Asian Spectator

Sulitnya televisi lokal bermigrasi digital, bagaimana solusinya?

  • Written by Lukas Deni Setiawan, Dosen, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Sulitnya televisi lokal bermigrasi digital, bagaimana solusinya?

Dunia penyiaran kita masih menyimpan persoalan kompleks yang belum ada jalan keluarnya. Amanah Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran[1] yang memiliki semangat desentralisasi[2] kepemilikan lembaga penyiaran dan keragaman program siaran belum juga dapat menemui jalur yang mulus. Padahal UU tersebut sudah berlaku lebih dari 20 tahun dan banyak pihak[3] sudah berkali-kali mengingatkan[4].

Sulitnya penerapan desentralisasi penyiaran, khususnya televisi, di Indonesia kemungkinan disebabkan oleh, salah satunya, stasiun-stasiun televisi yang sekarang dapat bersiaran dalam skala nasional sudah terlanjur mapan dan menikmati keuntungan-keuntungannya.

Salah satu contoh keuntungan yang terlihat adalah pemasukan melalui iklan televisi yang dapat mereka nikmati karena jangkauan siaran nasional tersebut. Maka, ketika migrasi siaran analog ke digital (analog switch off/ASO) harus dilakukan, mereka tidak mau kehilangan kenikmatan itu.

Ini kemudian menjadi dilema bagi stasiun televisi lokal, terutama televisi lokal yang independen (tidak terafiliasi dengan stasiun televisi yang berpusat di Jakarta). Sekitar 60-an[5] di antaranya menjadi anggota Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk misalnya Jogja TV dan Lombok TV. Nasib para pengelola stasiun televisi lokal di era penyiaran digital ini seakan terlunta-lunta.

Padahal, media lokal semacam ini dapat meningkatkan partisipasi politik[6] warga pada tingkat lokal, memberikan narasi tandingan[7] terhadap narasi yang dominan, serta memiliki potensi besar untuk mendorong pengembangan skill dan aktivitas training pekerja media lokal[8].

Sebagai akademisi Ilmu Komunikasi, saya melakukan riset[9] tentang perspektif para pengelola televisi lokal mengenai implementasi kebijakan digitalisasi penyiaran di Indonesia. Saya mewawancarai para pemegang posisi penting di tiga stasiun televisi swasta lokal di Yogyakarta, Bandar Lampung, dan Lombok (Nusa Tenggara Barat), serta tambahan informasi dari pengurus Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI).

Berdasarkan temuan riset[10] saya tersebut, mereka menyambut baik proses digitalisasi penyiaran, namun menghadapi kendala dalam hal fasilitas dan jaminan hukum. Analisis dari riset ini juga menemukan bahwa kebijakan perpindahan penyiaran ke sistem digital sampai sekarang belum mampu keluar dari pembahasan teknis penyiaran dan mengabaikan unsur-unsur penting seputar infrastruktur dan kesiapan di daerah-daerah untuk menerapkannya.

Nasib stasiun televisi lokal

Para pengelola televisi lokal pada dasarnya menyambut baik dan berharap banyak pada proses digitalisasi penyiaran. Mereka antusias pada lebih tingginya kualitas gambar dan suara sistem digital karena hal tersebut akan membuka potensi persaingan baru yang lebih kompetitif.

Televisi analog. Bonsales/Shutterstock[11]

Digitalisasi juga membawa harapan baru karena mereka menganggap migrasi digital akan mengubah kondisi ketidakberimbangan antara televisi lokal dan televisi yang beroperasi secara nasional yang selama ini ada yang mencakup luas jangkauan siar dan kualitas audiovisual siarannya.

Namun, harapan mengenai kebaikan digitalisasi itu terbentur beberapa tantangan, termasuk perihal kebijakan teknologi baru multipleksing (MUX), yaitu sistem pemancar yang dapat menggabungkan beberapa saluran siaran menjadi satu saluran saja. Sejauh ini, pengaturan infrastruktur baru sistem digital ini dianggap belum berpihak pada stasiun televisi lokal.

