Kamu nyaman curhat dengan AI? Hati-hati kena gangguan mental
- Written by Dyana Chusnulitta Jatnika, Dosen Kesejahteraan Sosial, Universitas Padjadjaran

● Kaum muda kini sering menjadikan ‘chatbot’ AI sebagai teman curhat.
● Ketergantungan terhadap AI dalam kehidupan sosial membawa dampak negatif.
● Perlu ada pendekatan etis dalam mendesain AI.
Pernahkah kamu mencoba berkomunikasi dengan chatbot seperti ChatGPT, Replika, atau asisten virtual lainnya?
Seiring berkembangnya era digital, sejumlah riset[1] menunjukkan munculnya fenomena baru: chatbot AI mulai digunakan sebagai teman curhat[2], terutama di kalangan kaum muda.
Bagi mereka, AI bisa menjadi[3] konsultan profesional hingga teman diskusi untuk menemukan solusi persoalan sehari-hari.
Dua penelitian tentang teknologi[4] dan perilaku manusia[5] menemukan bahwa sebagian orang mulai menjalin hubungan sosial, bahkan emosional, dengan AI. Ikatan yang terbentuk bukan hanya interaksi teknis biasa, melainkan berkembang menjadi ikatan psikologis.
Dalam beberapa kasus, AI bahkan sudah dianggap sebagai sahabat[6] hingga pasangan virtual[7]. Rasa aman dan perasaan dimengerti[8] menjadi alasan utama orang memilih berkomunikasi dengan AI.
Namun, hubungan semu semacam ini menyimpan risiko. Ketergantungan berlebih pada AI bisa menjauhkan seseorang dari realitas sosial, menurunkan motivasi untuk berinteraksi dengan sesama, bahkan memicu gangguan mental.
Oleh karena itu, pendekatan etis dalam pengembangan AI perlu segera dilakukan.
Mengapa AI bisa mengerti kita?
Tanpa kita sadari, komunikasi yang intens dengan chatbot akan memberi ruang bagi AI untuk mengenal penggunanya. Teknologi ini belajar dari data dan membentuk pola interaksi.
Riset terbaru[10] mengungkap bagaimana desain AI yang menyerupai manusia—disebut antropomorfisme—dapat memunculkan empati pengguna. Sifat-sifat seperti suara ramah, respons emosional, atau kepribadian dalam chatbot membuat AI terasa lebih “hidup”.
Saat seseorang mencurahkan perasaan, respons AI bisa membuat pengguna nyaman, merasa didengar dan dipahami, meskipun chatbot sebenarnya tidak memiliki emosi. Riset[11] menunjukkan chatbot mampu memberikan saran dan masukan yang membantu pengguna memahami masalah mereka sendiri.
Secara teknis, AI memang dirancang untuk memahami kebutuhan manusia melalui analisis data dan algoritma dalam setiap pola interaksi, preferensi, hingga emosi pengguna. Dengan teknologi Natural Language Processing (NLP), AI bisa memahami konteks percakapan dan merespons seolah ia benar-benar memahami lawan bicaranya.
Rasa aman dan dimengerti ini membuat banyak orang merasa nyaman membuka diri kepada AI. Mereka AI tidak akan menghakimi dan selalu “hadir” saat dibutuhkan.
Namun, penting diingat bahwa hubungan antarmanusia tetap tidak tergantikan dalam memenuhi kebutuhan emosional dan sosial secara utuh.
Risiko ketergantungan emosional dengan AI
Meskipun bisa memberi rasa nyaman, keterikatan emosional dengan AI menyimpan sejumlah risiko serius.
1. Terputus dari relasi sosial nyata
Ketergantungan emosional pada AI berpotensi menarik seseorang dari relasi sosial nyata antarmanusia. Hal ini berisiko melemahkan kemampuan dan motivasi untuk bersosialisasi, yang sebenarnya penting untuk kesehatan mental dan keseimbangan hidup.
Hubungan yang terlalu dalam dengan AI bisa menciptakan ekspektasi tidak realistis dalam menjalin relasi dengan manusia lain, bahkan bisa memperdalam rasa kesepian.
