Terjebak budaya sungkan: Enggan komplain bisa menghambat perbaikan pelayanan publik
- Written by Fitri Hariana Oktaviani, Dosen dan Peneliti Gender & Komunikasi Organisasi, Universitas Brawijaya

● Masih banyak masyarakat enggan komplain karena budaya sungkan dan tidak enak hati.
● Budaya sungkan terjadi karena publik merasa inferior dalam menghadapi otoritas.
● Perlu ada literasi publik bahwa mengeluh adalah hak dan bukan pelanggaran etika.
Bayangkan ketika kamu sedang sakit, lalu mengakses pelayanan kesehatan di sebuah rumah sakit. Namun, antrian lama sekali[1] sehingga kamu dan calon pasien lain makin kesakitan, bahkan pingsan.
Ketika kamu ingin memberikan masukan, petugas kesehatan menyampaikan bahwa “kalau tidak mau antre, ya jangan sakit”. Bagaimana perasaanmu saat mendengarnya?
Kondisi tersebut merupakan kondisi hipotetikal yang masih banyak terjadi di berbagai pelayanan publik Indonesia, baik di sektor kesehatan, pendidikan, administrasi publik, bahkan perbankan[2].
Tanggapan yang tidak bersahabat dari pemberi layanan biasanya cukup membuat masyarakat—sebagai konsumen, klien atau pasien—terpaksa berhenti komplain dengan alasan sungkan, tidak enak hati, takut dianggap antagonis, atau tidak bersyukur.
Akhirnya, masyarakat hanya bisa diam mengelus dada, mengeluh di belakang dan enggan menyampaikan komplain. Padahal, budaya enggan komplain ini justru memperbesar peluang pelayanan publik tetap melanggengkan kesewenang-wenangan.
Budaya sungkan dan relasi sosial
Dalam budaya Indonesia, nilai kesopanan dan harmoni sosial sangat dijunjung tinggi.
Istilah seperti “tidak enak hati”, “takut menyinggung”, atau “jangan bikin masalah” sering menjadi alasan orang enggan mengkritik. Ini dianggap sebagai bagian dari etos “ewuh pakewuh”[3] yang merupakan bentuk kecanggungan dalam relasi sosial yang hierarkis.
Akibatnya, menyampaikan ketidakpuasan secara langsung sering dianggap vulgar dan tidak sopan. Sehingga, banyak anggota masyarakat memilih diam daripada dianggap merusak harmoni sosial.
Dalam hal pelayanan publik di Indonesia, keberanian menyuarakan ketidakadilan seringkali dibingkai sebagai bentuk ketidaksopanan, bahkan pencemaran nama baik[5].
Terjadi pengaburan antara sopan santun atau etiket, dan etika. Padahal, sopan santun bukan alasan untuk mengabaikan etika pelayanan yang adil, transparan, dan akuntabel.
Jejak kekuasaan membentuk budaya sungkan
Langgengnya budaya sungkan atau enggan komplain dikuatkan dengan anggapan adanya ketimpangan kuasa yang tinggi[6] antara anggota masyarakat dan petugas.
Warga merasa posisi mereka “lebih rendah” dibandingkan dengan, misalnya, petugas kesehatan, birokrat administrasi publik, petugas perbankan, atau petugas layanan sekolah.
Rasa inferior masyarakat dalam menghadapi otoritas sudah terbentuk sejak masa kolonial, saat penjajah Belanda memanfaatkan struktur sosial feodal[7], seperti priyayi dan hierarki adat, sebagai instrumen pengendalian sosial untuk menanamkan ketundukan dan memperlebar jarak kuasa antara warga biasa dan pejabat.
Dalam konteks ini, sungkan bekerja sebagai mekanisme pengendalian diri: Rakyat belajar menjaga harmoni, menghindari konflik terbuka, dan menyesuaikan diri dengan kekuasaan tanpa harus ditekan.
Warisan ini semakin menguat pada era Orde Baru. Dengan mengusung narasi stabilitas nasional, penguasa Orde Baru membangun budaya self-censorship (sensor mandiri), yakni ketika kritik dianggap sebagai ancaman ketertiban[8].
Masyarakat dilatih secara kultural untuk menahan diri, karena ketakutan akan konsekuensi sosial dan politik.
Akibatnya, keterbiasaan untuk diam, menoleransi, dan sungkan menjadi bagian dari reproduksi ketundukan dalam birokrasi dan pelayanan publik hingga hari ini.