Ini karena para pengelola televisi lokal harus menyewa penggunaan MUX tersebut pada instansi yang memenangkan lelang-yang notabene adalah perusahaan besar yang berpusat di Jakarta. Sulit bagi mereka untuk bisa memenuhi biaya sewa ini karena pendapatan mereka masih minim, akibat persaingan dengan stasiun televisi yang dapat beroperasi secara nasional.

Beberapa stasiun televisi lokal yang sudah memiliki sendiri menara siarnya (saat analog) dan sebagian lagi masih mencicil kepemilikan menara itu kini harus merelakan menara itu untuk tidak terpakai. Sebab, menara itu akan tergantikan dengan menara siar MUX yang harus mereka sewa dan tidak bisa mereka miliki.

Sementara itu, dari sisi hukum, pengelola stasiun televisi lokal menilai kebijakan MUX ini masih menyisakan permasalahan. Mahkamah Agung (MA)[12] sudah mengakui bahwa Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2021 Pasal 81 ayat 1 yang berbunyi “LPP, LPS, dan/atau LPK menyediakan layanan program siaran dengan menyewa slot multipleksing kepada penyelenggara multipleksing” dinyatakan bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi (UU Penyiaran) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun sampai sekarang, implementasi putusan itu tidak tampak.

Persoalan-persoalan di atas mematahkan harapan baru pengelola televisi lokal pada penyiaran digital. Potensi keberagaman kepemilikan dan varian konten televisi lokal atas hadirnya penyiaran digital jadi mandek di permukaan. Persoalan MUX menjadi ganjalan implementasi penyiaran digital.

Para pengelola televisi lokal sudah terpentok persoalan awal migrasi ini sehingga visi eksplorasi dan inovasi konten untuk pelayanan terhadap warga lokal belum bisa mereka optimalkan.

Problematika MUX

MUX merupakan infrastruktur penting yang dapat menjadikan penyiaran digital jauh lebih efisien. Dahulu, satu kanal hanya bisa dipakai bersiaran satu stasiun televisi, sekarang satu kanal bisa dipakai bersama hingga dua belas program siaran berbeda secara bersamaan.

Petugas sedang memasang antena televisi. Zephyr_p/Shutterstock[13]

Persoalannya, pihak yang berhak memegang hak pengelolaan MUX di daerah-daerah adalah mereka yang memenangkan lelang. Sebagian besar pemenangnya[14] adalah para penyelenggara siaran televisi yang pada saat siaran analog dapat bersiaran dalam skala nasional.

Di samping perkara teknis dan infrastruktur, ada dua pertimbangan serius[15] yang perlu kita catat terkait pengembangan teknologi baru ini.

Pertama bahwa teknologi baru berpotensi melebarkan kesenjangan informasi. Ini seharusnya membuat pemerintah selalu menilik kembali dan mengevaluasi penerapan teknologi baru yang telah dijalankan di Indonesia, termasuk perihal sejauh mana teknologi itu sudah merata dan membuat semua kalangan masyarakat dapat merasakan manfaatnya secara optimal.

Hal tersebut memang butuh kepekaan, kepedulian, dan bahkan keberpihakan pada warga yang secara geografis, sosial, dan ekonomi kurang beruntung.

Kedua adalah bahwa teknologi baru justru dapat membuat wacana dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat. Ini sepatutnya menohok kita karena penguasaan sumber daya media di Indonesia masih didominasi oleh segelintir pihak[16] yang memiliki kuasa ekonomi dan politik besar.

Kebijakan ASO yang masih bekutat pada MUX akan sulit menjangkau persoalan-persoalan di atas. Kebijakan yang masih mengambang di permukaan ini menimbulkan masalah baru[17].

Migrasi tidak sederhana

Migrasi teknologi menuju digitalisasi dalam lingkup penyiaran bukan sekadar persoalan teknis bergantinya cara bersiaran dari analog ke digital.

Sayangnya, iklan layanan masyarakat (ILM)[18] di televisi mengenai bergesernya siaran dari analog ke digital sebagian besar hanya berkutat pada manfaat teknis audiovisual yang berubah menjadi makin bersih, jernih, dan canggih. Warga didorong untuk berbondong-bondong bermigrasi. Running text yang berseliweran pun biasanya sekadar menampilkan informasi seputar frekuensi yang bisa dicari warga untuk menangkap siaran digital stasiun televisi tersebut.