2. AI bisa manipulatif juga
Belakangan muncul perdebatan bahwa AI bisa didesain untuk memengaruhi perilaku pengguna. Hubungan emosional yang terbangun bisa dimanfaatkan untuk mendorong konsumsi, loyalitas, atau perilaku lain yang menguntungkan pihak tertentu.
Penelitian 2024[13] menunjukkan bagaimana penggunaan AI dalam pemasaran di media sosial mampu memperkuat keterikatan emosional antara pengguna dan merek.
Ketika pengguna secara intens berkomunikasi dengan akun brand tertentu, AI merekam pola dan preferensi mereka. AI kemudian menyajikan rekomendasi produk yang disesuaikan, seolah-olah memahami kebutuhan pengguna secara personal.
Ketika pengguna mulai merasa “nyaman” dan “dimengerti,” keterikatan ini berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan loyalitas dan mendorong keputusan untuk membeli produk, tanpa disadari sepenuhnya oleh pengguna.
3. Kesehatan mental
Meskipun tidak secara langsung menimbulkan gangguan kesehatan mental, penelitian[14] menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap AI berpotensi menimbulkan gejala kecemasan, memperkuat isolasi sosial, hingga mengurangi resiliensi emosional.
Bahkan, dalam jangka panjang mampu melemahkan kemampuan manusia untuk mengelola emosi tanpa bantuan teknologi. Relasi dengan AI yang tidak dikelola dengan baik dapat mengganggu keseimbangan psikologis.
Pada akhirnya, AI yang mungkin awalnya diciptakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, justru bisa menciptakan kerentanan baru.
Perlu penyeimbang
Menghindari dampak negatif dari ketergantungan emosional pada AI bukan berarti harus melarang penggunaannya. Hal yang dibutuhkan adalah pendekatan yang bisa menyeimbangkan antara pemanfaatan teknologi dan perlindungan bagi penggunanya.
Salah satu pendekatannya adalah prinsip ethics of care[16], yang menekankan pentingnya hubungan antar individu, empati, tanggung jawab, dan perhatian pada kesejahteraan pengguna dalam jangka panjang.
Namun, implementasi dari ethics of care tidak akan optimal tanpa dukungan sistemik yang berkelanjutan.
Diperlukan kebijakan publik dan regulasi teknis yang mengikat untuk menetapkan standar desain AI yang bertanggung jawab, terutama untuk melindungi kelompok masyarakat rentan (anak-anak, remaja, lansia, orang dengan disabilitas) dari desain AI yang manipulatif.
AI berpotensi meningkatkan keterasingan sosial dan memperluas jarak emosional antar manusia. Namun, jika dirancang dengan etika relasional, AI akan mampu menjadi sarana untuk memperkuat empati, koneksi, dan solidaritas.
Sebagai pengguna, kita perlu memahami bagaimana AI bekerja dan bagaimana ia memengaruhi emosi kita. Literasi emosional digital menjadi penting agar kita tidak hanya tahu cara menggunakan teknologi, tetapi juga menyadari dampaknya terhadap kehidupan kita.
References
- ^ riset (journal.uc.ac.id)
- ^ teman curhat (ejurnal.stikpmedan.ac.id)
- ^ AI bisa menjadi (ejurnal.stikpmedan.ac.id)
- ^ teknologi (www.tandfonline.com)
- ^ perilaku manusia (dl.acm.org)
- ^ dianggap sebagai sahabat (jurnal.uinsu.ac.id)
- ^ pasangan virtual (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ Rasa aman dan perasaan dimengerti (jurnal.uinsu.ac.id)
- ^ VesnaArt/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Riset terbaru (www.tandfonline.com)
- ^ Riset (jurnal.uinsu.ac.id)
- ^ panuwat phimpha/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Penelitian 2024 (www.sciencedirect.com)
- ^ penelitian (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ Phonlamai Photo/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ ethics of care (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
Authors: Dyana Chusnulitta Jatnika, Dosen Kesejahteraan Sosial, Universitas Padjadjaran
Read more https://theconversation.com/kamu-nyaman-curhat-dengan-ai-hati-hati-kena-gangguan-mental-258460