Bagaimana penobatan Raja Charles III mencerminkan keinginannya untuk membela semua agama
- Written by Philip Williamson, Emeritus Professor of Modern British History, Durham University
Hampir 30 tahun yang lalu, Raja Charles – kala itu masih Pangeran Charles – menyiratkan bahwa ketika menjadi raja, ia tidak hanya ingin mewarisi gelar tradisional raja atau ratu sebagai “pembela agamanya” (defender of faith), tetapi menjadi “pembela agama”.
Pemegang takhta kerajaan Inggris bersumpah setia pada agama Protestan dan sebagai pemimpin tertinggi Gereja Inggris. Tapi, Charles telah berulang kali mengatakan[1] bahwa ia juga ingin menjadi melindungi semua agama utama, baik Kristen maupun non-Kristen.
Selama beberapa dekade, pengamat kerajaan sudah mulai berspekulasi bagaimana bentuk penyelenggaraan penobatan[2] akan berlangsung di zaman desentralisasi dan pluralisme agama yang meluas, serta meningkatnya sekularisasi.
Meski ada beberapa usulan reformasi atau perubahan menjadi upacara sipil, acara penobatan takhta[3] tetap dilakukan melalui liturgi ritual kebaktian Gereja Inggris. Hanya saja, kali ini ada upaya mencari keseimbangan antara cara lama dan baru, memperluas lingkup simbolis, serta mengundang perwakilan agama-agama yang lebih besar dan beragam.
Ritual kebaktian tersebut telah dirancang sebaik mungkin seperti yang diharapkan dari sebuah teks hasil persiapan selama beberapa dekade, sebagi wujud negosiasi antara para pemimpin gereja, ahli kebaktian, pejabat istana, aparatur negara dan perwakilan dari berbagai gereja dan kepercayaan lain.
Penobatan kali ini mencoba mengolah ritual lama, yang berasal dari abad pertengahan dan sebagian besar tidak berubah sejak Reformasi abad ke-16, menjadi sebuah ritual bernuansa kontemporer.
Para pemimpin gereja lain telah turut mengambil bagian dalam prosesi besar kerajaan dan nasional sejak 1980-an, dan komunitas agama lain telah diwakili selama lebih dari 20 tahun.
Pada acara keagamaan pada perayaan “diamond jubilee” (60 tahun kekuasaan) pada 2012, Ratu Elizabeth II mengungkapkan keyakinannya[11] bahwa tujuan gereja harus termasuk perlindungan terhadap kebebasan praktik keagamaan untuk semua agama di Inggris.
Sebagai kepala negara simbolis, pemimpin kerajaan harus berusaha untuk mewakili seluruh kalangan. Dalam transformasi budaya agama, Gereja Inggris membutuhkan cara baru untuk membuktikan posisi istimewanya sebagai gereja nasional[12]. Semua ini menjelaskan adanya pembaharuan dalam penobatan Raja Charles III.
References
- ^ berulang kali mengatakan (www.theguardian.com)
- ^ bentuk penyelenggaraan penobatan (www.theosthinktank.co.uk)
- ^ penobatan takhta (www.churchofengland.org)
- ^ penobatan Ratu Elizabeth II pada tahun 1953 (www.oremus.org)
- ^ Free Churches (www.britannica.com)
- ^ Churches Together in England (cte.org.uk)
- ^ keterangan tambahan (www.churchofengland.org)
- ^ Sumpah secara agama (www.ucl.ac.uk)
- ^ King Charles III's coronation oath is a crucial part of the ceremony – experts explain (theconversation.com)
- ^ Aaron Chown/Associated Press (www.alamy.com)
- ^ mengungkapkan keyakinannya (www.royal.uk)
- ^ gereja nasional (boydellandbrewer.com)
Authors: Philip Williamson, Emeritus Professor of Modern British History, Durham University





