pujian. namun ketika diucapkan oleh penutur asli Bahasa Inggris (dengan nada mengejek dan mimik muka meremehkan) kepada seseorang dari latar belakang non-Inggris, pernyataan ini dapat menjadi bentuk micro invalidation[17].

Read more: Perlukah kita berteman dengan kolega di kantor? Ini kata riset[18]

Pengalaman-pengalaman tersebut bertolak belakang dengan nilai meritokrasi dan fair go yang digaungkan oleh Australia[19]. Prinsip bahwa setiap individu dihargai berdasarkan usaha dan kemampuan, bukan etnisitasnya jauh panggang dari pada api.

Ilustrasi seorang perempuan yang mengalami diskriminasi di tempat kerja. New Africa/Shutterstock[20]

Identitas seseorang secara halus diukur berdasarkan standar mayoritas, mempertahankan apa yang disebut sebagai white comfort[21], kenyamanan sosial dan emosional yang dialami oleh orang kulit putih dalam lingkungan yang menormalisasi whiteness —baik secara budaya, struktural, maupun institusional.

Mengatasi mikroagresi

Berikut beberapa langkah[22] yang dapat kita lakukan untuk mengatasi mikroagresi:

1. Edukasi secara sopan Tanggapi dengan sopan tapi tegas, gunakan pernyataan “saya” seperti, “Saya merasa tidak nyaman saat Anda mengatakan…” untuk menyampaikan dampaknya tanpa menyalahkan. Setidaknya kesempatan untuk mengutarakan uneg-uneg anda bisa sedikit meringankan beban tekanan mental yang dialami korban.

2. Diskusi pribadi setelah insiden Jika memungkinkan, ajak pelaku berbicara secara pribadi untuk menyampaikan perspektif Anda dan membangun pemahaman, tanpa nada menyudutkan.

3. Menggalang dukungan Sampaikan pengalaman kepada kolega terpercaya untuk memperoleh dukungan emosional. Menggalang dukungan dan membentuk jaringan bermanfaat untuk merespons insiden mikroagresi yang mungkin berulang.

4. Pelihara kesehatan mental Self-care adalah kunci mengatasi dampak mikroagresi yang bisa diraih melalui konseling, meditasi, olahraga, atau menulis.

Mikroagresi sering dialami oleh kelompok minoritas dan menimbulkan berbagai dampak negatif sehingga upaya untuk mencegah normalisasi mikroagresi sangat diperlukan.

Di Indonesia, penelitian tentang mikroagresi masih terbatas meskipun telah mulai disadari, terutama di dunia akademis.

Kesadaran terhadap bentuk dan dampak mikrogresi dapat mendorong respons yang cermat, baik secara individu maupun organisasi demi menciptakan tempat kerja yang lebih inklusif.

References

  1. ^ Diskriminasi ini (www.wiley.com)
  2. ^ Dr. Chester M. Pierce pada 1970 (www.scribd.com)
  3. ^ beban emosional yang signifikan bagi (ebookcentral.proquest.com)
  4. ^ Mikroagresi verbal bisa hancurkan hidup pasien kanker: Kenali cara komunikasi yang inklusif (theconversation.com)
  5. ^ mental, kognitif maupun fisik (ebookcentral.proquest.com)
  6. ^ menghambat kreativitas dan produktivitas kerja (link.springer.com)
  7. ^ PeopleImages.com - Yuri A/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  8. ^ menempatkan kelompok mayoritas sebagai standar (journals.sagepub.com)
  9. ^ Salah satu studi (www.researchgate.net)
  10. ^ bias struktural (www.taylorfrancis.com)
  11. ^ ableist microaggressions (www.researchgate.net)
  12. ^ secara implisit meragukan kemampuan mereka (theconversation.com)
  13. ^ weathering, (lens.monash.edu)
  14. ^ hyper-aware (link.springer.com)
  15. ^ Budaya kerja 'toxic' dimulai dari perilaku tak menyenangkan dan kepemimpinan medioker. Apa yang dapat kamu lakukan? (theconversation.com)
  16. ^ stereotip yang menyederhanakan identitas seseorang (journals.sagepub.com)
  17. ^ micro invalidation (journals.sagepub.com)
  18. ^ Perlukah kita berteman dengan kolega di kantor? Ini kata riset (theconversation.com)
  19. ^ digaungkan oleh Australia (lens.monash.edu)
  20. ^ New Africa/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  21. ^ white comfort (www.penguin.com.au)
  22. ^ beberapa langkah (www.innovativehumancapital.com)

Authors: Alies Poetri Lintangsari, Assistant lecturer, Universitas Brawijaya

Read more https://theconversation.com/waspada-mikroagresi-di-tempat-kerja-hinaan-diskriminatif-berbalut-pujian-259435

Magazine

Waspada mikroagresi di tempat kerja: Hinaan diskriminatif berbalut pujian

Ilustrasi seorang karyawan yang sedang sedih dan mengasingkan diri.pakww/Shutterstock● Mikroagresi adalah ujaran yang tampak biasa saja atau seperti pujian, namun sebenarnya diskriminatif.●...

Yang viral yang berkuasa: Politik kini ditentukan oleh algoritme, bukan kebijakan substantif

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sedang menyapa masyarakat setelah pertandingan bola Persib.Sony Herdiana/Shutterstock● Fenomena ‘Power Morph’ menandakan transformasi bentuk kekuasaa...

Terjebak budaya sungkan: Enggan komplain bisa menghambat perbaikan pelayanan publik

Sejumlah orang sedang menunggu antrean di ruangan di suatu fasilitas pelayanan publik di Jakarta. Zulkarnain.B/Shutterstock● Masih banyak masyarakat enggan komplain karena budaya sungkan dan tid...