Ketika budaya ini terbawa ke dalam hubungan warga dengan pelayanan publik, komplain sering dianggap tabu atau tidak pantas.
Kajian kritis komunikasi organisasi[9] membongkar bahwa kondisi ini sering dimanfaatkan oleh organisasi dengan menciptakan bentuk dominasi simbolik yang halus.
Dalam pelayanan publik, masyarakat secara tidak sadar menerima layanan buruk sebagai “keniscayaan”, padahal situasi ini merupakan hasil proses kontrol sistemis yang mengurangi partisipasi kritis.
Komplain sebagai instrumen akuntabilitas
Dalam konteks pelayanan publik, komplain merupakan bagian dari hak dasar warga negara: membayar pajak, menerima pelayanan yang layak, serta memberikan masukan ketika terjadi kekurangan.
Tanpa adanya suara warga, birokrasi kehilangan feedback loop (lingkaran umpan balik) penting untuk melakukan perbaikan. Ini karena masyarakat yang menyampaikan komplain sebenarnya sedang berusaha memperbaiki kinerja organisasi[11].
Jadi, ketika mereka enggan bersuara, sistem kehilangan masukan kritis untuk berubah menjadi lebih baik. Budaya organisasi yang hierarkis, minim keterbukaan, dan penuh tekanan norma sopan santun semakin menciptakan penghalang bagi perubahan dan inovasi[12].
Mengkritik pelayanan publik bukan berarti kurang ajar, melainkan bagian dari akuntabilitas[13] demokratis.
Akuntabilitas diperlukan setiap organisasi publik karena berperan sebagai mekanisme kontrol kekuasaan, cara meningkatkan kepercayaan publik, dan proses pembelajaran dan perbaikan institusional.
Karena itu, pemerintah perlu mendorong literasi publik bahwa mengeluh adalah hak dan bukan pelanggaran etika.
Di sisi lain, pengelola pelayanan publik juga perlu menciptakan saluran pengaduan yang aman, mudah, dan responsif. Keluhan publik yang ditanggapi secara baik akan memperbaiki kepercayaan warga, bukan merusaknya.
Komplain yang sehat: Diam bukan solusi
Dalam paradigma New Public Service (NPS)[14], pemerintah seharusnya melayani warga, bukan mengemudikan mereka.
Oleh karena itu, pelayanan publik bertugas membantu warga mewujudkan kepentingan bersama, bukan memaksakan arah kebijakan dari atas. Di sini, komunikasi dua arah, deliberasi, dan partisipasi menjadi kunci.
Dalam pelayanan publik modern, pemerintah seharusnya membuka ruang partisipasi aktif bagi warga dalam rangka bersama-sama memperbaiki layanan.
Dari sisi masyarakat, kita juga perlu menyadari pentingnya mekanisme komplain. Jika kita terus diam, pelayanan publik tidak akan pernah membaik.
Budaya sungkan memang berakar dalam norma sosial, namun harus direfleksikan ulang dalam konteks pelayanan publik modern.
Komplain yang konstruktif adalah bentuk cinta pada negara karena berani menyuarakan kekurangan agar pelayanan publik makin adil, transparan, dan berkualitas.
References
- ^ antrian lama sekali (ombudsman.go.id)
- ^ bahkan perbankan (koranmedan.com)
- ^ etos “ewuh pakewuh” (asean.org)
- ^ sri widyowati/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ ketidaksopanan, bahkan pencemaran nama baik (digitalmama.id)
- ^ ketimpangan kuasa yang tinggi (medium.com)
- ^ struktur sosial feodal (scholarbank.nus.edu.sg)
- ^ kritik dianggap sebagai ancaman ketertiban (mojok.co)
- ^ Kajian kritis komunikasi organisasi (www.researchgate.net)
- ^ Aan Herman Yulianto/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ memperbaiki kinerja organisasi (www.fulcrum.org)
- ^ penghalang bagi perubahan dan inovasi (doi.org)
- ^ akuntabilitas (doi.org)
- ^ New Public Service (NPS) (www.proquest.com)
- ^ Bambang Pramudono/Shutterstock (www.shutterstock.com)
Authors: Fitri Hariana Oktaviani, Dosen dan Peneliti Gender & Komunikasi Organisasi, Universitas Brawijaya