Padahal, tantangan migrasi yang dihadapi di daerah-daerah, khususnya oleh stasiun televisi lokal, lebih dari itu. Pemerintah perlu betul-betul peka pada kondisi di bawah maupun di atas, di pusat maupun di daerah.

Set-top box untuk televisi. AntonSAN/Shutterstock[19]

Kondisi di pusat termasuk perumusan kebijakan yang seharusnya berpihak pada penyelenggara siaran lokal dan kondisi di daerah menyangkut, misalnya, keberatan televisi lokal[20] atas biaya sewa MUX.

Bagaimana solusinya?

Persoalan-persoalan di atas mestinya menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam menilik ulang kebijakan mengenai penyiaran digital, terlebih saat ini sedang berlangsung pembahasan RUU penyiaran. Hal ini bisa menjadi salah satu jalan pemerintah menyediakan fasilitas dan jaminan hukum yang memadai sehingga pengelola televisi lokal dapat dengan leluasa mengembangkan potensi yang ada.

Apabila hal ini terjamin, maka potensi besar berkembangnya program-program lokal yang organik: memuat tema-tema lokal yang relevan dan dikerjakan oleh para broadcasters yang berdomisili di daerah bersangkutan, akan dapat terwujud. Pola penyiaran yang Jakarta-minded pun akan terurai.

Harapan para pengelola televisi lokal adalah wakil dari harapan warga lokal yang mendambakan siaran lokal yang peka dan menyatu dengan persoalan-persoalan di daerah mereka.

References

  1. ^ Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (www.kpi.go.id)
  2. ^ semangat desentralisasi (berkas.dpr.go.id)
  3. ^ banyak pihak (pr2media.or.id)
  4. ^ mengingatkan (jurnal.dpr.go.id)
  5. ^ Sekitar 60-an (atvli.or.id)
  6. ^ partisipasi politik (www.pewresearch.org)
  7. ^ narasi tandingan (theconversation.com)
  8. ^ pekerja media lokal (doi.org)
  9. ^ riset (journals.unisba.ac.id)
  10. ^ temuan riset (journals.unisba.ac.id)
  11. ^ Bonsales/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  12. ^ Mahkamah Agung (MA) (putusan3.mahkamahagung.go.id)
  13. ^ Zephyr_p/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  14. ^ Sebagian besar pemenangnya (indonesiabaik.id)
  15. ^ dua pertimbangan serius (pr2media.or.id)
  16. ^ didominasi oleh segelintir pihak (theconversation.com)
  17. ^ masalah baru (doi.org)
  18. ^ (ILM) (www.youtube.com)
  19. ^ AntonSAN/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  20. ^ keberatan televisi lokal (kpid.jatengprov.go.id)

Authors: Lukas Deni Setiawan, Dosen, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Read more https://theconversation.com/sulitnya-televisi-lokal-bermigrasi-digital-bagaimana-solusinya-227293

Magazine

Reflecting on 20 years of the Aceh tsunami: From ‘megathrust’ threat to disaster mitigation

20 years have passed since the Aceh tsunami, which left deep scars on Indonesia, especially for those directly affected. Aceh was also recovering from a three-decade armed conflict between the Free Ac...

Nyawa di tangan polisi: Tekanan internal membuat penegak hukum makin brutal. Bagaimana mencegahnya?

Aparat polisi bersiap untuk patroli antisipasi serangan terorisme di Jakarta pada 2021. Wulandari Wulandari/ShutterstockInsiden polisi tembak polisi yang terjadi baru-baru ini di Solok Selatan, Sumat...

Subsidi BBM: Bikin tekor APBN tapi sulit dihapuskan

Bahan bakar fosil adalah penyebab utama perubahan iklim. Tapi hingga kini, pemerintah di berbagai belahan dunia masih mengalokasikan anggaran fiskal yang besar untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM). ...



NewsServices.com

Content & Technology Connecting Global Audiences

More Information - Less Opinion